Minggu, 23 Oktober 2016

Cerpen Karya-ku spesial untuk para putri soleha dan ibu hebat !!

DI KOTA JAGUNG IBU MENANTI
Rezki Desmita
Hasil gambar untuk aku dan ibu
(sumber gambar: google.com)

“Kalau Nata udah besar nanti, cita-cita Nata mau jadi apa?”
“Nata pengen jadi orang kaya, biar ibu nggak susah lagi nyari uang buat biaya sekolah Nata.”
“Hmm, itu keinginan Nata, bukan cita-cita. Cita-cita itu misalnya Nata jadi dokter, supaya bisa punya uang banyak dan Nata juga bisa nolongin orang sakit.”
“Ah, , nggak mau jadi dokter. Dokter nggak bisa nyembuhin orang sakit, buktinya teman Nata, ayahnya dokter tapi nggak bisa nyembuhin ibunya yang sakit, akhirnya ibunya meninggal.”
“Nata, semua makhluk itu akan mengalami yang namanya kematian, tak terkecuali kita manusia. Hidup ini ibarat sedang mengantri untuk menemui ajal, makanya kita harus terus berbuat baik dan beramal, karena kita nggak tahu kapan waktu kematian itu akan tiba.”
“Kalau gitu, Nata pengen berdiri dibarisan paling belakang, supaya Nata bisa hidup lebih lama”
“Alasannya?”
“Karena Nata pengen bahagiain ibu dulu, Nata nggak pengen mati sebelum mebalas kebaikan ibu.”
“Nata cukup jadi anak soleha dan sekolah yang benar itu sudah lebih dari cukup buat ibu bahagia dan bangga sama Nata.” Kata ibunya sambil memeluk tubuh mungil Nata.
Obrolan Nata kecil bersama Bunda tercinta bagitu akrab dan menyenangkan, obrolan-obrolan seperti ini hampir tiap hari terjadi, sebelum tidur malam. Bila anak-anak usia 7 tahun seperti Nata, akan lebih senang dengan dogeng sebelum tidur, tapi Nata berbeda, dia lebih suka bicara tentang masa depan.
***
10 Tahun  Kemudian. .
Sebagai orang tua tunggal, Ibu Mira selalu berusaha bekerja keras untuk menghidupi keluarga kecilnya, termasuk menyekolahkan Nata hingga ke perguruan tinggi. Ibu Mira berprofesi sebagai pembantu rumah tangga pada siang harinya, dan berprofesi sebagai penjual gorengan pada malam harinya. Melihat keadaan ibunya yang bekerja keras sendirian tanpa seorang Ayah ini, membuat Nata selalu terdorong membantu untuk meringankan beban ibu, karena sejak usianya 5 tahun Ayahnya telah meninggal, sehingga ibunya yang mengambil alih semua urusan rumah tangga, dan memilih hidup sebagai janda satu anak. Entah kenapa Ibunya tidak ingin menikah lagi, mungkin ia tak ingin kasih sayangnya akan terbagi.
Meski tanpa seorang Ayah, Nata tumbuh menjadi seorang anak baik dan soleha sesuai impian ibunya ketika ia kecil. Kini Nata telah duduk dibangku perguruan tinggi berkat beasiswa yang didapatkannya, meskipun letak perguruan tinggi tersebut berada di luar pulau Sulawesi, tapi tak menurunkan semangat Nata untuk menuntut ilmu, termasuk berpisah dengan ibunya. Karena Nata kuliah di kota ondel-ondel, Jakarta, sedangkan ibunya tinggal di Kota Jagung, Gorontalo.
“Ibu sudah makan?” sapa Nata melalui ponselnya.
“Sudah. Nata?”
“Sudah bu. Ibu jangan terlalu capek yaa, tidak usah kerja yang berat-berat. Ibu tidak perlu pusing mikirin biaya kuliah Nata. Beasiswa Nata udah cukup kok membiayai uang kuliah dan biaya hidup sehari-hari. Nata takut ibu sakit, apalagi jarak kita sekarang sangat jauh. .”
“Iyaa, Nata juga, makan yang banyak, minum vitamin biar nggak gampang sakit. . ibu sayang Nata.”
