Minggu, 23 Oktober 2016

Hell Man (by_Keky Rezki)

Hell Man
Rezki Desmita

Hasil gambar untuk KARTUN COWOK COOL
(Sumber Gambar: google.com)

Gulungan ombak mulai menyapu bibir pantai  membuat istana pasir buatan anak-anak menyatu kembali bersama pasir putih. Matahari perlahan mulai beranjak ke ufuk barat membiaskan cahaya kuning keemasan memancar indah, pertanda sebentar lagi akan ada sunset. Anak-anak kecil berlarian, bermain sesuka hati menikmati weekand bersama keluarga, tidak ketinggalan pula para remaja dan dewasa ikut tenggelam dalam asyiknya menikmati keindahan pantai di sebuah daratan mengapung yang bernama pulau Saronde. Ramainya pengunjung pantai ini merupakan tontonan pengobat kesunyian hati seorang peng-galau berat. Dijamin, pesona alam dan jernihnya air lautan tanpa cemaran sampah industry ini mampu menjernihkan fikiran yang carut-marut.
“Terkadang diam, sendiri, dan menyepi itu cara terindah dalam merenungi segalanya. Tafakur alam di pulau saronde adalah pilihanku.”― Batinku sembari tersenyum menikmati hembusan angin senja.
Disini aku akan me-refresh jiwa, fikiran, dan hatiku. Begitu banyak yang harus ku perbaiki pada diri ini, sebagai generasi yang terlahir di era reformasi, yang harus bersiap menghadapi segala tantangan termasuk tantangan globalisasi dunia saat ini. Apakah aku akan tetap seperti ini? Cuek terhadap pendidikan, tidak suka belajar, dan hanya mengandalkan fasilitas mewah pemberian orang tua, sembari menghabiskan jajan untuk membeli hal-hal terlarang dan merusak diriku sendiri,― miras minumanku dikala haus. Hingga, hari ini aku melakukannya lagi, mama mengetahui semuanya, bahwa anak semata wayangnya ini pengkonsumsi miras berat. Aku disini bukan untuk lari dari masalah, hanya saja aku butuh waktu dan tempat untuk merenungi segala masalah, berusaha mencari solusi.
                                                                        ***
Sekali atau dua kali, masih bisa di maklumi. Ketika hal itu terulang lagi, tiga, lima, bahkan sampai lebih dari sepuluh kali, setan pun akan pensiun dari tugasnya sebagai penggoda manusia. Bagaimana tidak, tanpa digoda pun manusia sudah pandai melakukannya, bahkan lebih dari takaran efek godaan setan. Namaku Hilman, mahasiswa super-duper power masalah teler. Kebiasaan yang tertanam sejak di bangku sekolah masih terus tumbuh dan lestari di dalam diriku. Terbiasa hidup dengan kemewahan, dikelilingi teman-teman AGG― Anak Gaul Gorontalo, dan kebebasan tanpa tekanan membuat ku seakan-akan berkuasa atas segalanya. Tak peduli, walaupun di sekolah, apabila aku ingin minum miras dengan segera aku menghubungi teman-teman AGG. Dalam hitungan menit mereka akan datang membawa sebotol minuman tentunya sudah tercampur dengan minuman soft drink yang 0% Alkohol, modus buat menyamarkan baunya. Aku meminumnya ketika jam pelajaran dimulai, bagaimana caranya? Mungkin kita semua pernah melihat botol minuman anak-anak TK, itulah botol minumanku, berwarna biru tekstur botolnya tebal tidak transparan. Demi menghindari agar teman-teman tidak meminumnya, aku pura-pura meludahi dalam botol sehingga aman terkendali.
Di dunia kampus pun tak jauh berbeda, bahkan disinilah duniaku sebenarnya, dunia bebas berekspresi. Aku tetap sama, Hilman si jago teler. Cara agar tetap dikelilingi teman-teman adalah memelihara penampilan, boleh saja mereka memanggilku dengan berbagai julukan, tapi ketika kebanyakan orang melihat penampilanku mereka tidak akan percaya bahwa aku demikian. Aku sangat gemar mengenakan kemeja, celana panjang jins, dan bersepatu rapi. Kebiasaan buruk aku yang tak bisa hilang adalah minum miras. Kebiasaan terbaik aku dan paling disukai banyak orang adalah caraku memperlakukan wanita, aku tidak suka menyakiti wanita, aku sangat menyayangi anak-anak kecil perempuan, menghargai para cewek, menghormati wanita yang lebih tua, dan tentunya aku sangat mencintai dan menyayangi mama, lebih dari apapun, karena kata pak ustadz surga ada di bawah telapak kaki ibu.
Bagaimanapun seorang wanita dan siapapun dia, dialah calon ibu yang memiliki keistimewaan. Bahkan surga yang begitu indah kata mereka, tidak terletak di hati wanita, mereka menginjak-injaknya setiap hari. Telapak kaki saja sebegitu istimewah, apalagi diri seorang wanita, prinsipku lahir sebagai laki-laki maka tugas utama dan mulia adalah menjaga wanita. Makanya sampai sekarang aku tidak punya pacar, takut menyakiti mereka. Ada satu hal lagi yang membuatku malas, yaitu sekolah, kuliah, atau lebih kerennya menuntut ilmu. Kalau bukan karena mama, aku tidak akan sekolah sampai di bangku perguruan tinggi seperti saat ini. Aku sudah punya segalanya, buat apa lagi sekolah. Sudah dapat membaca dan menghitung dengan baik saja, sudah cukup dan luar biasa.
“Hilman, coba definisikan makna feminisme?” Teriak pak Jono pada Hilman, yang dilihatnya sejak tadi hanya melototi jendela kaca.
“Tugas utama dan mulia bagi seorang laki-laki adalah menjaga wanita.” Jawab Hilman dengan refleks.
“Jawaban macam apa itu Hilman? Setiap mata kuliah saya, kamu terus saja melihat kearah jendela, ini sudah lima kali pertemuan. Sikap dan kebiasaan kamu tetap tidak berubah. Apakah lebih penting melihat jendela itu dari pada menelaah sebuah ilmu? Jawab Hilman. Kalau kamu tidak jawab, ini terakhir kalinya kamu jadi mahasiswa saya, perkuliahan selanjutnya silahkan cari dosen yang  mau membimbing kamu dan mengampuni kesalahanmu ini. Tidur, teriak tidak jelas saat mata kuliah berlangsung, selalu terlambat, dan yang paling gila sering melihat ke arah jendela.”
Suara pak Jono menggelegar memenuhi seluruh ruang perkuliahan GB FIS R.K 7 lantai 2 itu. sepertinya pak Jono benar-benar jenuh dengan sikapku selama ini. Wajah teman-teman pucat, mereka ketakutan, sedangkan aku santai dan biasa saja, maklum satu botol sudah habis ku seruput selama perkuliahan berlangsung. Satu botol tidak akan membuatku mabuk, teler, hilang kesadaran, atau sejenisnya. Sehingga aku masih tetap konsentrasi dengan perkuliahan hari ini. Aku hanya kehausan, makanya minum.
“Pertanyaan yang mana harus ku jawab lebih dulu pak? Penjelasan jawaban pertama? Alasan melihat ke jendela? Atau alasan kenapa aku selalu tidur dan datang terlambat?”
“Keluar kamu dari ruangan ini. Sekarang!!!” Teriak pak Jono, dengan emosi semakin meletup kencang.
“Bapak tidak perlu teriak sepert itu, percuma bapak meneriaki saya seperti binatang, itu sama saja bapak meneriaki batu untuk berpindah dari tempatnya. Tidak akan bergerak bahkan tidak akan memahami bahasa bapak. Perlu bapak tahu, mahasiswa bapak ini sedang teler.” Jawabku dengan santai dan tenang.
Sedikitpun aku tidak melangkah dari tempat duduk. Ikut perkuliahan hari ini merupakan hak aku, kenapa aku harus kena hukuman seperti ini hanya karena menatap ke arah jendela. Padahal selama perkuliahan aku tidak menimbulkan keributan. Tidak cukupkah dengan dua telinga serta 80% konsentrasi yang telah aku berikan untuk mendengar penjelasannya selama perkuliahan? Masih juga mengiginkan kedua mataku. Selama perkuliahan pun baru kali ini aku salah dalam menjawab pertanyaannya, itu semua karena dia memberi pertanyaan dengan berteriak dan mengagetkanku, konsentrasiku menyusut hingga 10% . Pak Jono mendekatiku, aku melihatnya tanpa berkedip. Adrenalin darahku tiba-tiba naik. Pak Jono semakin dekat, dengan wajah killer penuh amarah.
Brrukk!! Ada benturan keras mengenai wajahku. Hingga membuat penglihatanku kabur penuh kunang-kunang dan cahaya putih menyilaukan. Aku merasa tubuh ini melayang, jungkir balik, jatuh tersungkur di lantai. Wajahku keram, seluruh tulangku remuk, seketika suasana menjadi sangat gelap. Tak ada lagi yang terlihat.
###
Kali ini sikap Hilman benar-benar tak bisa diampuni oleh pak Jono. Dia memberi Hilman sedikit pelajaran, namun api emosi telah membakar segalanya. Pak Jono tak dapat dihentikan. Dia tidak hanya memukul bagian kepala menggunakan tangannya, tapi mengambil kursi lipat dan memukulkannya pada Hilman. Lantai marmer itu benar-benar berubah warna, menjadi merah. Hilman berlumuran darah, tidak lagi bergerak, bahkan tidak terlihat lagi apakah dia masih bernafas atau tidak. Saat itulah beberapa security kampus masuk ke ruangan menghentikan perbuatan pak Jono.
