DI KOTA JAGUNG IBU
MENANTI
Rezki Desmita
Rezki Desmita
(sumber gambar: google.com)
“Kalau Nata udah besar nanti, cita-cita
Nata mau jadi apa?”
“Nata pengen jadi orang kaya, biar ibu
nggak susah lagi nyari uang buat biaya sekolah Nata.”
“Hmm, itu keinginan Nata, bukan
cita-cita. Cita-cita itu misalnya Nata jadi dokter, supaya bisa punya uang
banyak dan Nata juga bisa nolongin orang sakit.”
“Ah, , nggak mau jadi dokter. Dokter
nggak bisa nyembuhin orang sakit, buktinya teman Nata, ayahnya dokter tapi
nggak bisa nyembuhin ibunya yang sakit, akhirnya ibunya meninggal.”
“Nata, semua makhluk itu akan mengalami
yang namanya kematian, tak terkecuali kita manusia. Hidup ini ibarat sedang
mengantri untuk menemui ajal, makanya kita harus terus berbuat baik dan
beramal, karena kita nggak tahu kapan waktu kematian itu akan tiba.”
“Kalau gitu, Nata pengen berdiri
dibarisan paling belakang, supaya Nata bisa hidup lebih lama”
“Alasannya?”
“Karena Nata pengen bahagiain ibu dulu,
Nata nggak pengen mati sebelum mebalas kebaikan ibu.”
“Nata cukup jadi anak soleha dan sekolah
yang benar itu sudah lebih dari cukup buat ibu bahagia dan bangga sama Nata.”
Kata ibunya sambil memeluk tubuh mungil Nata.
Obrolan
Nata kecil bersama Bunda tercinta bagitu akrab dan menyenangkan,
obrolan-obrolan seperti ini hampir tiap hari terjadi, sebelum tidur malam. Bila
anak-anak usia 7 tahun seperti Nata, akan lebih senang dengan dogeng sebelum
tidur, tapi Nata berbeda, dia lebih suka bicara tentang masa depan.
***
10
Tahun Kemudian. .
Sebagai orang tua tunggal,
Ibu Mira selalu berusaha bekerja keras untuk menghidupi keluarga kecilnya,
termasuk menyekolahkan Nata hingga ke perguruan tinggi. Ibu Mira berprofesi
sebagai pembantu rumah tangga pada siang harinya, dan berprofesi sebagai
penjual gorengan pada malam harinya. Melihat keadaan ibunya yang bekerja keras
sendirian tanpa seorang Ayah ini, membuat Nata selalu terdorong membantu untuk
meringankan beban ibu, karena sejak usianya 5 tahun Ayahnya telah meninggal,
sehingga ibunya yang mengambil alih semua urusan rumah tangga, dan memilih
hidup sebagai janda satu anak. Entah kenapa Ibunya tidak ingin menikah lagi,
mungkin ia tak ingin kasih sayangnya akan terbagi.
Meski tanpa seorang
Ayah, Nata tumbuh menjadi seorang anak baik dan soleha sesuai impian ibunya
ketika ia kecil. Kini Nata telah duduk dibangku perguruan tinggi berkat
beasiswa yang didapatkannya, meskipun letak perguruan tinggi tersebut berada di
luar pulau Sulawesi, tapi tak menurunkan semangat Nata untuk menuntut ilmu,
termasuk berpisah dengan ibunya. Karena Nata kuliah di kota ondel-ondel, Jakarta,
sedangkan ibunya tinggal di Kota Jagung, Gorontalo.
“Ibu sudah makan?” sapa Nata melalui
ponselnya.
“Sudah. Nata?”
“Sudah bu. Ibu jangan terlalu capek yaa,
tidak usah kerja yang berat-berat. Ibu tidak perlu pusing mikirin biaya kuliah
Nata. Beasiswa Nata udah cukup kok membiayai uang kuliah dan biaya hidup
sehari-hari. Nata takut ibu sakit, apalagi jarak kita sekarang sangat jauh. .”
“Iyaa, Nata juga, makan yang banyak,
minum vitamin biar nggak gampang sakit. . ibu sayang Nata.”
Obrolan
telefon berakhir dalam 20 menit durasi panggilan.