Obrolan telefon berakhir dalam 20 menit durasi panggilan.
Hari-hari yang dilewati Nata dengan kesibukannya sebagai mahasiswa. Mengerjakan tugas, belajar, serta  penelitian ilmiah untuk program studi yang tengah ditempuhnya. Hingga perubahan mulai nampak pada diri Nata, keadaan lingkungan dan teman-teman yang mempunyai pergaulan super waw, membuat Nata tergoda hingga terbawa bersama mereka.
Nata, yang biasanya memberi kabar tentang dirinya pada ibu, seminggu sekali, atau bahkan lebih. Kini dalam sebulan kemungkinan hanya sekali, kalaupun ibu yang menghubunginya lebih dulu, pasti dia tidak akan mengangkatnya, dengan alasan sedang kuliah atau lagi sibuk penelitian. Sehingga ibu pun takut menghubungi Nata lebih dulu, takut mengganggu katanya.
                                                                        ***
Meskipun Nata telah berpesan pada ibu agar tidak bekerja terlalu keras seperti dulu, tapi ibu tetap melakukan pekerjaannya seperti dulu. Tak berubah. Ibu selalu menabung hasil jerih payah yang ia dapatkan sehari-hari. Ia tidak ingin bergantung pada beasiswa yang didapatkan oleh Nata, bisa saja suatu hari nanti Nata membutuhkan uang dalam keadaan mendesak.
Karena aktivitas sehari-hari yang begitu berat, akhirnya Ibu sakit. Yang mengurusi ibu sakit adalah majikannya tempat ia bekerja. Karena majikannya kasihan, Ibu Mira sejak ditinggal Nata, hanya sendirian. Maklum karena semua keluarga ibu Mira berada jauh di Sumatera, sedangkan ia tetap bertahan di kota Jagung ini dengan alasan, tidak ingin menghapus kenangannya bersama ayah Nata. Baginya Gorontalo adalah kota dimana orang-orang baik berkumpul, sehingga ia tidak ingin pindah apalagi pulang kampung.
Sakit yang dialami ibu Mira terlihat semakin hari semakin parah, dalam tidurnya ia sering mengigau menyebut nama Nata, hingga buliran air matanya jatuh walau dalam keadaan mata terpejam. Mungkin karena bawaan kerinduannya pada Nata, yang sudah hampir sebulan lebih tanpa kabar yang berada jauh di kota ondel-ondel tersebut. Ibu Kalsum, majikan beliau sangat khwatir melihat kondisi ini, hingga ia mencoba mencari nomor kontak Nata di ponsel ibu Mira. Dan langsung menghubungi Nata, meskipun dari jauh-jauh hari Ibu Mira sudah memperingatkan agar tidak memberitahu Nata bila ia  sakit.
Disisi lain, Nata bersama teman-temannya berkumpul di rumah salah satu temannya, Rere. anak dari seorang anggota DPR yang cukup disegani diwilayahnya. Ngumpul bareng, ketawa-tawa, menikmati fasilitas rumah kaya itu, mereka bebas melakukan apasaja disitu, termasuk ngajak pacar atau teman-teman cowok. Maklum Rere adalah korban broken home, karena sering ditinggal orang tuannya yang sibuk berkarir. 
Nata yang saat itu tengah duduk dan menyandarkan kepalanya di bahu salah seorang cowok yang jelas-jelas bukan muhrimnya, tengah asik mengotak-atik smartphone milik cowok disampingnya, yang tak lain adalah pacarnya. Nata, telah berubah 99,9%. Rambut indahnya yang dulu terbalut kerudung, kini tak hanya tersingkap tapi lepas terbawa angin entah kemana. Apabila ibu tahu keadaan Nata sekarang, mungkin dia tak akan sembuh lagi dari sakitnya.
Bebeb, hp kamu bunyi. Angkat dulu.  .” kata pacarnya sambil menyodorkan ponsel milik Nata
Nata menegakkan kepalanya dan meraih ponsel yang diberikan pacarnya. Ada nomor baru yang memanggil, awalnya dia ragu untuk mengangkat, tapi demi menjaga kecurigaan yang tidak-tidak dari pacarnya, ia pun menjawab panggilan tersebut.