“Namamu bukan Hilman, tapi kamu adalah Hell Man. Laki-laki neraka, pantasnya pergi ke neraka membawah segunung dosa. Sudah saatnya kamu datang ke tempat asalmu. Pergilah ke neraka Hell man.” Teriak pak Jono yang belum puas memukuli Hilman. Bahkan menyumpahinya.
###
Semuanya berubah. Papa meninggal, mama hidup menjanda sendirian, usaha bisnis papa hancur tak terurus, karena aku satu-satunya harapan penerus bisnis papa tidak tahu apa-apa. Tentu saja kesempatan ini dimanfaatkan oleh orang lain untuk menguasainya dan menendang aku dan mama sebagai pemilik sah. Segala kemewahan itu pergi satu persatu dari hidup keluarga kami. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kemiskinan membuatku tak dapat membeli minuman yang menjadi jajanku setiap hari, menyebabkan fikiranku menjadi frustasi. Aku tidak lagi kuliah, karena uang kami hanya cukup untuk membeli makanan yang bisa bertahan dua sampai tiga hari, itupun hanya uang hasil penjualan perhiasan mama satu per satu, sebentar lagi semuanya akan benar-benar habis tak tersisa. Keadaan ini membuatku semakin frustasi, terlebih akibat terlalu sering mengkonsumsi miras membuat beberapa syaraf otakku tidak lagi bekerja maksimal, bahkan ginjalku dan hati mengalami gangguan. Hingga mama memutuskan membawaku ke rumah sakit jiwa milik pemerintah untuk pemulihan kondisi fsikologi dan mentalku, secara cuma-cuma.
Mama sendirian tanpa kehadiran papa, tanpa aku, tanpa kemewahan, di rumah bekas pembantu kami dulu. Yang masih mau berbaik hati menampung mantan majikannya. Mama adalah orang paling baik sedunia, sehingga dalam keadaan terpuruk sekalipun pembantunya tetap menyayangi dan menghormatinya. Aku anak bodoh yang tidak tahu terimakasih. Setelah semuanya yang mereka berikan, aku hanya mengabaikan bahkan telah menyalahgunakan kesempatan.  Andai kesempatan masih mau memberikan peluang, akan aku perbaiki semuannya. Kesalahan terbesarku adalah mengikuti kemauanku, mengabaikan pendidikanku. Aku menganggap yang berharga di dunia ini hanyalah uang, bahkan uang mengalahkan kekuasaan. Buat apa sekolah, apabila sekolah hanya menghabiskan biaya. Aku memiliki banyak uang, kalau perlu ijazah sarjana, magister, hingga profesor akan aku beli. Fikiranku terlalu dangkal akan hal itu.
Uang yang aku punya sekarang habis tak tersisa, diri ini tidak punya apa-apa lagi untuk diandalkan, hingga dengan mudahnya teman-teman AGG meninggalkanku. Aku lupa harta paling berharga adalah ilmu, orang memiliki uang karena memiliki ilmu, orang dapat berkuasa karena ilmu, orang dianggap pintar karena ilmu. Hanya ilmu yang tak kunjung habis bahkan tak ada yang mampuh mencurinya. Aku hancur, karena tak memiliki ilmu. Hari ini aku benar-benar merasakan sakit luar biasa yang tiba-tiba mendera seluruh tubuhku, aku merindukan papa. Masa kecilku penuh dengan canda dalam rangkulan dan pelukan papa. Papa sangat menyayangiku, saat itu aku hampir dikeluarkan dari sekolah gara-gara beberapa kali ketahuan merokok di dalam kelas. Tapi, papa datang membelaku memberi jaminan kepada pihak sekolah agar mereka tidak mengeluarkanku. Ku melihat wajah tua papa diselimuti kesedihan, dia tak memarahiku malah membisikkiku “Papa menyayangimu, maka jangan lakukan ini lagi apabila kau menyayangi papa.” Aku hanya diam. Sesaat kemudian aku mendengar kabar papa kecelakaan dan meninggal ketika pulang dari sekolah untuk menyelesaikan masalah yang menimpahku.
Hal itu tidak merubahku, aku tetap pada duniaku, dunia miras dunia bebas. Ternyata aku tidak menyayangi papa, bahkan aku telah membunuhnya. Aku benar-benar Hell man― laki-laki neraka. Entah ini mimpi atau halusinasiku saja, aku tengah terbaring menahan kesakitan yang teramat sakit mencabik-cabik tubuhku, papa datang menjengukku. Bukankah papa telah tiada, tapi kenapa dia datang ke rumah sakit ini. Papa menghampiriku, aku tidak dapat melihat dengan jelas wajahnya, sehingga aku yakin ini hanyalah mimpi, dia tidak menyentuhku hanya terus menatapku. Saat itu, mama datang menjengukku pula. Keluarga kecil kita berkumpul. Aku merasakan kehangatan mengalir memenuhi setiap aliran pembulu darahku. Mama menggenggam tanganku penuh kasih sayang, mama menangis, sementara papa diam saja menatapku. Tiba-tiba, aku ingin bangun dari tempat tidurku, memeluk papa dan mama.
###
Ruang bercat putih di penuhi alat medis, dan semerbak aroma obat-obatan tercium itu tidak terasa apa-apa, dibanding perasaan luka hati melihat sang buah hati terbaring lemah disana, sungguh terasa menyesakkan dada. Selama dua hari menunggu, berdoa dan pasrah kepada Sang pemilik jiwa akhirnya Hilman dapat melewati masa kritisnya, dalam keadaan mata tertutup Ia menangis, dan sudah dapat menggerakkan jari-jarinya. Perlahan matanya terbuka.
Pukulan keras dari pak Jono itu hampir membuat Hilman amnesia bahkan hampir saja merenggut nyawanya, karena terjadi pendarahan yang hebat pada kepalanya. Kebahagiaan luar biasa terpancar pada sorot mata orang tuanya, Hilman kembali.
                                                                        ***
“Mama, baik-baik saja kan? Maafkan Hilman, Hilman telah melakukan banyak dosa sama mama, sama papa. Bahkan Hilman telah membunuh papa, keluarga kita jatuh miskin dan bisnis usaha papa bangkrut gara-gara kebodohan Hilman yang tidak ingin belajar.” Isak tangis Hilman benar-benar meledak.
“Maksud Hilman apa? Hilman tidak salah, siapa yang Hilman Bunuh. Papa ada di ruang dokter mengambil hasil tes lab. Bisnis siapa yang bangkrut, semua baik-baik saja sayang. Hilman jangan mikir hal-hal aneh dulu, kepalanya belum sembuh total.” Nasehat mama penuh kasih.
Disaat yang sama, papa masuk ke ruangan. Aku kaget dan semakin bingung.
“Ma, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa seperti ini? Bukankah papa sudah meninggal sejak aku masih SMA? Kenapa sekarang papa ada disini? Terus uang dari mana yang mama pakai membiayai pengobatanku di rumah sakit?”
“Kamu mengalami kecelakaan di kampus dua hari yang lalu, dan selama dua hari itu kamu koma. Mama dan papa sangat khawatir sama kamu. Semua baik-baik saja Hilman, bahkan sekalipun bisnis papa bangkrut, tidak ada apa-apanya dibanding harus kehilangan kamu.” Jelas Papa.
Aku baru sadar selama masa kritisku, Allah memperlihatkan  betapa buruknya masa laluku. Bila aku tidak berubah, pasti masa depanku akan terjadi seperti yang ada di dalam mimpiku. Seorang Hilman akan berubah menjadi sosok orang bodoh, papa akan celaka karena ulahku sendiri, bisnis papa akan bangkrut karena calon penerusnya bodoh sepertiku, dan biasnya akan berdampak pada mama karena saat itulah masa kehancuran akan hadir. Sekali lagi aku menangis, mensyukuri kesempatan beriring peluang yang Allah berikan.
“Ma. . Pa, maafkan Hilman. Hilman akan memperbaiki semuannya.”
―”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sampai mereka mengubah diri mereka sendiri”― Q.S Ar-Ra’d : 79

                                                            ―SELESAI―

Cerpen Karya-ku spesial untuk para putri soleha dan ibu hebat !!

DI KOTA JAGUNG IBU MENANTI
Rezki Desmita
Hasil gambar untuk aku dan ibu
(sumber gambar: google.com)

“Kalau Nata udah besar nanti, cita-cita Nata mau jadi apa?”
“Nata pengen jadi orang kaya, biar ibu nggak susah lagi nyari uang buat biaya sekolah Nata.”
“Hmm, itu keinginan Nata, bukan cita-cita. Cita-cita itu misalnya Nata jadi dokter, supaya bisa punya uang banyak dan Nata juga bisa nolongin orang sakit.”
“Ah, , nggak mau jadi dokter. Dokter nggak bisa nyembuhin orang sakit, buktinya teman Nata, ayahnya dokter tapi nggak bisa nyembuhin ibunya yang sakit, akhirnya ibunya meninggal.”
“Nata, semua makhluk itu akan mengalami yang namanya kematian, tak terkecuali kita manusia. Hidup ini ibarat sedang mengantri untuk menemui ajal, makanya kita harus terus berbuat baik dan beramal, karena kita nggak tahu kapan waktu kematian itu akan tiba.”
“Kalau gitu, Nata pengen berdiri dibarisan paling belakang, supaya Nata bisa hidup lebih lama”
“Alasannya?”
“Karena Nata pengen bahagiain ibu dulu, Nata nggak pengen mati sebelum mebalas kebaikan ibu.”