Hari-hari yang dilewati
Nata dengan kesibukannya sebagai mahasiswa. Mengerjakan tugas, belajar, serta penelitian ilmiah untuk program studi yang
tengah ditempuhnya. Hingga perubahan mulai nampak pada diri Nata, keadaan
lingkungan dan teman-teman yang mempunyai pergaulan super waw, membuat Nata tergoda hingga terbawa bersama mereka.
Nata, yang biasanya
memberi kabar tentang dirinya pada ibu, seminggu sekali, atau bahkan lebih.
Kini dalam sebulan kemungkinan hanya sekali, kalaupun ibu yang menghubunginya
lebih dulu, pasti dia tidak akan mengangkatnya, dengan alasan sedang kuliah
atau lagi sibuk penelitian. Sehingga ibu pun takut menghubungi Nata lebih dulu,
takut mengganggu katanya.
***
Meskipun Nata telah
berpesan pada ibu agar tidak bekerja terlalu keras seperti dulu, tapi ibu tetap
melakukan pekerjaannya seperti dulu. Tak berubah. Ibu selalu menabung hasil
jerih payah yang ia dapatkan sehari-hari. Ia tidak ingin bergantung pada
beasiswa yang didapatkan oleh Nata, bisa saja suatu hari nanti Nata membutuhkan
uang dalam keadaan mendesak.
Karena
aktivitas sehari-hari yang begitu berat, akhirnya Ibu sakit. Yang mengurusi ibu
sakit adalah majikannya tempat ia bekerja. Karena majikannya kasihan, Ibu Mira
sejak ditinggal Nata, hanya sendirian. Maklum karena semua keluarga ibu Mira
berada jauh di Sumatera, sedangkan ia tetap bertahan di kota Jagung ini dengan
alasan, tidak ingin menghapus kenangannya bersama ayah Nata. Baginya Gorontalo
adalah kota dimana orang-orang baik berkumpul, sehingga ia tidak ingin pindah
apalagi pulang kampung.
Sakit
yang dialami ibu Mira terlihat semakin hari semakin parah, dalam tidurnya ia
sering mengigau menyebut nama Nata, hingga buliran air matanya jatuh walau
dalam keadaan mata terpejam. Mungkin karena bawaan kerinduannya pada Nata, yang
sudah hampir sebulan lebih tanpa kabar yang berada jauh di kota ondel-ondel
tersebut. Ibu Kalsum, majikan beliau sangat khwatir melihat kondisi ini, hingga
ia mencoba mencari nomor kontak Nata di ponsel ibu Mira. Dan langsung
menghubungi Nata, meskipun dari jauh-jauh hari Ibu Mira sudah memperingatkan
agar tidak memberitahu Nata bila ia
sakit.
Disisi lain, Nata
bersama teman-temannya berkumpul di rumah salah satu temannya, Rere. anak dari
seorang anggota DPR yang cukup disegani diwilayahnya. Ngumpul bareng,
ketawa-tawa, menikmati fasilitas rumah kaya itu, mereka bebas melakukan apasaja
disitu, termasuk ngajak pacar atau teman-teman cowok. Maklum Rere adalah korban
broken home, karena sering ditinggal orang tuannya yang sibuk berkarir.
Nata yang saat itu
tengah duduk dan menyandarkan kepalanya di bahu salah seorang cowok yang
jelas-jelas bukan muhrimnya, tengah asik mengotak-atik smartphone milik cowok disampingnya, yang tak lain adalah pacarnya.
Nata, telah berubah 99,9%. Rambut indahnya yang dulu terbalut kerudung, kini
tak hanya tersingkap tapi lepas terbawa angin entah kemana. Apabila ibu tahu
keadaan Nata sekarang, mungkin dia tak akan sembuh lagi dari sakitnya.
“Bebeb,
hp kamu bunyi. Angkat dulu. .” kata pacarnya sambil menyodorkan ponsel
milik Nata
Nata menegakkan
kepalanya dan meraih ponsel yang diberikan pacarnya. Ada nomor baru yang
memanggil, awalnya dia ragu untuk mengangkat, tapi demi menjaga kecurigaan yang
tidak-tidak dari pacarnya, ia pun menjawab panggilan tersebut.