Hallo,,”
“Assalamu’alaikum, ,Nata, ini ibu Kalsum. Kamu apa kabar?”
“Oow, baik bu. Ada apa? Tumben nelfon.” Kata Nata mencoba berpura-pura untuk bergurau, namun dalam hatinya ia sangat menyesal mengangkat panggilan ini, hanya mengganggu moment-momentnya bersama Zain, pacarnya.
“Gini loh Nat, ibu kamu sakit. Dia sekarang dirawat di rumah ibu. Ibu khawatir dengan kondisinya, dia selalu memanggil namamu. Emang terakhir kamu nelfon ibumu kapan? Sepertinya dia sangat merindukan kamu Nat.”
Ibu? Seorang wanita yang hampir terlupakan oleh Nata, yang tengah menantinya di kota Jagung. Setelah mendengar kabar tersebut jantung Nata seakan berdebar, sudah lama sekali ia tak menghubungi ibu. Ia baru ingat, ia pernah berkata pada ibunya, bahwa jangan menghubunginya lebih dulu, karena ia sedang sibuk melakukan penelitian penting. Padahal saat itu ia dan teman-temannya sedang berlibur ke Bali untuk merayakan ulang tahun Zain, sekaligus melakukan moment PDKT dan akhirnya jadian saat liburan ke Bali. Ia takut ketahuan ibunya. Sejak saat itu, ibu tidak pernah lagi menghubungi Nata karena alasan bodoh tersebut.
“Nata, halo..” panggil ibu Kalsum, karena Nata hanya diam diseberang sana, tanpa menjawab pertanyaannya.
“Hmm, ya. .. Udah berapa lama ibu sakit? Bisa aku bicara sama ibu?” kata Nata sedikit terbata-bata menahan kesedihan yang tidak sanggup ia sembunyikan.
Ibu kalsum pun memberikan ponsel pada Ibu Mira yang dilihatnya sudah bangun.
Mata ibu Mira langsung berbinar-binar, seakan ia telah sembuh dari sakitnya. Orang tua ini sangat bahagia, akhirnya anak yang dirindukannya selama ini menghubunginya juga. Meski hanya suara sudah cukup mengobati kerinduan ibu, setidaknya dari suara itu dia dapat memastikan Nata baik-baik saja.
Obrolan haru antara ibu dan Nata, hanya berlangsung sekitar 15 menit, karena Nata kembali beralasan segera masuk kelas. Karena saat ia mendengar suara ibunya yang terkesan hanya sakit biasa, membuat kekhawatirannya sedikit berkurang. Dan sedikit tenang karena sudah ada yang merawat ibunya disana. Namun, seandainya Nata mau sedikit saja berfikir bahwa ibunya sakit karena kecapean mencari uang untuknya dan beban kerinduan terhadap dirinya, pasti waktu 15 menit tadi tidak akan cukup.
                                                                        ***
Pagi ini, Nata dan teman-teman sekelasnya akan  melakukan observasi lokasi penelitian yang berlangsung sekitar satu pekan. Mungkin akan membutuhkan biaya sekitar 2 jutaan per individu. Saat itu, Nata sudah kehabisan uang karena uang beasiswa yang ia dapatkan sudah habis untuk hura-hura bersama teman-teman gengnya. Gengsi yang begitu tinggi membuat ia tidak mau meminta bantuan dari teman-temannya. Ia memberanikan diri meminta bantuan Zain. Yang langsung mendapat respon positif dari Zain. Hanya satu kalimat sms saja, uang 2 juta langsung dapat dikantongi oleh Nata.
Tak pernah ia menyangka, untuk dapat uang 2 juta dari Zain, Ia harus membayar mahal dengan mengorbankan kehormatannya kepada laki-laki yang belum  tentu jodohnya itu. Rasa kecewanya membuat ia muak melihat Zain, Ia tak percaya ternyata Zain sama saja dengan laki-laki nakal pada umumnya. Dengan kehancuran hatinya, ia memutuskan hubungannya dengan Zain. Beruntung rasa malu itu belum hilang dari diri seorang Nata, sehingga Ia masih dapat mencegah dirinya dari perbuatan nista.
