Minggu, 23 Oktober 2016

Cerpen-ku (Semoga menginspirasi)

Ketika  Lauhmahfudz Yang Bicara
Rezki Desmita

Hasil gambar untuk cowok kampus kartun islami

Senja mulai nampak kuning keemasan memancar nan menyilaukan, pertanda sore kembali menyapa. Tak terasa Magrib segera tiba menyambut malam. Usai berwudhu, aku dikagetkan oleh nada dering ponselku. Sebuah pesan baru dari sahabatku, yang sedikit membuatku girang dalam hati.
Malam nanti, aku telfon kamu ya. Ada hal serius yang ingin aku bicarakan.
Usai sholat Magrib ku balas smsnya. Aku penasaran, namun mencoba memberikan terkaan-terkaan yang tidak menyenangkan. Dua hari yang lalu dia menelfonku, memberitahu informasi penerimaan tenaga pengajar di yayasan binaan pamannya. Aku mencoba menebak, apakah menerimaannya sudah tutup atau bagaimana. Aku langsung mengirimkan pesan singkat itu padanya.
Bukan. Ini hal yang lain. Tapi aku harap kamu bisa menjaganya, karena aku percaya kamu.
Hampir pukul 22.00, namun belum juga terdengar bunyi panggilan dari ponselku. Aku menyerah menunggu, pandanganku mulai sayu, aku memberitahukan agar lain kali saja menghubungiku karena malam mulai larut.
***
Mentari pagi bergelayut mengusir embun, selayaknya aku yang bangkit mengusir kehampaan. Aku menata rapi hijabku, bersiap berangkat menebar manfaat untuk anak didikku. Anak-anak yang masih begitu labil dan polos, selalu membuatku tersenyum, walau terkadang membuat hati dongkol dan kesal. Inilah spirit harianku, mengajari ilmu yang bermanfaat untuk orang lain, terlebih untuk mereka sang generasi muda pembawa estafet peradaban bangsa. Aku mencintai siswa-siswaku, karena aku tahu kewajibanku sebagai seorang guru, tak hanya sekedar mengajar namun juga mendidik, selayaknya kerja aku tak hanya mencari bayaran namun ingin penuhi kewajiban. Ingat Al-Ashr, saling berpesan dalam kebaikan dan saling berpesan dalam kesabaran. Hanya lewat belajar mengajar aku bisa melakukan itu, karena memang aku seorang guru. Lewat guru pula seluruh penjuru dunia dapat mengisi dan memajukan setiap lini kehidupan. Guru pekerjaan mulia yang semula tak ku minati, kini sangat ku cintai. Mahasuci Allah yang dapat membolak-balikkan hati setiap hamba-Nya.
Sejak lulus dari Universitas Peradaban, aku memutuskan pulang kampung untuk mengabdi guna membantu guru-guruku dalam mengajar adik-adik disini. Sejak saat itu pula aku tak lagi bertemu dengan sahabatku, Sali. Sahabat yang sedikit banyak sudah membantuku bertransformasi, untuk menemukan jati diriku yang sesungguhnya.
Selama menimbah ilmu di bangku perguruan tinggi, disinilah aku menemukan makna cinta. Cinta pada lingkungan, cinta pada sesama, serta cinta pada diri sendiri. Sali salah satu orang yang paling berarti dalam perjalanan studiku. Aku mengenalnya dalam kegiatan memperingati 17 Agustus, saat itu para mahasiswa Fakultas Ilmu Pemerintahan melaksanakan pembentangan bendera sepanjang 60 meter melewati pusat kota pahlawan Nani Wartabone. Aku sederet dengannya. Orangnya sangat antusias, heboh, dan penuh semangat, juga humoris. Saat itu aku belum mengenal namanya.
Ketika di kampus aku kembali bertemu dengannya, dia tidak menyapaku mungkin sudah lupa. Aku masuk kelas dengan sikap masa bodoh saat melewatinya. Aku memilih tempat duduk pojok kanan paling depan, ternyata dia juga memasuki kelas yang sama dan memilih tempat duduk pojok kiri paling belakang. Tanpa menoleh pun aku bisa melihatnya dengan ekor mataku. Ketika dosen mengabsen, disitulah kesempatanku mengenali namanya. Tak hanya itu, saat pembagian kelompok, aku dan dia masuk dalam kelompok yang sama.
Hari ke hari aku semakin mengenalnya, kita semakin dekat hingga menjadi sahabat. Dari semua teman-teman hanya aku memanggilnya dengan nama Sali. Ketika orang lain mendengarnya, mungkin mereka berfikir bahwa dia adalah sosok wanita cantik. Dugaan mereka salah, Sali adalah sahabatku paling rupawan, cerdas, dan soleh. Nama lengkapnya Salqi Islami, teman-teman memanggilnya Alqi,tapi aku lebih suka memanggilnya Sali, namun ketika ada di tempat umum aku panggil ‘Sal biar masih terkesan laki-laki.