“Nata cukup jadi anak soleha dan sekolah yang benar itu sudah lebih dari cukup buat ibu bahagia dan bangga sama Nata.” Kata ibunya sambil memeluk tubuh mungil Nata.
Obrolan Nata kecil bersama Bunda tercinta bagitu akrab dan menyenangkan, obrolan-obrolan seperti ini hampir tiap hari terjadi, sebelum tidur malam. Bila anak-anak usia 7 tahun seperti Nata, akan lebih senang dengan dogeng sebelum tidur, tapi Nata berbeda, dia lebih suka bicara tentang masa depan.
***
10 Tahun  Kemudian. .
Sebagai orang tua tunggal, Ibu Mira selalu berusaha bekerja keras untuk menghidupi keluarga kecilnya, termasuk menyekolahkan Nata hingga ke perguruan tinggi. Ibu Mira berprofesi sebagai pembantu rumah tangga pada siang harinya, dan berprofesi sebagai penjual gorengan pada malam harinya. Melihat keadaan ibunya yang bekerja keras sendirian tanpa seorang Ayah ini, membuat Nata selalu terdorong membantu untuk meringankan beban ibu, karena sejak usianya 5 tahun Ayahnya telah meninggal, sehingga ibunya yang mengambil alih semua urusan rumah tangga, dan memilih hidup sebagai janda satu anak. Entah kenapa Ibunya tidak ingin menikah lagi, mungkin ia tak ingin kasih sayangnya akan terbagi.
Meski tanpa seorang Ayah, Nata tumbuh menjadi seorang anak baik dan soleha sesuai impian ibunya ketika ia kecil. Kini Nata telah duduk dibangku perguruan tinggi berkat beasiswa yang didapatkannya, meskipun letak perguruan tinggi tersebut berada di luar pulau Sulawesi, tapi tak menurunkan semangat Nata untuk menuntut ilmu, termasuk berpisah dengan ibunya. Karena Nata kuliah di kota ondel-ondel, Jakarta, sedangkan ibunya tinggal di Kota Jagung, Gorontalo.
“Ibu sudah makan?” sapa Nata melalui ponselnya.
“Sudah. Nata?”
“Sudah bu. Ibu jangan terlalu capek yaa, tidak usah kerja yang berat-berat. Ibu tidak perlu pusing mikirin biaya kuliah Nata. Beasiswa Nata udah cukup kok membiayai uang kuliah dan biaya hidup sehari-hari. Nata takut ibu sakit, apalagi jarak kita sekarang sangat jauh. .”
“Iyaa, Nata juga, makan yang banyak, minum vitamin biar nggak gampang sakit. . ibu sayang Nata.”
Obrolan telefon berakhir dalam 20 menit durasi panggilan.
Hari-hari yang dilewati Nata dengan kesibukannya sebagai mahasiswa. Mengerjakan tugas, belajar, serta  penelitian ilmiah untuk program studi yang tengah ditempuhnya. Hingga perubahan mulai nampak pada diri Nata, keadaan lingkungan dan teman-teman yang mempunyai pergaulan super waw, membuat Nata tergoda hingga terbawa bersama mereka.
Nata, yang biasanya memberi kabar tentang dirinya pada ibu, seminggu sekali, atau bahkan lebih. Kini dalam sebulan kemungkinan hanya sekali, kalaupun ibu yang menghubunginya lebih dulu, pasti dia tidak akan mengangkatnya, dengan alasan sedang kuliah atau lagi sibuk penelitian. Sehingga ibu pun takut menghubungi Nata lebih dulu, takut mengganggu katanya.
                                                                        ***
Meskipun Nata telah berpesan pada ibu agar tidak bekerja terlalu keras seperti dulu, tapi ibu tetap melakukan pekerjaannya seperti dulu. Tak berubah. Ibu selalu menabung hasil jerih payah yang ia dapatkan sehari-hari. Ia tidak ingin bergantung pada beasiswa yang didapatkan oleh Nata, bisa saja suatu hari nanti Nata membutuhkan uang dalam keadaan mendesak.
Karena aktivitas sehari-hari yang begitu berat, akhirnya Ibu sakit. Yang mengurusi ibu sakit adalah majikannya tempat ia bekerja. Karena majikannya kasihan, Ibu Mira sejak ditinggal Nata, hanya sendirian. Maklum karena semua keluarga ibu Mira berada jauh di Sumatera, sedangkan ia tetap bertahan di kota Jagung ini dengan alasan, tidak ingin menghapus kenangannya bersama ayah Nata. Baginya Gorontalo adalah kota dimana orang-orang baik berkumpul, sehingga ia tidak ingin pindah apalagi pulang kampung.
Sakit yang dialami ibu Mira terlihat semakin hari semakin parah, dalam tidurnya ia sering mengigau menyebut nama Nata, hingga buliran air matanya jatuh walau dalam keadaan mata terpejam. Mungkin karena bawaan kerinduannya pada Nata, yang sudah hampir sebulan lebih tanpa kabar yang berada jauh di kota ondel-ondel tersebut. Ibu Kalsum, majikan beliau sangat khwatir melihat kondisi ini, hingga ia mencoba mencari nomor kontak Nata di ponsel ibu Mira. Dan langsung menghubungi Nata, meskipun dari jauh-jauh hari Ibu Mira sudah memperingatkan agar tidak memberitahu Nata bila ia  sakit.
Disisi lain, Nata bersama teman-temannya berkumpul di rumah salah satu temannya, Rere. anak dari seorang anggota DPR yang cukup disegani diwilayahnya. Ngumpul bareng, ketawa-tawa, menikmati fasilitas rumah kaya itu, mereka bebas melakukan apasaja disitu, termasuk ngajak pacar atau teman-teman cowok. Maklum Rere adalah korban broken home, karena sering ditinggal orang tuannya yang sibuk berkarir. 
Nata yang saat itu tengah duduk dan menyandarkan kepalanya di bahu salah seorang cowok yang jelas-jelas bukan muhrimnya, tengah asik mengotak-atik smartphone milik cowok disampingnya, yang tak lain adalah pacarnya. Nata, telah berubah 99,9%. Rambut indahnya yang dulu terbalut kerudung, kini tak hanya tersingkap tapi lepas terbawa angin entah kemana. Apabila ibu tahu keadaan Nata sekarang, mungkin dia tak akan sembuh lagi dari sakitnya.
Bebeb, hp kamu bunyi. Angkat dulu.  .” kata pacarnya sambil menyodorkan ponsel milik Nata
Nata menegakkan kepalanya dan meraih ponsel yang diberikan pacarnya. Ada nomor baru yang memanggil, awalnya dia ragu untuk mengangkat, tapi demi menjaga kecurigaan yang tidak-tidak dari pacarnya, ia pun menjawab panggilan tersebut.
Hallo,,”
“Assalamu’alaikum, ,Nata, ini ibu Kalsum. Kamu apa kabar?”
“Oow, baik bu. Ada apa? Tumben nelfon.” Kata Nata mencoba berpura-pura untuk bergurau, namun dalam hatinya ia sangat menyesal mengangkat panggilan ini, hanya mengganggu moment-momentnya bersama Zain, pacarnya.
“Gini loh Nat, ibu kamu sakit. Dia sekarang dirawat di rumah ibu. Ibu khawatir dengan kondisinya, dia selalu memanggil namamu. Emang terakhir kamu nelfon ibumu kapan? Sepertinya dia sangat merindukan kamu Nat.”
Ibu? Seorang wanita yang hampir terlupakan oleh Nata, yang tengah menantinya di kota Jagung. Setelah mendengar kabar tersebut jantung Nata seakan berdebar, sudah lama sekali ia tak menghubungi ibu. Ia baru ingat, ia pernah berkata pada ibunya, bahwa jangan menghubunginya lebih dulu, karena ia sedang sibuk melakukan penelitian penting. Padahal saat itu ia dan teman-temannya sedang berlibur ke Bali untuk merayakan ulang tahun Zain, sekaligus melakukan moment PDKT dan akhirnya jadian saat liburan ke Bali. Ia takut ketahuan ibunya. Sejak saat itu, ibu tidak pernah lagi menghubungi Nata karena alasan bodoh tersebut.
“Nata, halo..” panggil ibu Kalsum, karena Nata hanya diam diseberang sana, tanpa menjawab pertanyaannya.
“Hmm, ya. .. Udah berapa lama ibu sakit? Bisa aku bicara sama ibu?” kata Nata sedikit terbata-bata menahan kesedihan yang tidak sanggup ia sembunyikan.
Ibu kalsum pun memberikan ponsel pada Ibu Mira yang dilihatnya sudah bangun.
Mata ibu Mira langsung berbinar-binar, seakan ia telah sembuh dari sakitnya. Orang tua ini sangat bahagia, akhirnya anak yang dirindukannya selama ini menghubunginya juga. Meski hanya suara sudah cukup mengobati kerinduan ibu, setidaknya dari suara itu dia dapat memastikan Nata baik-baik saja.
Obrolan haru antara ibu dan Nata, hanya berlangsung sekitar 15 menit, karena Nata kembali beralasan segera masuk kelas. Karena saat ia mendengar suara ibunya yang terkesan hanya sakit biasa, membuat kekhawatirannya sedikit berkurang. Dan sedikit tenang karena sudah ada yang merawat ibunya disana. Namun, seandainya Nata mau sedikit saja berfikir bahwa ibunya sakit karena kecapean mencari uang untuknya dan beban kerinduan terhadap dirinya, pasti waktu 15 menit tadi tidak akan cukup.