Ternyata ia melupakan satu orang. satu-satunya orang paling ikhlas di dunia ini untuk memberikan bantuan untuknya, tanpa meminta balasan ataupun imbalan, hanya mengharapkan apa yang terbaik untuk dirinya, Ibu. Akhirnya Nata kembali pada ibunya, meminta bantuan, dan sudah bisa ditebak pasti apapun itu asal untuk kebaikan Nata, ibu pun memberikan yang dimintanya. Berkali-kali Nata memohon maaf pada ibu, karena selama ini telah banyak melakukan kesalahan yang tak diketahui oleh ibunya. Ishak tangisnya terus berderai dan meringis kesakitan yang tak terperihkan kala mengingat kebohongannya kepada ibunya. Sudah cukup Ia mengabaikan ibu, membohongi, kini waktunya ia kembali pada diri Nata yang sebenarnya.
Sejak kejadian itu, Nata sering menghabiskan waktunya untuk belajar, tak lagi bergabung dengan teman-temannya. Ia sekarang lebih sering menelfon ibu, dan mengerjakan tugas-tugas kuliah. Dan terlebih, kejadian itu memberi pelajaran berharga untuk dirinya, bahwa betapa berhargannya kehormatan seorang wanita yang mampu meninggikan derajatnya diantara wanita-wanita lain yang mungkin sudah terlanjur jadi korban laki-laki nakal. Ia kembali berhijab, nggak ada kata terlambat baginya selagi nafas masih berhembus. Itu bertanda Allah masih menyayanginya, memberi kesempatan untuk bertaubat, serta mulai belajar tentang ilmu agama pada majelis-majelis kajian keagamaan yang ada di kampus. Tidak ada waktu lagi untuk mengenang buruknya masa lalu, apalagi sampai terpuruk dan lemah olehnya.
                                                                        ***
Ternyata dugaan Ibu Mira benar, tidak boleh mengharapkan beasiswa yang nggak seberapa itu karena kebutuhan hidup dan biaya tak terduga lainnya akan datang pada saat yang tak terfikirkan. Menjelang wisuda, ternyata Nata membutuhkan banyak biaya, uang beasiswa tak lagi cukup untuk memenuhi semuanya. Tabungan ibu yang hampir 10 juta, sebagian besar dikirimkan pada Nata. Sampai-sampai saat sakit pun ibu nggak mau berobat, karena takut uangnya akan habis dan sudah tidak ada persiapan untuk Nata saat ia memerlukan lagi. Sehingga Ibu selalu menahan rasa sakit sendirian, tak ingin pergi ke dokter, hanya membeli obat-obatan yang di jual pada warung-warung. Bahkan tak jarang, sehari-harinya ibu hanya memakan bubur demi menghemat beras.
Hari ini, Nata Wisuda. Ibu tak datang, karena tidak punya biaya untuk perjalanan ke Jakarta. Kini, hati Nata telah menggebuh-gebuh ingin segera kembali ke kota Jagung. Menemui ibu, dan membantu meringankan beban-bebannya. Wajahnya berbinar-binar membayangkan pertemuan dengan ibu, memeluk ibu, menciumnya, dan mendengar cerita-cerita ibu.
Suasana bandara Soekarno-Hatta benar-benar ramai dengan pengunjung baik yang akan melakukan keberangkatan, kedatangan, atau sedang transit, menunggu penerbangan berikutnya menuju kota tujuan. Setelah chek in, Nata langsung menuju ruang tunggu. Lalu ponselnya berbunyi, nomor baru tertera disana.
Assalamu’alaikum, , Nata” sapa seseorang dari seberang sana, suara seorang wanita yang tak asing, ibu Kalsum
Wa’alaikum salam bu Sum, ada apa?”
“Kamu sudah mau pulang kan? Ibu kamu sakit, sekarang kita ada di RS. Kondisinya kritis.”