Hampir setiap pekan kami jalan bersama, untuk mengerjakan tugas. Di kampus pun selalu bersama tapi hanya saat ke perpustakaan, karena aku jarang ke kantin sehingga kalau urusan kantin Sali jalan sendiri atau pergi bersama teman-teman kelas. Meski kami terlihat dekat, tapi ada batasan-batasan yang menjaga antara aku dan Sali. Sebagai seorang anggota Forum Tatsqif Kampus (FTK), dia benar-benar  paham soal pergaulan dengan lawan jenis. Hingga suatu ketika, dia mengikuti pelantikan resmi FTK, dan membawanya pada perubahan yang semakin merenggangkan kedekatan kami.
Tak lagi seperti dulu. aku selalu ingat kata-katanya saat hari pertama ia mulai berubah “Membatasi diri karena syariaat, menjaga diri karena taat, menjauh karena takut maksiat”. Aku mencoba memahami komitmennya untuk istiqomah dalam memperbaiki diri. Aku menghargai dia, dan memanggilnya dengan nama yang sebenarnya, Salqi. Dia selalu mengambil kesempatan agar bisa bicara denganku ketika kami tergabung dalam kelompok diskusi. Topik pembicaraan pasti tentang hakekat wanita Islami. Aku sampai jenuh, mungkin karena aku tidak ingin ikut-ikutan dengannya dalam Forum itu.
***
Demi menyenangkan hati Salqi, aku pergi menghadiri kegiatan terbuka yang dilaksanakan oleh anak-anak FTK, sebuah Training Motivasi Kepemudaan. Aku datang bersama sahabatku, Rara. Salqi sudah menunggu kedatangan kami di depan pintu masuk, tanpa meminta tiket masuk yang kami bawa dia langsung mempersilahkan kami duduk. Sontak saja semua panitia yang di pintu masuk saat itu kaget dan heran, sepintas ku lihat ekspresi mereka, penuh tanya dan saling bertatapan tak percaya. Entah apa di benak mereka. Sepanjang Training berlangsung, Salqi selalu tertangkap sedang menatapku, berkali-kali terjadi kontak mata. Hal ini membuatku tidak nyaman dan menjadi canggung. Usai acara aku langsung pulang tanpa pamit pada Salqi.
Banyak pengetahuan baru yang aku dapatkan dari Training ini. Termasuk mencari jodoh secara islami. Meski belum niat, namun hal ini bisa jadi bekal masa depanku. Salqi selalu mengirimiku taujih melalui sms, menyapaku dengan kalimat-kalimat hikmah tiap kali bertemu di kampus.
“Assalamu’alaikum ya Saleha. Pantas hari ini terasa sejuk dan cerah, ternyata matahari terlalu malu bersinar karena kibaran hijabmu yang semakin indah.” Pujinya suatu pagi.
Memang sudah beberapa hari belakangan aku mulai mengubah penampilanku. Tak hanya berjilbab tapi juga berhijab. Waktu semakin membawa langkahku mendekati Forum itu, bukan semata karena ada Salqi disana, namun pancaran cahaya iman nampaknya mulai bersinar. Aku tak menyia-nyiakannya, ku temui seorang senior cewek di dalam Masjid Kampus. Namanya ka Alya, bagiku sosok ka Alya pantas menyandang predikat wanita surga. Bicaranya yang syahdu penuh kalimat hikmah, candanya tersirat pesan pencerah hati, dan tak hanya cantik, tentu juga soleha dan cerdas. Dialah yang menjadi mentorku selama masa perkuliahan. Memberi pencerahan rohani, membuka mata hati, hingga ku temui hidayah sejati. Aku semakin memantapkan diri.
Hari ini aku akan menghadiri sebuah kajian di Kampus tetangga. Maklum, FTK bukan hanya ada di kampusku, tapi sudah banyak cabang yang terdapat di kampus-kampus lain, bahkan tingkat sekolah SMA sederajat. Setibanya disana, aku bertemu dengan teman-teman baru. Disini aku berkenalan dengan Intan. Sosok wanita muslimah dambaan qalbu.
Anti dari FTK mana?”
Ana  FTK UP, Universitas Peradaban.”
Subhanallah. Berarti anti kenal sama Salqi?”
Meski masih bingung atas pertanyaannya, aku tersenyum mencoba menjawab. Mengapa dari sekian banyaknya anggota FTK UP hanya Salqi yang ia tanyakan? Disaat yang sama, wajah-wajah berbalut hijab indah itu menoleh ke arah aku dan Intan. Tersirat dimata mereka rasa penasaran dan ingin bertanya banyak hal, tentu saja tentang Salqi.
Ana sekelas dengan Salqi. Kami teman baik kok.”
“Boleh minta nomor hp-nya ukhti?
Baru aku tahu, ternyata Salqi adalah sosok ikhwan yang cukup terkenal dikalangan akhwat FTK seluruh kampus. Mungkin karena dia banyak terlibat dalam agenda-agenda besar FTK. Tak dapat dipungkiri, penampilan Salqi memang tak akan luput dari perhatian para wanita.