                                                                        ***
Pagi ini, Nata dan teman-teman sekelasnya akan  melakukan observasi lokasi penelitian yang berlangsung sekitar satu pekan. Mungkin akan membutuhkan biaya sekitar 2 jutaan per individu. Saat itu, Nata sudah kehabisan uang karena uang beasiswa yang ia dapatkan sudah habis untuk hura-hura bersama teman-teman gengnya. Gengsi yang begitu tinggi membuat ia tidak mau meminta bantuan dari teman-temannya. Ia memberanikan diri meminta bantuan Zain. Yang langsung mendapat respon positif dari Zain. Hanya satu kalimat sms saja, uang 2 juta langsung dapat dikantongi oleh Nata.
Tak pernah ia menyangka, untuk dapat uang 2 juta dari Zain, Ia harus membayar mahal dengan mengorbankan kehormatannya kepada laki-laki yang belum  tentu jodohnya itu. Rasa kecewanya membuat ia muak melihat Zain, Ia tak percaya ternyata Zain sama saja dengan laki-laki nakal pada umumnya. Dengan kehancuran hatinya, ia memutuskan hubungannya dengan Zain. Beruntung rasa malu itu belum hilang dari diri seorang Nata, sehingga Ia masih dapat mencegah dirinya dari perbuatan nista.
Ternyata ia melupakan satu orang. satu-satunya orang paling ikhlas di dunia ini untuk memberikan bantuan untuknya, tanpa meminta balasan ataupun imbalan, hanya mengharapkan apa yang terbaik untuk dirinya, Ibu. Akhirnya Nata kembali pada ibunya, meminta bantuan, dan sudah bisa ditebak pasti apapun itu asal untuk kebaikan Nata, ibu pun memberikan yang dimintanya. Berkali-kali Nata memohon maaf pada ibu, karena selama ini telah banyak melakukan kesalahan yang tak diketahui oleh ibunya. Ishak tangisnya terus berderai dan meringis kesakitan yang tak terperihkan kala mengingat kebohongannya kepada ibunya. Sudah cukup Ia mengabaikan ibu, membohongi, kini waktunya ia kembali pada diri Nata yang sebenarnya.
Sejak kejadian itu, Nata sering menghabiskan waktunya untuk belajar, tak lagi bergabung dengan teman-temannya. Ia sekarang lebih sering menelfon ibu, dan mengerjakan tugas-tugas kuliah. Dan terlebih, kejadian itu memberi pelajaran berharga untuk dirinya, bahwa betapa berhargannya kehormatan seorang wanita yang mampu meninggikan derajatnya diantara wanita-wanita lain yang mungkin sudah terlanjur jadi korban laki-laki nakal. Ia kembali berhijab, nggak ada kata terlambat baginya selagi nafas masih berhembus. Itu bertanda Allah masih menyayanginya, memberi kesempatan untuk bertaubat, serta mulai belajar tentang ilmu agama pada majelis-majelis kajian keagamaan yang ada di kampus. Tidak ada waktu lagi untuk mengenang buruknya masa lalu, apalagi sampai terpuruk dan lemah olehnya.
                                                                        ***
Ternyata dugaan Ibu Mira benar, tidak boleh mengharapkan beasiswa yang nggak seberapa itu karena kebutuhan hidup dan biaya tak terduga lainnya akan datang pada saat yang tak terfikirkan. Menjelang wisuda, ternyata Nata membutuhkan banyak biaya, uang beasiswa tak lagi cukup untuk memenuhi semuanya. Tabungan ibu yang hampir 10 juta, sebagian besar dikirimkan pada Nata. Sampai-sampai saat sakit pun ibu nggak mau berobat, karena takut uangnya akan habis dan sudah tidak ada persiapan untuk Nata saat ia memerlukan lagi. Sehingga Ibu selalu menahan rasa sakit sendirian, tak ingin pergi ke dokter, hanya membeli obat-obatan yang di jual pada warung-warung. Bahkan tak jarang, sehari-harinya ibu hanya memakan bubur demi menghemat beras.
Hari ini, Nata Wisuda. Ibu tak datang, karena tidak punya biaya untuk perjalanan ke Jakarta. Kini, hati Nata telah menggebuh-gebuh ingin segera kembali ke kota Jagung. Menemui ibu, dan membantu meringankan beban-bebannya. Wajahnya berbinar-binar membayangkan pertemuan dengan ibu, memeluk ibu, menciumnya, dan mendengar cerita-cerita ibu.
Suasana bandara Soekarno-Hatta benar-benar ramai dengan pengunjung baik yang akan melakukan keberangkatan, kedatangan, atau sedang transit, menunggu penerbangan berikutnya menuju kota tujuan. Setelah chek in, Nata langsung menuju ruang tunggu. Lalu ponselnya berbunyi, nomor baru tertera disana.
Assalamu’alaikum, , Nata” sapa seseorang dari seberang sana, suara seorang wanita yang tak asing, ibu Kalsum
Wa’alaikum salam bu Sum, ada apa?”
“Kamu sudah mau pulang kan? Ibu kamu sakit, sekarang kita ada di RS. Kondisinya kritis.”
Nata tak dapat menjawab lagi, dia terdiam. Langkah kakinya terhenti, buliran hangat membasahi pipinya. Pemberitahuan keberangkatan membuat ia tersentak dan beranjak setengah berlari, ia tak ingin lama-lama lagi ada disini. Apabila saat ini ada penerbangan ekspres langsung Jakarta-Gorontalo pasti ia akan memilih pesawat itu. Hatinya sangat gelisah. Fikiran-fikiran buruk selalu menyapa, dengan susah payah ia tepiskan dengan istighfar.
“Aku benar-benar tidak ingin terjadi sesuatu dengan ibu. Aku lupa, kalaupun Allah memberiku umur yang panjang, tapi belum tentu Allah memberikan hal yang sama pada ibu. Ya Allah, aku mohon padamu sembuhkanlah ibu, berikan aku kesempatan membahagiakannya. Terlalu banyak kesalahan yang telah aku perbuat untuknya. Sedang dia, sedikitpun tak mempermasalahkan itu, ibu tetap menyayangiku.” ―batin Nata berdoa dengan khusuk
                                                                        ***
Kurang lebih 2 jam perjalanan yang di tempuh oleh  Nata. Kini ia telah berada di kota Jagung, bumi Serambi Madinah yang memiliki sederet ciri khas adat istiadat. Nata langsung menuju RS, tempat ibu dirawat. Tak lama kemudian, ibu Kalsum kembali menelfon Nata.
“Nata, kamu nggak usah ke RS, kita udah di rumah. Ibumu sudah melewati masa kritisnya, setelah ia sadar ia langsung memohon-mohon pada ibu untuk dibawa pulang ke rumah saja. Dengan terpaksa, ibu membawanya pulang.”
“Terus keadaan ibu sekarang gimana?”
“Agak baikan. Tapi, tetap rawat jalan. Ibumu tetap memakai infus meski di rumah. Jadi kamu langsung ke rumah bu Sum aja yaa”
Ibu Mira tidak ingin Nata sedih melihat keadaannya yang terbaring lemah di RS. Dipasangi alat-alat medis pun ia tidak suka. Dia melihat dirinya seperti orang yang lagi sekarat yang ujung-ujungnya akan membuat Nata menangis melihat kondisinya. Beberapa menit kemudian, akhirnya Nata telah sampai di rumah Bu Kalsum. Anak laki-laki ibu Kalsum yang seusia Nata menyambut kedatangan Nata, dan langsung membawakan kopernya masuk ke dalam rumah. Nata langsung bergegas menuju kamar tempat ibu berbaring.
Empat tahun tak bertemu, banyak sekali perubahan. Nata terlihat semakin dewasa, ibu terlihat semakin tua. Kerutan di wajahnya menyiratkan beratnya beban yang ia rasakan selama ini, urat tangan menggambarkan kerasnya kehidupan yang dijalaninya, tubuh kurusnya memberitahukan bahwa ia hidup dengan serba kecukupan, wajah tuanya memberi pesan bahwa perjalanan hidupnya hampir mendekati antrian terdepan seperti yang sering ia ceritakan pada Nata waktu kecil, serta sorotan  matanya menyampaikan kerinduan yang mendalam untuk Nata. Nata tak sanggup menahan tangisnya, melihat perubahan yang tergambar pada sosok ibu yang di sayanginya. Nata segera memeluk ibu.
Entah, apa yang terjadi, jika seandainya ia kembali dalam keadaan bobrok, rusak, dan tak mendapat apa-apa. Percuma saja, sekalipun Nata menjadi orang kaya dan membelikan barang-barang mewah untuk ibunya, tapi kehormatannya telah direbut oleh orang yang tidak akan jadi takdir, pasti semuanya tak ada arti apa-apa. Ibu memang benar, kebahagiaannya cukup melihat Nata menjadi anak yang baik dan soleha.
Senyum mengembang indah di bibir ibu, melihat aku yang tumbuh menjadi yang dia inginkan, balutan kerudung menjuntai indah, serta pakaian muslimah syar’i ini yang telah membantu meringankan beban sakit ibu. Ibu semakin semangat ketika melihatku. Aura sehat itu kembali melingkupi memberi kekuatan baru untuk kesembuhannya. Terimakasih ya Allah. .  .
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.Q.S Al-Isra :23-24

―Selesai―

Cerpen-ku (Semoga menginspirasi)

Ketika  Lauhmahfudz Yang Bicara
Rezki Desmita

Hasil gambar untuk cowok kampus kartun islami

Senja mulai nampak kuning keemasan memancar nan menyilaukan, pertanda sore kembali menyapa. Tak terasa Magrib segera tiba menyambut malam. Usai berwudhu, aku dikagetkan oleh nada dering ponselku. Sebuah pesan baru dari sahabatku, yang sedikit membuatku girang dalam hati.