“Hallo,,”
“Assalamu’alaikum, ,Nata, ini ibu
Kalsum. Kamu apa kabar?”
“Oow, baik bu. Ada apa? Tumben nelfon.”
Kata Nata mencoba berpura-pura untuk bergurau, namun dalam hatinya ia sangat
menyesal mengangkat panggilan ini, hanya mengganggu moment-momentnya bersama Zain,
pacarnya.
“Gini loh Nat, ibu kamu sakit. Dia
sekarang dirawat di rumah ibu. Ibu khawatir dengan kondisinya, dia selalu memanggil
namamu. Emang terakhir kamu nelfon ibumu kapan? Sepertinya dia sangat
merindukan kamu Nat.”
Ibu? Seorang wanita yang
hampir terlupakan oleh Nata, yang tengah menantinya di kota Jagung. Setelah
mendengar kabar tersebut jantung Nata seakan berdebar, sudah lama sekali ia tak
menghubungi ibu. Ia baru ingat, ia pernah berkata pada ibunya, bahwa jangan
menghubunginya lebih dulu, karena ia sedang sibuk melakukan penelitian penting.
Padahal saat itu ia dan teman-temannya sedang berlibur ke Bali untuk merayakan
ulang tahun Zain, sekaligus melakukan moment PDKT dan akhirnya jadian saat
liburan ke Bali. Ia takut ketahuan ibunya. Sejak saat itu, ibu tidak pernah
lagi menghubungi Nata karena alasan bodoh tersebut.
“Nata, halo..” panggil ibu Kalsum,
karena Nata hanya diam diseberang sana, tanpa menjawab pertanyaannya.
“Hmm, ya. .. Udah berapa lama ibu sakit?
Bisa aku bicara sama ibu?” kata Nata sedikit terbata-bata menahan kesedihan
yang tidak sanggup ia sembunyikan.
Ibu kalsum pun memberikan ponsel pada
Ibu Mira yang dilihatnya sudah bangun.
Mata
ibu Mira langsung berbinar-binar, seakan ia telah sembuh dari sakitnya. Orang
tua ini sangat bahagia, akhirnya anak yang dirindukannya selama ini menghubunginya
juga. Meski hanya suara sudah cukup mengobati kerinduan ibu, setidaknya dari
suara itu dia dapat memastikan Nata baik-baik saja.
Obrolan haru antara ibu
dan Nata, hanya berlangsung sekitar 15 menit, karena Nata kembali beralasan
segera masuk kelas. Karena saat ia mendengar suara ibunya yang terkesan hanya
sakit biasa, membuat kekhawatirannya sedikit berkurang. Dan sedikit tenang
karena sudah ada yang merawat ibunya disana. Namun, seandainya Nata mau sedikit
saja berfikir bahwa ibunya sakit karena kecapean mencari uang untuknya dan
beban kerinduan terhadap dirinya, pasti waktu 15 menit tadi tidak akan cukup.
***
Pagi ini, Nata dan
teman-teman sekelasnya akan melakukan
observasi lokasi penelitian yang berlangsung sekitar satu pekan. Mungkin akan
membutuhkan biaya sekitar 2 jutaan per individu. Saat itu, Nata sudah kehabisan
uang karena uang beasiswa yang ia dapatkan sudah habis untuk hura-hura bersama
teman-teman gengnya. Gengsi yang begitu tinggi membuat ia tidak mau meminta
bantuan dari teman-temannya. Ia memberanikan diri meminta bantuan Zain. Yang
langsung mendapat respon positif dari Zain. Hanya satu kalimat sms saja, uang 2
juta langsung dapat dikantongi oleh Nata.
Tak
pernah ia menyangka, untuk dapat uang 2 juta dari Zain, Ia harus membayar mahal
dengan mengorbankan kehormatannya kepada laki-laki yang belum tentu jodohnya itu. Rasa kecewanya membuat ia
muak melihat Zain, Ia tak percaya ternyata Zain sama saja dengan laki-laki
nakal pada umumnya. Dengan kehancuran hatinya, ia memutuskan hubungannya dengan
Zain. Beruntung rasa malu itu belum hilang dari diri seorang Nata, sehingga Ia
masih dapat mencegah dirinya dari perbuatan nista.