***
Saat sama-sama disibukkan dengan berbagai agenda, aku dan Salqi lebih banyak berkomunikasi lewat sms. Dia selalu mengabariku tentang hal-hal baru yang ditemuinya, tentang buku yang baru dibacanya, dan juga tentang tugas yang bingung dipahaminya. Dua hari setelah kegiatan kajian. Intan menghubungiku. Banyak hal yang ia ceritakan padaku, meski ujung-ujungnya berakhir pada nama Salqi. Aku sangat peka dengan hal-hal demikian. Ternyata benar, Intan pengangum rahasia Salqi.
“Jangan beritahu Salqi ya ukhti. Biar ana, anti, dan Allah yang tahu. Ana cerita ke anti karena ana percaya.”
Hening.
Ana pun bingung atas perasaan ini. Entah hanya sekedar kagum, atau ana benar-benar suka padanya. Ana tidak sanggup lagi menahan deburan hati, terlebih ketika bertemu dengannya.”
“Allah sedang menguji hatimu ukhti. Jadi, berhati-hatilah jangan sampai anti terkalahkan oleh nafsu atas dasar rasa suka, padahal semuanya semu.”
Walau berat, akhirnya aku dapat menciptakan uraian nasehat dalam lisanku. Entah siapa mengingatkan siapa. Aku pun mulai terbawa. Ada rasa perih membercak di hatiku ketika mendengar curahan hati Intan. Sedalam apa aku menyimpan lara di hati, pada akhirnya pun tetap terasa sakit. Ya, aku baru menyadarinya. Sudah cukup lama ku pendam, dengan keras hatiku memungkiri kenyataan bahwa aku telah jatuh hati pada sosok sahabat superku, Salqi. Intan telah menyadarkan aku, karena ketika tahu ada orang lain yang menyukainya, hatiku menolak dan tak terima.
Demi menghalau rasa gelisah yang menjajah perasaanku akhir-akhir ini, aku menyibukkan diri di perpus. Entah sejak kapan Salqi mengikutiku, saat aku membaca buku dia muncul dengan canda khasnya yang selalu ku rindukan.
“Hei, saleha. Baca buku apa? Tega sekali pergi sendiri tanpa mengajakku.”
Antum kan super sibuk, mana ada waktu pergi ke perpus.”
“Wess, ciee udah belajar panggil antum. Biasanya juga panggilnya kamu. Kemana perginya Rahmi yang dulu ya?”
Aku menutup buku bacaanku, sekilas ku tatap matanya, aku tak mampu membaca sorot mata itu, masihkah tersimpan kerinduan disana? Segera ku alihkan sebelum ia menyadarinya.
“Kamu yang kemana saja? Tugas Review bukumu sudah?”
Mengapa kehadirannya saat ini mampu mengusir kegelisahan hatiku. Apakah keresahan yang aku alami satu bentuk rasa takutku kehilangan Salqi?
“kamu ini, tugas melulu yang diurusin. Sekali-sekali urus sahabatmu ini dong.”
“Aku kan bukan ibumu.”
“Emang. Tapi kamu kan sahabat aku. Tadi aku ngomong apa? Aku cuma bilang urus dulu sahabatmu ini, bukan urus dulu anakmu ini.”
Sekali lagi dia berhasil membuatku tertawa, dan melupakan hal-hal rumit yang bersarang di benakku.
“Ehm, maaf ya kalau akhir-akhir ini aku sudah jarang menghubungi kamu lagi. Aku diam-diam mengikuti kamu kesini karena ada yang ingin aku katakan.”
Jantungku berdegub, ada apa ini? Apa yang ingin dia katakan, sampai wajahnya begitu serius menatapku.
“Apa? Serius amat ngomongnya.”
Tak ada lagi keberanian untuk menatapnya, buku di tanganku menjadi pelarian sorot pandangku, walau sebenarnya aku bingung sudah sampai paragrap mana yang ku baca.
“Tapi, kamu janji ya jangan marah. Hmm, sebenarnya aku malu, apalagi sampai mengakuinya langsung di depanmu.”
Sebisa mungkin ku tampakkan ekspresi bingung tanpa gugub, meski sebenarnya detak jantungku hampir-hampir mematahkan tulang rusukku.
“Sebenarnya aku dari dulu ingin ngomong ini. ”
Aku masih bungkam, menghayati huruf-huruf yang seolah menari-nari di atas kertas putih.
“Mi, sebenarnya. . . Aku suka . . . “
Sepertinya Salqi sengaja menggantung pembicaraannya. Aku sedikit terperanjat, namun tetap terkendali berkat buku yang ku jadikan dalih menutupi kegugupanku. Tumben dia panggil nama belakangku, tidak selengkap biasanya.
“Hmm, aku suka banget makan mie ayam di kantin ma’cik. Kata teman-teman, mie ayam akan terasa lezat ketika ada yang traktir. Aku mau itu kamu.”