Malam nanti, aku telfon kamu ya. Ada hal serius yang ingin aku bicarakan.
Usai sholat Magrib ku balas smsnya. Aku penasaran, namun mencoba memberikan terkaan-terkaan yang tidak menyenangkan. Dua hari yang lalu dia menelfonku, memberitahu informasi penerimaan tenaga pengajar di yayasan binaan pamannya. Aku mencoba menebak, apakah menerimaannya sudah tutup atau bagaimana. Aku langsung mengirimkan pesan singkat itu padanya.
Bukan. Ini hal yang lain. Tapi aku harap kamu bisa menjaganya, karena aku percaya kamu.
Hampir pukul 22.00, namun belum juga terdengar bunyi panggilan dari ponselku. Aku menyerah menunggu, pandanganku mulai sayu, aku memberitahukan agar lain kali saja menghubungiku karena malam mulai larut.
***
Mentari pagi bergelayut mengusir embun, selayaknya aku yang bangkit mengusir kehampaan. Aku menata rapi hijabku, bersiap berangkat menebar manfaat untuk anak didikku. Anak-anak yang masih begitu labil dan polos, selalu membuatku tersenyum, walau terkadang membuat hati dongkol dan kesal. Inilah spirit harianku, mengajari ilmu yang bermanfaat untuk orang lain, terlebih untuk mereka sang generasi muda pembawa estafet peradaban bangsa. Aku mencintai siswa-siswaku, karena aku tahu kewajibanku sebagai seorang guru, tak hanya sekedar mengajar namun juga mendidik, selayaknya kerja aku tak hanya mencari bayaran namun ingin penuhi kewajiban. Ingat Al-Ashr, saling berpesan dalam kebaikan dan saling berpesan dalam kesabaran. Hanya lewat belajar mengajar aku bisa melakukan itu, karena memang aku seorang guru. Lewat guru pula seluruh penjuru dunia dapat mengisi dan memajukan setiap lini kehidupan. Guru pekerjaan mulia yang semula tak ku minati, kini sangat ku cintai. Mahasuci Allah yang dapat membolak-balikkan hati setiap hamba-Nya.
Sejak lulus dari Universitas Peradaban, aku memutuskan pulang kampung untuk mengabdi guna membantu guru-guruku dalam mengajar adik-adik disini. Sejak saat itu pula aku tak lagi bertemu dengan sahabatku, Sali. Sahabat yang sedikit banyak sudah membantuku bertransformasi, untuk menemukan jati diriku yang sesungguhnya.
Selama menimbah ilmu di bangku perguruan tinggi, disinilah aku menemukan makna cinta. Cinta pada lingkungan, cinta pada sesama, serta cinta pada diri sendiri. Sali salah satu orang yang paling berarti dalam perjalanan studiku. Aku mengenalnya dalam kegiatan memperingati 17 Agustus, saat itu para mahasiswa Fakultas Ilmu Pemerintahan melaksanakan pembentangan bendera sepanjang 60 meter melewati pusat kota pahlawan Nani Wartabone. Aku sederet dengannya. Orangnya sangat antusias, heboh, dan penuh semangat, juga humoris. Saat itu aku belum mengenal namanya.
Ketika di kampus aku kembali bertemu dengannya, dia tidak menyapaku mungkin sudah lupa. Aku masuk kelas dengan sikap masa bodoh saat melewatinya. Aku memilih tempat duduk pojok kanan paling depan, ternyata dia juga memasuki kelas yang sama dan memilih tempat duduk pojok kiri paling belakang. Tanpa menoleh pun aku bisa melihatnya dengan ekor mataku. Ketika dosen mengabsen, disitulah kesempatanku mengenali namanya. Tak hanya itu, saat pembagian kelompok, aku dan dia masuk dalam kelompok yang sama.
Hari ke hari aku semakin mengenalnya, kita semakin dekat hingga menjadi sahabat. Dari semua teman-teman hanya aku memanggilnya dengan nama Sali. Ketika orang lain mendengarnya, mungkin mereka berfikir bahwa dia adalah sosok wanita cantik. Dugaan mereka salah, Sali adalah sahabatku paling rupawan, cerdas, dan soleh. Nama lengkapnya Salqi Islami, teman-teman memanggilnya Alqi,tapi aku lebih suka memanggilnya Sali, namun ketika ada di tempat umum aku panggil ‘Sal biar masih terkesan laki-laki.
Hampir setiap pekan kami jalan bersama, untuk mengerjakan tugas. Di kampus pun selalu bersama tapi hanya saat ke perpustakaan, karena aku jarang ke kantin sehingga kalau urusan kantin Sali jalan sendiri atau pergi bersama teman-teman kelas. Meski kami terlihat dekat, tapi ada batasan-batasan yang menjaga antara aku dan Sali. Sebagai seorang anggota Forum Tatsqif Kampus (FTK), dia benar-benar  paham soal pergaulan dengan lawan jenis. Hingga suatu ketika, dia mengikuti pelantikan resmi FTK, dan membawanya pada perubahan yang semakin merenggangkan kedekatan kami.
Tak lagi seperti dulu. aku selalu ingat kata-katanya saat hari pertama ia mulai berubah “Membatasi diri karena syariaat, menjaga diri karena taat, menjauh karena takut maksiat”. Aku mencoba memahami komitmennya untuk istiqomah dalam memperbaiki diri. Aku menghargai dia, dan memanggilnya dengan nama yang sebenarnya, Salqi. Dia selalu mengambil kesempatan agar bisa bicara denganku ketika kami tergabung dalam kelompok diskusi. Topik pembicaraan pasti tentang hakekat wanita Islami. Aku sampai jenuh, mungkin karena aku tidak ingin ikut-ikutan dengannya dalam Forum itu.
***
Demi menyenangkan hati Salqi, aku pergi menghadiri kegiatan terbuka yang dilaksanakan oleh anak-anak FTK, sebuah Training Motivasi Kepemudaan. Aku datang bersama sahabatku, Rara. Salqi sudah menunggu kedatangan kami di depan pintu masuk, tanpa meminta tiket masuk yang kami bawa dia langsung mempersilahkan kami duduk. Sontak saja semua panitia yang di pintu masuk saat itu kaget dan heran, sepintas ku lihat ekspresi mereka, penuh tanya dan saling bertatapan tak percaya. Entah apa di benak mereka. Sepanjang Training berlangsung, Salqi selalu tertangkap sedang menatapku, berkali-kali terjadi kontak mata. Hal ini membuatku tidak nyaman dan menjadi canggung. Usai acara aku langsung pulang tanpa pamit pada Salqi.
Banyak pengetahuan baru yang aku dapatkan dari Training ini. Termasuk mencari jodoh secara islami. Meski belum niat, namun hal ini bisa jadi bekal masa depanku. Salqi selalu mengirimiku taujih melalui sms, menyapaku dengan kalimat-kalimat hikmah tiap kali bertemu di kampus.
“Assalamu’alaikum ya Saleha. Pantas hari ini terasa sejuk dan cerah, ternyata matahari terlalu malu bersinar karena kibaran hijabmu yang semakin indah.” Pujinya suatu pagi.
Memang sudah beberapa hari belakangan aku mulai mengubah penampilanku. Tak hanya berjilbab tapi juga berhijab. Waktu semakin membawa langkahku mendekati Forum itu, bukan semata karena ada Salqi disana, namun pancaran cahaya iman nampaknya mulai bersinar. Aku tak menyia-nyiakannya, ku temui seorang senior cewek di dalam Masjid Kampus. Namanya ka Alya, bagiku sosok ka Alya pantas menyandang predikat wanita surga. Bicaranya yang syahdu penuh kalimat hikmah, candanya tersirat pesan pencerah hati, dan tak hanya cantik, tentu juga soleha dan cerdas. Dialah yang menjadi mentorku selama masa perkuliahan. Memberi pencerahan rohani, membuka mata hati, hingga ku temui hidayah sejati. Aku semakin memantapkan diri.
Hari ini aku akan menghadiri sebuah kajian di Kampus tetangga. Maklum, FTK bukan hanya ada di kampusku, tapi sudah banyak cabang yang terdapat di kampus-kampus lain, bahkan tingkat sekolah SMA sederajat. Setibanya disana, aku bertemu dengan teman-teman baru. Disini aku berkenalan dengan Intan. Sosok wanita muslimah dambaan qalbu.
Anti dari FTK mana?”
Ana  FTK UP, Universitas Peradaban.”
Subhanallah. Berarti anti kenal sama Salqi?”
Meski masih bingung atas pertanyaannya, aku tersenyum mencoba menjawab. Mengapa dari sekian banyaknya anggota FTK UP hanya Salqi yang ia tanyakan? Disaat yang sama, wajah-wajah berbalut hijab indah itu menoleh ke arah aku dan Intan. Tersirat dimata mereka rasa penasaran dan ingin bertanya banyak hal, tentu saja tentang Salqi.
Ana sekelas dengan Salqi. Kami teman baik kok.”
“Boleh minta nomor hp-nya ukhti?
Baru aku tahu, ternyata Salqi adalah sosok ikhwan yang cukup terkenal dikalangan akhwat FTK seluruh kampus. Mungkin karena dia banyak terlibat dalam agenda-agenda besar FTK. Tak dapat dipungkiri, penampilan Salqi memang tak akan luput dari perhatian para wanita.