Ternyata
ia melupakan satu orang. satu-satunya orang paling ikhlas di dunia ini untuk
memberikan bantuan untuknya, tanpa meminta balasan ataupun imbalan, hanya
mengharapkan apa yang terbaik untuk dirinya, Ibu. Akhirnya Nata kembali pada
ibunya, meminta bantuan, dan sudah bisa ditebak pasti apapun itu asal untuk
kebaikan Nata, ibu pun memberikan yang dimintanya. Berkali-kali Nata memohon
maaf pada ibu, karena selama ini telah banyak melakukan kesalahan yang tak
diketahui oleh ibunya. Ishak tangisnya terus berderai dan meringis kesakitan
yang tak terperihkan kala mengingat kebohongannya kepada ibunya. Sudah cukup Ia
mengabaikan ibu, membohongi, kini waktunya ia kembali pada diri Nata yang
sebenarnya.
Sejak
kejadian itu, Nata sering menghabiskan waktunya untuk belajar, tak lagi
bergabung dengan teman-temannya. Ia sekarang lebih sering menelfon ibu, dan mengerjakan
tugas-tugas kuliah. Dan terlebih, kejadian itu memberi pelajaran berharga untuk
dirinya, bahwa betapa berhargannya kehormatan seorang wanita yang mampu
meninggikan derajatnya diantara wanita-wanita lain yang mungkin sudah terlanjur
jadi korban laki-laki nakal. Ia kembali berhijab, nggak ada kata terlambat
baginya selagi nafas masih berhembus. Itu bertanda Allah masih menyayanginya,
memberi kesempatan untuk bertaubat, serta mulai belajar tentang ilmu agama pada
majelis-majelis kajian keagamaan yang ada di kampus. Tidak ada waktu lagi untuk
mengenang buruknya masa lalu, apalagi sampai terpuruk dan lemah olehnya.
***
Ternyata
dugaan Ibu Mira benar, tidak boleh mengharapkan beasiswa yang nggak seberapa
itu karena kebutuhan hidup dan biaya tak terduga lainnya akan datang pada saat
yang tak terfikirkan. Menjelang wisuda, ternyata Nata membutuhkan banyak biaya,
uang beasiswa tak lagi cukup untuk memenuhi semuanya. Tabungan ibu yang hampir
10 juta, sebagian besar dikirimkan pada Nata. Sampai-sampai saat sakit pun ibu
nggak mau berobat, karena takut uangnya akan habis dan sudah tidak ada
persiapan untuk Nata saat ia memerlukan lagi. Sehingga Ibu selalu menahan rasa
sakit sendirian, tak ingin pergi ke dokter, hanya membeli obat-obatan yang di
jual pada warung-warung. Bahkan tak jarang, sehari-harinya ibu hanya memakan
bubur demi menghemat beras.
Hari
ini, Nata Wisuda. Ibu tak datang, karena tidak punya biaya untuk perjalanan ke
Jakarta. Kini, hati Nata telah menggebuh-gebuh ingin segera kembali ke kota Jagung.
Menemui ibu, dan membantu meringankan beban-bebannya. Wajahnya berbinar-binar
membayangkan pertemuan dengan ibu, memeluk ibu, menciumnya, dan mendengar
cerita-cerita ibu.
Suasana
bandara Soekarno-Hatta benar-benar ramai dengan pengunjung baik yang akan
melakukan keberangkatan, kedatangan, atau sedang transit, menunggu penerbangan
berikutnya menuju kota tujuan. Setelah chek
in, Nata langsung menuju ruang tunggu. Lalu ponselnya berbunyi, nomor baru
tertera disana.
“Assalamu’alaikum, , Nata” sapa seseorang
dari seberang sana, suara seorang wanita yang tak asing, ibu Kalsum
“Wa’alaikum salam bu Sum, ada apa?”
“Kamu
sudah mau pulang kan? Ibu kamu sakit, sekarang kita ada di RS. Kondisinya
kritis.”