Rasanya ada bongkahan besar lepas dari hatiku, sehingga debaran jantungku menurun dan terasa ringan. Aku fikir Salqi mau bilang apa. Hampir jungkir balik setengah mati menahan degab-degub jantungku. Inilah kebiasaan yang ia lakukan, awalnya membosankan lama-lama jadi hal yang aku rindukan.
Meski matamu terbuka, kau tak akan bisa melihatku, telingamu tak akan mampu mendengar bisik rasaku, hatimu tak mampu membaca alur laraku, apalagi fikirmu memang tak pernah tertuju padaku.
***
Akhir pekan jalan yuk.
aku yang traktir deh. .
tenang aja, nggak berdua kok.
perginya se-kelas, tapi Cuma transport kamu aja yang aku tanggung
yang lain masing-masing dong. XD
Setelah menyelesaikan ujian semester, kami sekelas sepakat pergi berwisata. Wisata air terjun menjadi sasaran weekand kami secara dadakan. Medan menuju lokasi air terjun sangat menantang, melihat perjalanan jelajah kami yang penuh rintangan mengingatkanku pada kisah film 5 CM. Bersama sahabat taklukan rintangan untuk temukan cinta. Salqi adalah orang paling repot selama perjalanan, rela melepas sandal gunungnya demi aku, karena aku yang notabenenya tidak tahu arah dan tujuan wisata sehingga aku menggunakan sepatu teplek, padahal sepanjang perjalanan menuju air terjun adalah pegunungan, berbatu, penuh semak, bahkan tak jarang berduri. Jalanan penuh tanjakkan membuat nafasku tersengal hampir asma, namun aku tidak manja. Setinggi apapun tanjakkannya, tak ku biarkan teman-teman cowok meraih tanganku untuk membantu, ada banyak cara ku dapat ketika melewati jalan licin dan berbatu. Saat itu aku mengenakkan ransel, walau isinya cukup ringan, namun jalanan yang tidak bersahabat membuat bahuku terasa sakit seakan membawa beban berat. Lagi-lagi Salqi, ia membawakan tas dan sepatuku, dan menuntun jalanku dari depan.
“Awas hati-hati, kayunya jangan diinjak, sudah lapuk nanti kamu jatuh”
Aku hanya diam, mengikuti arahannya.
“Tanahnya licin dan agak menurun, kamu jongkok aja, trus turun pelan-pelan”
Masih diam, dengan gemuru dada karena lelah. Satu hal yang aku fikirkan saat ini, kapan sampai. Sudah hampir satu jam, kami masih bergelayutan di dahan-dahan pohon kecil, berusaha keras agar tidak licin dan jatuh, aku sangat lelah.
“Kok dari tadi cuma jalan terus, kapan nyampenya? Kita nggak nyasar masuk hutan belantara kan?”
“Tenang saja, aku sudah pernah kesini kok, waktu tafakur alam bersama teman-teman FTK.”
Lebih baik aku fokus pada perjalanan saja, dari pada bicara dan bertanya banyak hal yang hanya menguras tenaga. Lebih baik diam, ikuti intruksi Salqi yang hari ini kelewat perhatian. Ternyata tak hanya aku yang bingung dan bertanya-tanya lokasi tujan kami hari ini, aku dan empat orang teman cewek lainnya tidak tahu apa-apa soal rencana ini. Kami hanya mendapat sms dari teman-teman cowok, dan aku dapat sms dari Salqi. Rencana ini sebenarnya sudah lama disusun oleh Salqi dan teman-teman cowok lainnya. Kami yang cewek, terima beres ikuti perintah.
“Rahmi, rok kamu robek tuh.” Tegur Ivan dari belakangku.
Sontak aku menoleh memastikan yang ia katakan. Benar saja, hampir sejengkal robeknya, beruntung aku pakai celana panjang, sehingga kulit betisku tak terlihat.
“Kenapa sih kamu pakai rok, kita kan mau wisata Ami, bukan mau kuliah. Kaus kakinya nggak dilepas lagi.” Ujar Andra sewot melihat penampilanku.
Aku tetap mempertahankan hijabku meski dalam keadaan apapun. Toh pada akhirnya aku satu-satunya cewek yang tidak perlu di pegang tangannya saat naik gunung, yang tidak banyak ocehan ketika melewati banyak rintangan, dan tidak lecet atau jatuh selama perjalanan. Keadaannya terbalik dengan teman-temanku yang lain, Lian terpeleset saat melewati batu licin, padahal tangannya sudah di tuntun oleh Erik, Cika terinjak benda tajam padahal selalu mengekor di belakang Rangga dan memegang bahu Rangga ketika ada tanjakkan, dan masih banyak lagi tindakkan yang seharusnya tidak membuat mereka terluka.