***
Saat sama-sama disibukkan dengan berbagai agenda, aku dan Salqi lebih banyak berkomunikasi lewat sms. Dia selalu mengabariku tentang hal-hal baru yang ditemuinya, tentang buku yang baru dibacanya, dan juga tentang tugas yang bingung dipahaminya. Dua hari setelah kegiatan kajian. Intan menghubungiku. Banyak hal yang ia ceritakan padaku, meski ujung-ujungnya berakhir pada nama Salqi. Aku sangat peka dengan hal-hal demikian. Ternyata benar, Intan pengangum rahasia Salqi.
“Jangan beritahu Salqi ya ukhti. Biar ana, anti, dan Allah yang tahu. Ana cerita ke anti karena ana percaya.”
Hening.
Ana pun bingung atas perasaan ini. Entah hanya sekedar kagum, atau ana benar-benar suka padanya. Ana tidak sanggup lagi menahan deburan hati, terlebih ketika bertemu dengannya.”
“Allah sedang menguji hatimu ukhti. Jadi, berhati-hatilah jangan sampai anti terkalahkan oleh nafsu atas dasar rasa suka, padahal semuanya semu.”
Walau berat, akhirnya aku dapat menciptakan uraian nasehat dalam lisanku. Entah siapa mengingatkan siapa. Aku pun mulai terbawa. Ada rasa perih membercak di hatiku ketika mendengar curahan hati Intan. Sedalam apa aku menyimpan lara di hati, pada akhirnya pun tetap terasa sakit. Ya, aku baru menyadarinya. Sudah cukup lama ku pendam, dengan keras hatiku memungkiri kenyataan bahwa aku telah jatuh hati pada sosok sahabat superku, Salqi. Intan telah menyadarkan aku, karena ketika tahu ada orang lain yang menyukainya, hatiku menolak dan tak terima.
Demi menghalau rasa gelisah yang menjajah perasaanku akhir-akhir ini, aku menyibukkan diri di perpus. Entah sejak kapan Salqi mengikutiku, saat aku membaca buku dia muncul dengan canda khasnya yang selalu ku rindukan.
“Hei, saleha. Baca buku apa? Tega sekali pergi sendiri tanpa mengajakku.”
Antum kan super sibuk, mana ada waktu pergi ke perpus.”
“Wess, ciee udah belajar panggil antum. Biasanya juga panggilnya kamu. Kemana perginya Rahmi yang dulu ya?”
Aku menutup buku bacaanku, sekilas ku tatap matanya, aku tak mampu membaca sorot mata itu, masihkah tersimpan kerinduan disana? Segera ku alihkan sebelum ia menyadarinya.
“Kamu yang kemana saja? Tugas Review bukumu sudah?”
Mengapa kehadirannya saat ini mampu mengusir kegelisahan hatiku. Apakah keresahan yang aku alami satu bentuk rasa takutku kehilangan Salqi?
“kamu ini, tugas melulu yang diurusin. Sekali-sekali urus sahabatmu ini dong.”
“Aku kan bukan ibumu.”
“Emang. Tapi kamu kan sahabat aku. Tadi aku ngomong apa? Aku cuma bilang urus dulu sahabatmu ini, bukan urus dulu anakmu ini.”
Sekali lagi dia berhasil membuatku tertawa, dan melupakan hal-hal rumit yang bersarang di benakku.
“Ehm, maaf ya kalau akhir-akhir ini aku sudah jarang menghubungi kamu lagi. Aku diam-diam mengikuti kamu kesini karena ada yang ingin aku katakan.”
Jantungku berdegub, ada apa ini? Apa yang ingin dia katakan, sampai wajahnya begitu serius menatapku.
“Apa? Serius amat ngomongnya.”
Tak ada lagi keberanian untuk menatapnya, buku di tanganku menjadi pelarian sorot pandangku, walau sebenarnya aku bingung sudah sampai paragrap mana yang ku baca.
“Tapi, kamu janji ya jangan marah. Hmm, sebenarnya aku malu, apalagi sampai mengakuinya langsung di depanmu.”
Sebisa mungkin ku tampakkan ekspresi bingung tanpa gugub, meski sebenarnya detak jantungku hampir-hampir mematahkan tulang rusukku.
“Sebenarnya aku dari dulu ingin ngomong ini. ”
Aku masih bungkam, menghayati huruf-huruf yang seolah menari-nari di atas kertas putih.
“Mi, sebenarnya. . . Aku suka . . . “
Sepertinya Salqi sengaja menggantung pembicaraannya. Aku sedikit terperanjat, namun tetap terkendali berkat buku yang ku jadikan dalih menutupi kegugupanku. Tumben dia panggil nama belakangku, tidak selengkap biasanya.
“Hmm, aku suka banget makan mie ayam di kantin ma’cik. Kata teman-teman, mie ayam akan terasa lezat ketika ada yang traktir. Aku mau itu kamu.”
Rasanya ada bongkahan besar lepas dari hatiku, sehingga debaran jantungku menurun dan terasa ringan. Aku fikir Salqi mau bilang apa. Hampir jungkir balik setengah mati menahan degab-degub jantungku. Inilah kebiasaan yang ia lakukan, awalnya membosankan lama-lama jadi hal yang aku rindukan.
Meski matamu terbuka, kau tak akan bisa melihatku, telingamu tak akan mampu mendengar bisik rasaku, hatimu tak mampu membaca alur laraku, apalagi fikirmu memang tak pernah tertuju padaku.
***
Akhir pekan jalan yuk.
aku yang traktir deh. .
tenang aja, nggak berdua kok.
perginya se-kelas, tapi Cuma transport kamu aja yang aku tanggung
yang lain masing-masing dong. XD
Setelah menyelesaikan ujian semester, kami sekelas sepakat pergi berwisata. Wisata air terjun menjadi sasaran weekand kami secara dadakan. Medan menuju lokasi air terjun sangat menantang, melihat perjalanan jelajah kami yang penuh rintangan mengingatkanku pada kisah film 5 CM. Bersama sahabat taklukan rintangan untuk temukan cinta. Salqi adalah orang paling repot selama perjalanan, rela melepas sandal gunungnya demi aku, karena aku yang notabenenya tidak tahu arah dan tujuan wisata sehingga aku menggunakan sepatu teplek, padahal sepanjang perjalanan menuju air terjun adalah pegunungan, berbatu, penuh semak, bahkan tak jarang berduri. Jalanan penuh tanjakkan membuat nafasku tersengal hampir asma, namun aku tidak manja. Setinggi apapun tanjakkannya, tak ku biarkan teman-teman cowok meraih tanganku untuk membantu, ada banyak cara ku dapat ketika melewati jalan licin dan berbatu. Saat itu aku mengenakkan ransel, walau isinya cukup ringan, namun jalanan yang tidak bersahabat membuat bahuku terasa sakit seakan membawa beban berat. Lagi-lagi Salqi, ia membawakan tas dan sepatuku, dan menuntun jalanku dari depan.
“Awas hati-hati, kayunya jangan diinjak, sudah lapuk nanti kamu jatuh”
Aku hanya diam, mengikuti arahannya.
“Tanahnya licin dan agak menurun, kamu jongkok aja, trus turun pelan-pelan”
Masih diam, dengan gemuru dada karena lelah. Satu hal yang aku fikirkan saat ini, kapan sampai. Sudah hampir satu jam, kami masih bergelayutan di dahan-dahan pohon kecil, berusaha keras agar tidak licin dan jatuh, aku sangat lelah.
“Kok dari tadi cuma jalan terus, kapan nyampenya? Kita nggak nyasar masuk hutan belantara kan?”
“Tenang saja, aku sudah pernah kesini kok, waktu tafakur alam bersama teman-teman FTK.”
Lebih baik aku fokus pada perjalanan saja, dari pada bicara dan bertanya banyak hal yang hanya menguras tenaga. Lebih baik diam, ikuti intruksi Salqi yang hari ini kelewat perhatian. Ternyata tak hanya aku yang bingung dan bertanya-tanya lokasi tujan kami hari ini, aku dan empat orang teman cewek lainnya tidak tahu apa-apa soal rencana ini. Kami hanya mendapat sms dari teman-teman cowok, dan aku dapat sms dari Salqi. Rencana ini sebenarnya sudah lama disusun oleh Salqi dan teman-teman cowok lainnya. Kami yang cewek, terima beres ikuti perintah.
“Rahmi, rok kamu robek tuh.” Tegur Ivan dari belakangku.
Sontak aku menoleh memastikan yang ia katakan. Benar saja, hampir sejengkal robeknya, beruntung aku pakai celana panjang, sehingga kulit betisku tak terlihat.
“Kenapa sih kamu pakai rok, kita kan mau wisata Ami, bukan mau kuliah. Kaus kakinya nggak dilepas lagi.” Ujar Andra sewot melihat penampilanku.
Aku tetap mempertahankan hijabku meski dalam keadaan apapun. Toh pada akhirnya aku satu-satunya cewek yang tidak perlu di pegang tangannya saat naik gunung, yang tidak banyak ocehan ketika melewati banyak rintangan, dan tidak lecet atau jatuh selama perjalanan. Keadaannya terbalik dengan teman-temanku yang lain, Lian terpeleset saat melewati batu licin, padahal tangannya sudah di tuntun oleh Erik, Cika terinjak benda tajam padahal selalu mengekor di belakang Rangga dan memegang bahu Rangga ketika ada tanjakkan, dan masih banyak lagi tindakkan yang seharusnya tidak membuat mereka terluka.