Nata tak dapat menjawab lagi, dia terdiam. Langkah kakinya terhenti, buliran hangat membasahi pipinya. Pemberitahuan keberangkatan membuat ia tersentak dan beranjak setengah berlari, ia tak ingin lama-lama lagi ada disini. Apabila saat ini ada penerbangan ekspres langsung Jakarta-Gorontalo pasti ia akan memilih pesawat itu. Hatinya sangat gelisah. Fikiran-fikiran buruk selalu menyapa, dengan susah payah ia tepiskan dengan istighfar.
“Aku benar-benar tidak ingin terjadi sesuatu dengan ibu. Aku lupa, kalaupun Allah memberiku umur yang panjang, tapi belum tentu Allah memberikan hal yang sama pada ibu. Ya Allah, aku mohon padamu sembuhkanlah ibu, berikan aku kesempatan membahagiakannya. Terlalu banyak kesalahan yang telah aku perbuat untuknya. Sedang dia, sedikitpun tak mempermasalahkan itu, ibu tetap menyayangiku.” ―batin Nata berdoa dengan khusuk
                                                                        ***
Kurang lebih 2 jam perjalanan yang di tempuh oleh  Nata. Kini ia telah berada di kota Jagung, bumi Serambi Madinah yang memiliki sederet ciri khas adat istiadat. Nata langsung menuju RS, tempat ibu dirawat. Tak lama kemudian, ibu Kalsum kembali menelfon Nata.
“Nata, kamu nggak usah ke RS, kita udah di rumah. Ibumu sudah melewati masa kritisnya, setelah ia sadar ia langsung memohon-mohon pada ibu untuk dibawa pulang ke rumah saja. Dengan terpaksa, ibu membawanya pulang.”
“Terus keadaan ibu sekarang gimana?”
“Agak baikan. Tapi, tetap rawat jalan. Ibumu tetap memakai infus meski di rumah. Jadi kamu langsung ke rumah bu Sum aja yaa”
Ibu Mira tidak ingin Nata sedih melihat keadaannya yang terbaring lemah di RS. Dipasangi alat-alat medis pun ia tidak suka. Dia melihat dirinya seperti orang yang lagi sekarat yang ujung-ujungnya akan membuat Nata menangis melihat kondisinya. Beberapa menit kemudian, akhirnya Nata telah sampai di rumah Bu Kalsum. Anak laki-laki ibu Kalsum yang seusia Nata menyambut kedatangan Nata, dan langsung membawakan kopernya masuk ke dalam rumah. Nata langsung bergegas menuju kamar tempat ibu berbaring.
Empat tahun tak bertemu, banyak sekali perubahan. Nata terlihat semakin dewasa, ibu terlihat semakin tua. Kerutan di wajahnya menyiratkan beratnya beban yang ia rasakan selama ini, urat tangan menggambarkan kerasnya kehidupan yang dijalaninya, tubuh kurusnya memberitahukan bahwa ia hidup dengan serba kecukupan, wajah tuanya memberi pesan bahwa perjalanan hidupnya hampir mendekati antrian terdepan seperti yang sering ia ceritakan pada Nata waktu kecil, serta sorotan  matanya menyampaikan kerinduan yang mendalam untuk Nata. Nata tak sanggup menahan tangisnya, melihat perubahan yang tergambar pada sosok ibu yang di sayanginya. Nata segera memeluk ibu.
Entah, apa yang terjadi, jika seandainya ia kembali dalam keadaan bobrok, rusak, dan tak mendapat apa-apa. Percuma saja, sekalipun Nata menjadi orang kaya dan membelikan barang-barang mewah untuk ibunya, tapi kehormatannya telah direbut oleh orang yang tidak akan jadi takdir, pasti semuanya tak ada arti apa-apa. Ibu memang benar, kebahagiaannya cukup melihat Nata menjadi anak yang baik dan soleha.
Senyum mengembang indah di bibir ibu, melihat aku yang tumbuh menjadi yang dia inginkan, balutan kerudung menjuntai indah, serta pakaian muslimah syar’i ini yang telah membantu meringankan beban sakit ibu. Ibu semakin semangat ketika melihatku. Aura sehat itu kembali melingkupi memberi kekuatan baru untuk kesembuhannya. Terimakasih ya Allah. .  .
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.Q.S Al-Isra :23-24

―Selesai―

Tidak ada komentar:

Posting Komentar