Ketika asyik main dan foto-foto di dekat air terjun, Salqi mengajak teman-teman sejenak untuk istrahat dan berwudhu. Kami melaksanakan sholat Dzuhur di atas batu besar, dibawah rindang pohon, yang di imami oleh Salqi. Usai berjelajah menyusuri lokasi air terjun dan puas bermain air disana, kami kembali ke taman wisata permandian. Ada banyak permainan disini, termasuk sepeda air itik. Aku penasaran dengan permainan satu ini. Hanya aku dan Revan yang tidak ikut-ikutan mandi di kolam air hangat, yang lainnya asik berenang bahkan sempat mengerjai Idan teman kami yang pendek dan tidak tahu berenang. Aku bete hanya jadi penonton, aku ngajakkin Revan main sepeda air.
“Guys, aku dan Rahmi mau main sepeda air dulu ya.” Teriak Revan pada yang lainnya.
“Aku ikut. Malas aku sama mereka, sudah tau aku nggak bisa berenang malah mereka dorong ke kolam.” Ujar Idan, dan langsung mengikuti kami.
Teman-teman yang lain hanya tertawa melihat wajah kesal Idan, termasuk Salqi. Agak kesal juga melihat teman-teman memperlakukan Idan seperti itu, apalagi Salqi malah dia yang jadi trouble maker-nya. Setibanya di pinggir danau tempat mainan sepeda air, aku dan Revan mulai memilih sepeda air, tapi kami bertiga, sedang sepeda airnya hanya untuk dua orang.
“Bertiga nggak muat. Revan naik bareng Idan aja, kamu sama aku.” Selah Salqi dari arah belakang kami, entah sejak kapan dia mengekor di belakang.
 Dengan enteng dia menarik salah satu sepeda itik berwarna kuning.
“Kamu naik duluan, nanti aku yang mutar.”
Meski agak ragu, tapi aku ikut saja. Saat sedang asik berputar di tengah danau melihat ikan mas yang berenang mengikuti pakan yang aku taburkan, tiba-tiba sepedanya berhenti tepat di tengah danau.
“Loh, kenapa berhenti?”
“Kamu nggak lihat, aku sudah ngos-ngosan gini. Gantian dong.”
“Idih, siapa juga yang ajak kamu main sepeda air, kamu sendiri kan yang nawarin. Aku juga tadi janjiannya sama Revan.”
“Ya sudah kamu naik di sepeda Revan aja, tapi berenang sendiri sana.”
Aku tidak bisa berkata-kata lagi, sepertinya kalimatku nyangkut di tenggorokkan, bahkan bernafas pun terasa berat karena menahan kesal. Segera aku memalingkan wajahku ke tempat lain. Tega sekali dia menyuruhku berenang di danau yang penuh lumpur ini. Kalau saja aku sekuat Popaye, jangankan mutar sepeda itiknya, bahkan aku akan mengangkat sepedanya dengan sebelah tangan sambil berjalan diatas air, tentu saja dengan keadaan Salqi yang naik. Setelah itu akan ku lempar jauh-jauh biar dia jatuh tersungkur tertancap di lumpur.
“Lamunin apa kamu? Jangan bilang kamu berkhayal jadi Popaye dan aku jadi Oliv. Terus kamu angkat sepeda itiknya, kamu lempar sekaligus dengan aku. Lalu aku penuh lumpur dan jadi tontonan orang banyak di taman ini.”
Aku terbahak dalam hati mendengar tebakannya yang 100% benar. Entah dari mana dia bisa membaca fikiranku. Mungkin karena dulu aku sering bilang padanya bahwa aku selalu berandai-andai sekuat Popaye. Ucapannya tak hanya membuyarkan lamunanku, tapi juga mampu menciptakan tawa yang kembali mencairkan suasana. Inilah cara sederhana Salqi membuatku marah dalam seketika menciptakan tawa. Hal-hal yang selalu membuatku lupa seberapa banyak dia sudah membuatku kesal. Tak dapat ku pungkiri kedekatan kami malah membuat perasaanku semakin tumbuh, walau bagaimana pun sebagai wanita normal ketika mendapat perhatian dari lawan jenis, terlebih sudah saling kenal seperti ini, rasa nyaman itu tetap ada.
***
Masa-masa kuliah berakhir dengan sejuta kenangan. Kini aku memutuskan pulang kampung dan menjadi abdi negara sebagai guru pengajar di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan. Terkecuali Salqi, Idan, juga Andra yang masih menunggu proses penyelesaian skiripsi yang semakin hari semakin membuat mereka merasa gila. Salqi menunda proses wisuda karena memang masih memprioritaskan kegiatan FTK.