Ketika asyik main dan foto-foto di dekat air terjun, Salqi mengajak teman-teman sejenak untuk istrahat dan berwudhu. Kami melaksanakan sholat Dzuhur di atas batu besar, dibawah rindang pohon, yang di imami oleh Salqi. Usai berjelajah menyusuri lokasi air terjun dan puas bermain air disana, kami kembali ke taman wisata permandian. Ada banyak permainan disini, termasuk sepeda air itik. Aku penasaran dengan permainan satu ini. Hanya aku dan Revan yang tidak ikut-ikutan mandi di kolam air hangat, yang lainnya asik berenang bahkan sempat mengerjai Idan teman kami yang pendek dan tidak tahu berenang. Aku bete hanya jadi penonton, aku ngajakkin Revan main sepeda air.
“Guys, aku dan Rahmi mau main sepeda air dulu ya.” Teriak Revan pada yang lainnya.
“Aku ikut. Malas aku sama mereka, sudah tau aku nggak bisa berenang malah mereka dorong ke kolam.” Ujar Idan, dan langsung mengikuti kami.
Teman-teman yang lain hanya tertawa melihat wajah kesal Idan, termasuk Salqi. Agak kesal juga melihat teman-teman memperlakukan Idan seperti itu, apalagi Salqi malah dia yang jadi trouble maker-nya. Setibanya di pinggir danau tempat mainan sepeda air, aku dan Revan mulai memilih sepeda air, tapi kami bertiga, sedang sepeda airnya hanya untuk dua orang.
“Bertiga nggak muat. Revan naik bareng Idan aja, kamu sama aku.” Selah Salqi dari arah belakang kami, entah sejak kapan dia mengekor di belakang.
 Dengan enteng dia menarik salah satu sepeda itik berwarna kuning.
“Kamu naik duluan, nanti aku yang mutar.”
Meski agak ragu, tapi aku ikut saja. Saat sedang asik berputar di tengah danau melihat ikan mas yang berenang mengikuti pakan yang aku taburkan, tiba-tiba sepedanya berhenti tepat di tengah danau.
“Loh, kenapa berhenti?”
“Kamu nggak lihat, aku sudah ngos-ngosan gini. Gantian dong.”
“Idih, siapa juga yang ajak kamu main sepeda air, kamu sendiri kan yang nawarin. Aku juga tadi janjiannya sama Revan.”
“Ya sudah kamu naik di sepeda Revan aja, tapi berenang sendiri sana.”
Aku tidak bisa berkata-kata lagi, sepertinya kalimatku nyangkut di tenggorokkan, bahkan bernafas pun terasa berat karena menahan kesal. Segera aku memalingkan wajahku ke tempat lain. Tega sekali dia menyuruhku berenang di danau yang penuh lumpur ini. Kalau saja aku sekuat Popaye, jangankan mutar sepeda itiknya, bahkan aku akan mengangkat sepedanya dengan sebelah tangan sambil berjalan diatas air, tentu saja dengan keadaan Salqi yang naik. Setelah itu akan ku lempar jauh-jauh biar dia jatuh tersungkur tertancap di lumpur.
“Lamunin apa kamu? Jangan bilang kamu berkhayal jadi Popaye dan aku jadi Oliv. Terus kamu angkat sepeda itiknya, kamu lempar sekaligus dengan aku. Lalu aku penuh lumpur dan jadi tontonan orang banyak di taman ini.”
Aku terbahak dalam hati mendengar tebakannya yang 100% benar. Entah dari mana dia bisa membaca fikiranku. Mungkin karena dulu aku sering bilang padanya bahwa aku selalu berandai-andai sekuat Popaye. Ucapannya tak hanya membuyarkan lamunanku, tapi juga mampu menciptakan tawa yang kembali mencairkan suasana. Inilah cara sederhana Salqi membuatku marah dalam seketika menciptakan tawa. Hal-hal yang selalu membuatku lupa seberapa banyak dia sudah membuatku kesal. Tak dapat ku pungkiri kedekatan kami malah membuat perasaanku semakin tumbuh, walau bagaimana pun sebagai wanita normal ketika mendapat perhatian dari lawan jenis, terlebih sudah saling kenal seperti ini, rasa nyaman itu tetap ada.
***
Masa-masa kuliah berakhir dengan sejuta kenangan. Kini aku memutuskan pulang kampung dan menjadi abdi negara sebagai guru pengajar di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan. Terkecuali Salqi, Idan, juga Andra yang masih menunggu proses penyelesaian skiripsi yang semakin hari semakin membuat mereka merasa gila. Salqi menunda proses wisuda karena memang masih memprioritaskan kegiatan FTK.
Komunikasi kami berjalan melalui perantara satelit. Banyak hal yang ia beritahu aku, termasuk perkembangan FTK UP, kegiatan-kegiatan seru FTK, bahkan kader-kader baru FTK yang sangat loyal terhadap organisasi dalam kampus itu. aku sangat senang mendengarnya, maski zaman semakin modern namun tidak menyurutkan langkah para pemuda untuk belajar dan mengajak orang-orang agar tidak melupakan ajaran agama, memenuhi hak diri sebagai hamba, melaksanakan kewajiban terhadap orang lain, bahkan selalu peduli terhadap nasib umat muslim yang berada di belahan bumi lain, dimana keseharian mereka selalu dihiasi suara bom, dihantui terror mematikan, hanya karena sebagai kaum minoritas di negeri tersebut. Para “pembom” itu seperti kacang lupa kulitnya, tidakkah mereka membaca sejarah tentang nenek  moyang mereka yang tidak didiskriminasi, dimana zaman Rasulullah Saw betapa kaum non muslim yang berada di tanah muslim diberikan haknya, dilindungi keberadaannya, sekalipun hanya sebagai kaum minoritas di negeri tersebut. Ah, aku jadi kesal sendiri bila mengingat betapa bengisnya para zionis itu.
Aku beranjak dari tempat tidur mengambil ponselku yang tengah berdering di atas meja riasku. Salqi memanggil―seiring getaran ponsel ditanganku, demikian pula getaran hatiku melihat nama itu. Sepertinya malam ini dia akan menceritakan hal serius yang ia maksud. Setelah ku jawab salamnya di seberang sana, terdengar begitu jelas bahwa ia menarik nafas panjang sebelum bercerita. Dengan ceria aku memberanikan diri untuk bertanya lebih dulu. Meski terdengar ia tidak begitu yakin untuk menceritakan hal itu padaku. Sebagai sahabat kurang lebih empat tahun dan sudah saling percaya, cerita serius itu mengalir adanya tanpa sedikitpun ia sembunyikan.
“Mi, sebentar lagi aku akan menikah.”
Aku menyambut berita itu dengan sangat ceria bersemangat.
“Wah, kapan? Sama siapa?”
“Akhir tahun ini. Orangnya belum dikenalin sama aku, nanti pada saat proses ta’arufan bersama keluarga.”
“Syukurlah kalau begitu, berarti impian kamu selama ini akan segera terwujud.”
Sepanjang aku mengenalnya, baru kali ini berita yang ia kabarkan sungguh menyakitiku.Tertawa lepas, berucap syukur, saat tau dia akan termiliki. itu bagian dari akting hati yang sampai kapan pun tak dapat ia mengerti.
“Kamu harus datang ya, awas kalau nggak datang.”
“Nggak janji ya. Sekarang aku nggak bisa pergi jauh-jauh, ada amanah baru yang harus aku jalankan.”
“Kan Cuma ngajar, nanti izin sama kepsek ajalah. . ya. . ya.”
Aku hanya tertawa kecil menyamarkan suasana yang mulai beku.
***
Sejak Salqi memberitahukan pernikahannya, aku belajar keras melupakan rasa yang selalu menjajah hatiku, dan menghapus segala harapan yang pernah aku ukir saat bersamanya. Jarak yang memisahkan inilah satu pendukung yang kuat untuk itu semua. Tak ada lagi pertemuan, tak ada lagi kesal-kesalan, aku tidak akan melihat wajah teduhnya lagi seperti dulu, dan tak akan terlihat lagi senyum jailnya ketika mengerjaiku.
Tak jarang teleponnya aku abaikan, smsnya hanya sebatas ku baca tanpa ku balas, dengan dalih tidak punya pulsa. Namun, aku tidak ingin dia curiga dengan tingkahku yang tidak seperti biasanya. Tapi, bukankah dari sekarang dia juga harus belajar tanpa aku, sahabat yang selama ini menjadi tempat ia bertanya, mengeluh, meminta, berbagi cerita, bahkan bermain.
“Kenapa sih nggak pernah lagi balas smsku? Kalau nggak punya pulsa, kenapa aku nelfon kamu nggak angkat?”
“Saat kamu nelfon pada waktu yang tidak tepat, pagi sampai siang aku di sekolah. Siang menjelang sore aku istrahat, kadang ngasih les privat sama anak-anak. Malam aku udah capek, lepas Isya aku udah tidur.”
“Tapi, pernah kok aku nelfon kamu bakdah Magrib.”
“Aku lagi tilawah. Kenapa sih kamu nelfon terus? Ada hal apa lagi?”
“Karena kamu nggak pernah angkat makanya aku nelfon terus. Aku cuma mau nelfon sahabatku, emang nggak bisa?”
“Kita sekarang sudah berbeda Salqi. Kamu itu calon suami orang, tepatnya calon suami saudaraku. Seharusnya waktumu kamu habiskan untuk mempersiapkan diri menjadi calon imam yang baik, belajar menjadi pemimpin yang bijaksana.”