Nata
tak dapat menjawab lagi, dia terdiam. Langkah kakinya terhenti, buliran hangat
membasahi pipinya. Pemberitahuan keberangkatan membuat ia tersentak dan
beranjak setengah berlari, ia tak ingin lama-lama lagi ada disini. Apabila saat
ini ada penerbangan ekspres langsung Jakarta-Gorontalo pasti ia akan memilih
pesawat itu. Hatinya sangat gelisah. Fikiran-fikiran buruk selalu menyapa,
dengan susah payah ia tepiskan dengan istighfar.
“Aku benar-benar tidak ingin
terjadi sesuatu dengan ibu. Aku lupa, kalaupun Allah memberiku umur yang
panjang, tapi belum tentu Allah memberikan hal yang sama pada ibu. Ya Allah,
aku mohon padamu sembuhkanlah ibu, berikan aku kesempatan membahagiakannya.
Terlalu banyak kesalahan yang telah aku perbuat untuknya. Sedang dia,
sedikitpun tak mempermasalahkan itu, ibu tetap menyayangiku.” ―batin
Nata berdoa dengan khusuk
***
Kurang
lebih 2 jam perjalanan yang di tempuh oleh
Nata. Kini ia telah berada di kota Jagung, bumi Serambi Madinah yang
memiliki sederet ciri khas adat istiadat. Nata langsung menuju RS, tempat ibu dirawat.
Tak lama kemudian, ibu Kalsum kembali menelfon Nata.
“Nata,
kamu nggak usah ke RS, kita udah di rumah. Ibumu sudah melewati masa kritisnya,
setelah ia sadar ia langsung memohon-mohon pada ibu untuk dibawa pulang ke
rumah saja. Dengan terpaksa, ibu membawanya pulang.”
“Terus
keadaan ibu sekarang gimana?”
“Agak
baikan. Tapi, tetap rawat jalan. Ibumu tetap memakai infus meski di rumah. Jadi
kamu langsung ke rumah bu Sum aja yaa”
Ibu
Mira tidak ingin Nata sedih melihat keadaannya yang terbaring lemah di RS.
Dipasangi alat-alat medis pun ia tidak suka. Dia melihat dirinya seperti orang
yang lagi sekarat yang ujung-ujungnya akan membuat Nata menangis melihat
kondisinya. Beberapa menit kemudian, akhirnya Nata telah sampai di rumah Bu
Kalsum. Anak laki-laki ibu Kalsum yang seusia Nata menyambut kedatangan Nata,
dan langsung membawakan kopernya masuk ke dalam rumah. Nata langsung bergegas
menuju kamar tempat ibu berbaring.
Empat
tahun tak bertemu, banyak sekali perubahan. Nata terlihat semakin dewasa, ibu
terlihat semakin tua. Kerutan di wajahnya menyiratkan beratnya beban yang ia
rasakan selama ini, urat tangan menggambarkan kerasnya kehidupan yang
dijalaninya, tubuh kurusnya memberitahukan bahwa ia hidup dengan serba
kecukupan, wajah tuanya memberi pesan bahwa perjalanan hidupnya hampir
mendekati antrian terdepan seperti yang sering ia ceritakan pada Nata waktu
kecil, serta sorotan matanya
menyampaikan kerinduan yang mendalam untuk Nata. Nata tak sanggup menahan
tangisnya, melihat perubahan yang tergambar pada sosok ibu yang di sayanginya.
Nata segera memeluk ibu.
Entah,
apa yang terjadi, jika seandainya ia kembali dalam keadaan bobrok, rusak, dan
tak mendapat apa-apa. Percuma saja, sekalipun Nata menjadi orang kaya dan
membelikan barang-barang mewah untuk ibunya, tapi kehormatannya telah direbut
oleh orang yang tidak akan jadi takdir, pasti semuanya tak ada arti apa-apa. Ibu
memang benar, kebahagiaannya cukup melihat Nata menjadi anak yang baik dan
soleha.
Senyum mengembang indah di bibir ibu,
melihat aku yang tumbuh menjadi yang dia inginkan, balutan kerudung menjuntai
indah, serta pakaian muslimah syar’i ini yang telah membantu meringankan beban
sakit ibu. Ibu semakin semangat ketika melihatku. Aura sehat itu kembali
melingkupi memberi kekuatan baru untuk kesembuhannya. Terimakasih ya Allah.
. .
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” Q.S Al-Isra :23-24
―Selesai―
Tidak ada komentar:
Posting Komentar