Komunikasi kami berjalan melalui perantara satelit. Banyak hal yang ia beritahu aku, termasuk perkembangan FTK UP, kegiatan-kegiatan seru FTK, bahkan kader-kader baru FTK yang sangat loyal terhadap organisasi dalam kampus itu. aku sangat senang mendengarnya, maski zaman semakin modern namun tidak menyurutkan langkah para pemuda untuk belajar dan mengajak orang-orang agar tidak melupakan ajaran agama, memenuhi hak diri sebagai hamba, melaksanakan kewajiban terhadap orang lain, bahkan selalu peduli terhadap nasib umat muslim yang berada di belahan bumi lain, dimana keseharian mereka selalu dihiasi suara bom, dihantui terror mematikan, hanya karena sebagai kaum minoritas di negeri tersebut. Para “pembom” itu seperti kacang lupa kulitnya, tidakkah mereka membaca sejarah tentang nenek  moyang mereka yang tidak didiskriminasi, dimana zaman Rasulullah Saw betapa kaum non muslim yang berada di tanah muslim diberikan haknya, dilindungi keberadaannya, sekalipun hanya sebagai kaum minoritas di negeri tersebut. Ah, aku jadi kesal sendiri bila mengingat betapa bengisnya para zionis itu.
Aku beranjak dari tempat tidur mengambil ponselku yang tengah berdering di atas meja riasku. Salqi memanggil―seiring getaran ponsel ditanganku, demikian pula getaran hatiku melihat nama itu. Sepertinya malam ini dia akan menceritakan hal serius yang ia maksud. Setelah ku jawab salamnya di seberang sana, terdengar begitu jelas bahwa ia menarik nafas panjang sebelum bercerita. Dengan ceria aku memberanikan diri untuk bertanya lebih dulu. Meski terdengar ia tidak begitu yakin untuk menceritakan hal itu padaku. Sebagai sahabat kurang lebih empat tahun dan sudah saling percaya, cerita serius itu mengalir adanya tanpa sedikitpun ia sembunyikan.
“Mi, sebentar lagi aku akan menikah.”
Aku menyambut berita itu dengan sangat ceria bersemangat.
“Wah, kapan? Sama siapa?”
“Akhir tahun ini. Orangnya belum dikenalin sama aku, nanti pada saat proses ta’arufan bersama keluarga.”
“Syukurlah kalau begitu, berarti impian kamu selama ini akan segera terwujud.”
Sepanjang aku mengenalnya, baru kali ini berita yang ia kabarkan sungguh menyakitiku.Tertawa lepas, berucap syukur, saat tau dia akan termiliki. itu bagian dari akting hati yang sampai kapan pun tak dapat ia mengerti.
“Kamu harus datang ya, awas kalau nggak datang.”
“Nggak janji ya. Sekarang aku nggak bisa pergi jauh-jauh, ada amanah baru yang harus aku jalankan.”
“Kan Cuma ngajar, nanti izin sama kepsek ajalah. . ya. . ya.”
Aku hanya tertawa kecil menyamarkan suasana yang mulai beku.
***
Sejak Salqi memberitahukan pernikahannya, aku belajar keras melupakan rasa yang selalu menjajah hatiku, dan menghapus segala harapan yang pernah aku ukir saat bersamanya. Jarak yang memisahkan inilah satu pendukung yang kuat untuk itu semua. Tak ada lagi pertemuan, tak ada lagi kesal-kesalan, aku tidak akan melihat wajah teduhnya lagi seperti dulu, dan tak akan terlihat lagi senyum jailnya ketika mengerjaiku.
Tak jarang teleponnya aku abaikan, smsnya hanya sebatas ku baca tanpa ku balas, dengan dalih tidak punya pulsa. Namun, aku tidak ingin dia curiga dengan tingkahku yang tidak seperti biasanya. Tapi, bukankah dari sekarang dia juga harus belajar tanpa aku, sahabat yang selama ini menjadi tempat ia bertanya, mengeluh, meminta, berbagi cerita, bahkan bermain.
“Kenapa sih nggak pernah lagi balas smsku? Kalau nggak punya pulsa, kenapa aku nelfon kamu nggak angkat?”
“Saat kamu nelfon pada waktu yang tidak tepat, pagi sampai siang aku di sekolah. Siang menjelang sore aku istrahat, kadang ngasih les privat sama anak-anak. Malam aku udah capek, lepas Isya aku udah tidur.”
“Tapi, pernah kok aku nelfon kamu bakdah Magrib.”
“Aku lagi tilawah. Kenapa sih kamu nelfon terus? Ada hal apa lagi?”
“Karena kamu nggak pernah angkat makanya aku nelfon terus. Aku cuma mau nelfon sahabatku, emang nggak bisa?”
“Kita sekarang sudah berbeda Salqi. Kamu itu calon suami orang, tepatnya calon suami saudaraku. Seharusnya waktumu kamu habiskan untuk mempersiapkan diri menjadi calon imam yang baik, belajar menjadi pemimpin yang bijaksana.”
“Kok ngomongnya jadi ke arah sana? Jujur deh, ada apa dengan kamu? Kamu cemburu ya?” Todongnya, disusul suara tawa khas yang sering terdengar ketika dia sedang menjailiku.
“Maksudmu? Kenapa aku harus cemburu, sebagai sahabat aku hanya mengingatkanmu. Ingatlah, calon pasangan hidup kita itu cerminan dari diri kita. Saat ini kamu belum mengenal calon istrimu, tidak ada yang bisa menjamin kalau sekarang dia sedang memantaskan diri untuk calon suaminya atau sedang telfon-telfonan dengan sahabat laki-lakinya. Sama halnya seperti kamu saat ini.”
“Kalau begitu pendapatmu, tidak ada yang bisa menjamin ‘kan kalau seandainya wanita itu kamu?”
“Berhenti deh membuat lelucon. Bukan saatnya lagi bercanda Salqi. Hargai aku sebagai seorang wanita muslimah, kita saling membatasi diri. Aku rasa kamu lebih paham masalah ini.”
Berhentilah berandai-andai, aku tidak ingin harapan yang setengah mati aku hapuskan, malah kembali kau ukir, dan akhirnya tercipta sebuah coretan-coretan pengharapan yang tak berarti.―batinku mulai berkecamuk.
“Maafkan aku, bila kehadiranku selama ini malah mengganggumu. Aku juga minta maaf, karena hanya bisa berbagi ceritaku sendiri, tanpa pernah bertanya adakah cerita yang ingin kau bagikan. Sebagai sahabat, aku memang egois.”
Suasana hening. Aku hanya bisa bungkam saat mendengar kata maaf yang seharusnya tidak dia ucapkan. Aku sudah cukup bahagia karena ada sosok sahabat sebaik Salqi ada bersamaku, meski aku hanya sebagai pendengar setia atas cerita-ceritanya tanpa bisa berbagi ceritaku sendiri, namun sedikit banyak dia sudah menjadi faktor penting dalam merubah paradigmaku. Aku seperti ini, karena belajar darinya. Selalu berbagi dengan apa yang dia punya, peduli kepada sesama, tetap sederhana dan tawadhu meski segala kemewahan menghiasi hidupnya, selalu ceria, dan menginspirasi.
“Aku tidak pernah merasa kamu egois kok. Aku hanya berusaha menempatkan diriku sebagai wanita yang memiliki fitrah tak ingin berbagi, terlebih masalah hati.”
Kau memang tak tau apa-apa, hingga tak pantas untuk disalahkan. Hanya saja, aku terlalu bodoh menanamkan harapan hampa,  untuk menyatukan malam dan siang dalam satu genggaman waktu. Cinta untukmu memang tak pernah salah, tapi hatiku yang selalu tertuju padamu yang tak dapat ku maafkan.
“Maaf karena aku terlambat untuk menyadarinya. Maaf juga bila aku tak bisa jadi yang kau harapkan. Allah punya cara terindah dalam mengatur semuanya, walau kadang raga merontah penuh tangis, namun hati seiya-sekata menerima garis-Nya. Aku hanya ingin bilang itu sama kamu.”
Aku tertegun mendengar ucapannya. Apa maksud Salqi? Apakah dia tahu bahwa selama ini diam-diam aku menyukainya, bahkan berharap untuk memilikinya. Siapa yang memberitahunya, sedangkan aku pun tidak pernah menceritakan masalah perasaanku pada siapapun, selain mencurahkan semuanya tatkala aku sedang duduk di atas sejadah, menengadah mengharapkan rahmat dalam dekapan ridha-Nya.
***
Tibalah di penghujung waktu. Desember yang sangat di rindukan oleh Salqi. Hari ini adalah hari penobatannya sebagai raja sehari, waktu dimana ia berikrar dengan iman untuk menjadi seorang imam rumah tangga bagi seorang wanita yang jauh sebelumnya telah tercatat dalam Lauhmahfudz-Nya, untuk setia bersama mengarungi cinta berfondasikan iman, meraih surga yang hakikih atas ridha-Nya. Insya Allah abadi hingga Jannah-Nya. Aamiin
Tepat hari ini pula aku harus berangkat ke negeri Gingseng untuk melajutkan studi disana. Allah memang selalu mempersiapkan kejutan-kejutan bagi orang-orang yang bersabar, dan menjadi satu muhasabah diri, agar menjadi insan yang tak henti-hentinya bersyukur. Baik saat senang maupun dalam keadaan sedih. Aku tidak pernah menyangkah bahwa tulisanku dalam sebuah artikel blog pribadiku mampuh menerbangkan sayapku yang mulai lesuh termakan penantian, kembali kuat mengepakkan sayapnya ke negeri singa Asia Timur. Ada seorang jurnalis Indonesia yang tinggal disana, berhasil menerjemahkan tulisanku ke dalam bahasa Korea, kemudian dia menerbitkannya sebagai muatan rubrik inspirasi pada sebuah majalah remaja disan,a tentunya dengan mencantumkan namaku sebagai penulisnya. Banyak pembaca yang antusias, terutama para remaja yang seringkali mencintai dalam diam, menumbuhkan harapan dalam kehampaan, hingga kedutaan Indonesia memberiku kesempatan untuk melanjutkan studi dalam bidang Writing selama dua tahun disana. Selain itu aku menjadi salah satu penulis  contributor dalam majalah pekanan tersebut. Mereka percaya, inspirasi masalah hati yang lahir dari karya penaku mampu menurunkan angka bunuh diri pada remaja karena patah hati, serta mengurangi jumlah remaja pengkonsumsi alcohol karena masalah cinta.
Aku bersiap untuk penerbanganku. Tiba-tiba ada yang memanggilku dari luar ruang tunggu. Ada apa dia kesini? Masih ada waktu 15 menit sebelum berangkat. Aku keluar untuk menemuinya. Intan berdiri masih dengan dandanannya yang baru saja menghadiri penikahan, tentu saja pernikahan Salqi. Aku berdiri di hadapannya dan belum sempat bertanya, dia langsung mendekapku erat dan menangis. Entah apa maksudnya, jantungku berdebar, adakah sesuatu yang telah terjadi pada Salqi dihari pernikannya?
“Maafkan ana ukhti. Ana sangat keterlaluan. Ana sudah menceritakan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah anti ceritakan. Ana sudah memfitnah anti di hadapan Salqi. Ana sudah mencoreng nama baik anti sebagai seorang akhwat yang istiqomah.”
Meski masih bingung maksud omongan Intan, aku berusaha menenagkannya. Seiring deraian air matanya, mengalirlah cerita yang dimaksud. Ternyata Intan yang menceritakan semuanya pada Salqi, Intan memutarkan cerita seolah aku yang telah curhat padanya bahwa aku menyukai Salqi. Salqi terkejut mendengarnya, namun tetap tenang menyikapinya. Intan melakukannya demi mencari tahu apakah Salqi menyukaiku atau tidak, karena Intan penasaran atas kedekatanku dengan Salqi. Pernikahan Salqi hari ini membuktikan bahwa aku dan Salqi hanya sebatas sahabat. Walau sebenarnya cerita yang di ada-adakan oleh Intan itu sebuah kebenaran hatiku yang pernah berharap, namun aku sedikit terganggu atas kelancangannya menjual namaku demi melihat reaksi Salqi.
Rasa bersalah terus menghantuinya, hingga akhirnya dia berkata jujur pada Salqi sehari sebelum pernikahannya, bahwa dia telah memfitnahku. Salqi menyuruh Intan untuk menemuiku di bandara ini dan meminta maaf langsung padaku. Aku kembali mendekap Intan, aku sangat miris melihatnya. Menanamkan harapan yang telah berlebihan sehingga membawanya melakukan hal bodoh, yang pada akhirnya menjerumuskannya ke dalam dosa fitnah.
“Yang anti katakan pada Salqi tidak salah, namun cara anti yang salah. Demi Allah, aku sudah memaafkanmu ukhti. Biarlah segala hal yang telah terlanjur anti lakukan menjadi bentuk pelajaran berharga untuk dijadikan batu loncatan agar lebih baik lagi dalam menjaga hati, fikiran, serta lisan.”
***
Salqi tahu bahwa aku tidak akan datang ke pernikannya karena jadwal keberangkatanku ini, aku pun sudah mengirimi bingkisan pada mereka sebagai ucapan selamat atas kebahagiaan menempuh kisah baru dalam episode perjuangan. Pasangan surga, Salqi dan Alya. Iya, ketika tahu bahwa ka Alya adalah wanita itu, aku menangis haru karena aku menyadari bahwa Allah mempertemukan Salqi dengan wanita yang tepat. ka Alya sang murobbiah sejatiku hari ini resmi menjadi istri dari Salqi sahabat superku. Meski perbedaan usia, selisih dua tahun tidaklah seberapa. Bukankah Rasulullah Saw bersama Siti Khadijah telah memberikan kejelasan, untuk dijadikan teladan serta rujukan dalam membangun rumah tangga yang di ridhai-Nya.
Banyak hal penuh teka-teki yang akhirnya membuat banyak orang bergumam kagum penuh takjub. Maha besar Allah sang pemilik rahasia. Sudah cukup jelas, bahwa aku dan dia tidak dalam satu catatan di Lauhmahfudz-Nya. Inilah cara Allah menunjukkan sebuah kepastian tadir. Pada akhirnya aku harus tersenyum untuk kebahagiaan orang yang aku sayangi. Biarkan rasaku abadi dalam kisah fiksi yang telah ku cipta demi menjadi inspirasi bagi yang lain, agar selalu berfikir dan berdzikir. Berfikir bahwa jodoh yang baik itu adalah dia yang telah tertulis dalam Lauhmahfudz-Nya, sehingga tak ada lagi pengharapan yang berujung pada kehampaan. Serta berdzikir agar diri senantiasa dekat dengan-Nya, sehingga tidak lagi menyandarkan harapan pada yang lain selain-Nya. Insya Allah berkah dalam ridha-Nya.
♥―BARAQALLAH―♥

Tidak ada komentar:

Posting Komentar