“Kok ngomongnya jadi ke arah sana? Jujur deh, ada apa dengan kamu? Kamu cemburu ya?” Todongnya, disusul suara tawa khas yang sering terdengar ketika dia sedang menjailiku.
“Maksudmu? Kenapa aku harus cemburu, sebagai sahabat aku hanya mengingatkanmu. Ingatlah, calon pasangan hidup kita itu cerminan dari diri kita. Saat ini kamu belum mengenal calon istrimu, tidak ada yang bisa menjamin kalau sekarang dia sedang memantaskan diri untuk calon suaminya atau sedang telfon-telfonan dengan sahabat laki-lakinya. Sama halnya seperti kamu saat ini.”
“Kalau begitu pendapatmu, tidak ada yang bisa menjamin ‘kan kalau seandainya wanita itu kamu?”
“Berhenti deh membuat lelucon. Bukan saatnya lagi bercanda Salqi. Hargai aku sebagai seorang wanita muslimah, kita saling membatasi diri. Aku rasa kamu lebih paham masalah ini.”
Berhentilah berandai-andai, aku tidak ingin harapan yang setengah mati aku hapuskan, malah kembali kau ukir, dan akhirnya tercipta sebuah coretan-coretan pengharapan yang tak berarti.―batinku mulai berkecamuk.
“Maafkan aku, bila kehadiranku selama ini malah mengganggumu. Aku juga minta maaf, karena hanya bisa berbagi ceritaku sendiri, tanpa pernah bertanya adakah cerita yang ingin kau bagikan. Sebagai sahabat, aku memang egois.”
Suasana hening. Aku hanya bisa bungkam saat mendengar kata maaf yang seharusnya tidak dia ucapkan. Aku sudah cukup bahagia karena ada sosok sahabat sebaik Salqi ada bersamaku, meski aku hanya sebagai pendengar setia atas cerita-ceritanya tanpa bisa berbagi ceritaku sendiri, namun sedikit banyak dia sudah menjadi faktor penting dalam merubah paradigmaku. Aku seperti ini, karena belajar darinya. Selalu berbagi dengan apa yang dia punya, peduli kepada sesama, tetap sederhana dan tawadhu meski segala kemewahan menghiasi hidupnya, selalu ceria, dan menginspirasi.
“Aku tidak pernah merasa kamu egois kok. Aku hanya berusaha menempatkan diriku sebagai wanita yang memiliki fitrah tak ingin berbagi, terlebih masalah hati.”
Kau memang tak tau apa-apa, hingga tak pantas untuk disalahkan. Hanya saja, aku terlalu bodoh menanamkan harapan hampa,  untuk menyatukan malam dan siang dalam satu genggaman waktu. Cinta untukmu memang tak pernah salah, tapi hatiku yang selalu tertuju padamu yang tak dapat ku maafkan.
“Maaf karena aku terlambat untuk menyadarinya. Maaf juga bila aku tak bisa jadi yang kau harapkan. Allah punya cara terindah dalam mengatur semuanya, walau kadang raga merontah penuh tangis, namun hati seiya-sekata menerima garis-Nya. Aku hanya ingin bilang itu sama kamu.”
Aku tertegun mendengar ucapannya. Apa maksud Salqi? Apakah dia tahu bahwa selama ini diam-diam aku menyukainya, bahkan berharap untuk memilikinya. Siapa yang memberitahunya, sedangkan aku pun tidak pernah menceritakan masalah perasaanku pada siapapun, selain mencurahkan semuanya tatkala aku sedang duduk di atas sejadah, menengadah mengharapkan rahmat dalam dekapan ridha-Nya.
***
Tibalah di penghujung waktu. Desember yang sangat di rindukan oleh Salqi. Hari ini adalah hari penobatannya sebagai raja sehari, waktu dimana ia berikrar dengan iman untuk menjadi seorang imam rumah tangga bagi seorang wanita yang jauh sebelumnya telah tercatat dalam Lauhmahfudz-Nya, untuk setia bersama mengarungi cinta berfondasikan iman, meraih surga yang hakikih atas ridha-Nya. Insya Allah abadi hingga Jannah-Nya. Aamiin
Tepat hari ini pula aku harus berangkat ke negeri Gingseng untuk melajutkan studi disana. Allah memang selalu mempersiapkan kejutan-kejutan bagi orang-orang yang bersabar, dan menjadi satu muhasabah diri, agar menjadi insan yang tak henti-hentinya bersyukur. Baik saat senang maupun dalam keadaan sedih. Aku tidak pernah menyangkah bahwa tulisanku dalam sebuah artikel blog pribadiku mampuh menerbangkan sayapku yang mulai lesuh termakan penantian, kembali kuat mengepakkan sayapnya ke negeri singa Asia Timur. Ada seorang jurnalis Indonesia yang tinggal disana, berhasil menerjemahkan tulisanku ke dalam bahasa Korea, kemudian dia menerbitkannya sebagai muatan rubrik inspirasi pada sebuah majalah remaja disan,a tentunya dengan mencantumkan namaku sebagai penulisnya. Banyak pembaca yang antusias, terutama para remaja yang seringkali mencintai dalam diam, menumbuhkan harapan dalam kehampaan, hingga kedutaan Indonesia memberiku kesempatan untuk melanjutkan studi dalam bidang Writing selama dua tahun disana. Selain itu aku menjadi salah satu penulis  contributor dalam majalah pekanan tersebut. Mereka percaya, inspirasi masalah hati yang lahir dari karya penaku mampu menurunkan angka bunuh diri pada remaja karena patah hati, serta mengurangi jumlah remaja pengkonsumsi alcohol karena masalah cinta.
Aku bersiap untuk penerbanganku. Tiba-tiba ada yang memanggilku dari luar ruang tunggu. Ada apa dia kesini? Masih ada waktu 15 menit sebelum berangkat. Aku keluar untuk menemuinya. Intan berdiri masih dengan dandanannya yang baru saja menghadiri penikahan, tentu saja pernikahan Salqi. Aku berdiri di hadapannya dan belum sempat bertanya, dia langsung mendekapku erat dan menangis. Entah apa maksudnya, jantungku berdebar, adakah sesuatu yang telah terjadi pada Salqi dihari pernikannya?
“Maafkan ana ukhti. Ana sangat keterlaluan. Ana sudah menceritakan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah anti ceritakan. Ana sudah memfitnah anti di hadapan Salqi. Ana sudah mencoreng nama baik anti sebagai seorang akhwat yang istiqomah.”
Meski masih bingung maksud omongan Intan, aku berusaha menenagkannya. Seiring deraian air matanya, mengalirlah cerita yang dimaksud. Ternyata Intan yang menceritakan semuanya pada Salqi, Intan memutarkan cerita seolah aku yang telah curhat padanya bahwa aku menyukai Salqi. Salqi terkejut mendengarnya, namun tetap tenang menyikapinya. Intan melakukannya demi mencari tahu apakah Salqi menyukaiku atau tidak, karena Intan penasaran atas kedekatanku dengan Salqi. Pernikahan Salqi hari ini membuktikan bahwa aku dan Salqi hanya sebatas sahabat. Walau sebenarnya cerita yang di ada-adakan oleh Intan itu sebuah kebenaran hatiku yang pernah berharap, namun aku sedikit terganggu atas kelancangannya menjual namaku demi melihat reaksi Salqi.
Rasa bersalah terus menghantuinya, hingga akhirnya dia berkata jujur pada Salqi sehari sebelum pernikahannya, bahwa dia telah memfitnahku. Salqi menyuruh Intan untuk menemuiku di bandara ini dan meminta maaf langsung padaku. Aku kembali mendekap Intan, aku sangat miris melihatnya. Menanamkan harapan yang telah berlebihan sehingga membawanya melakukan hal bodoh, yang pada akhirnya menjerumuskannya ke dalam dosa fitnah.
“Yang anti katakan pada Salqi tidak salah, namun cara anti yang salah. Demi Allah, aku sudah memaafkanmu ukhti. Biarlah segala hal yang telah terlanjur anti lakukan menjadi bentuk pelajaran berharga untuk dijadikan batu loncatan agar lebih baik lagi dalam menjaga hati, fikiran, serta lisan.”
***
Salqi tahu bahwa aku tidak akan datang ke pernikannya karena jadwal keberangkatanku ini, aku pun sudah mengirimi bingkisan pada mereka sebagai ucapan selamat atas kebahagiaan menempuh kisah baru dalam episode perjuangan. Pasangan surga, Salqi dan Alya. Iya, ketika tahu bahwa ka Alya adalah wanita itu, aku menangis haru karena aku menyadari bahwa Allah mempertemukan Salqi dengan wanita yang tepat. ka Alya sang murobbiah sejatiku hari ini resmi menjadi istri dari Salqi sahabat superku. Meski perbedaan usia, selisih dua tahun tidaklah seberapa. Bukankah Rasulullah Saw bersama Siti Khadijah telah memberikan kejelasan, untuk dijadikan teladan serta rujukan dalam membangun rumah tangga yang di ridhai-Nya.
Banyak hal penuh teka-teki yang akhirnya membuat banyak orang bergumam kagum penuh takjub. Maha besar Allah sang pemilik rahasia. Sudah cukup jelas, bahwa aku dan dia tidak dalam satu catatan di Lauhmahfudz-Nya. Inilah cara Allah menunjukkan sebuah kepastian tadir. Pada akhirnya aku harus tersenyum untuk kebahagiaan orang yang aku sayangi. Biarkan rasaku abadi dalam kisah fiksi yang telah ku cipta demi menjadi inspirasi bagi yang lain, agar selalu berfikir dan berdzikir. Berfikir bahwa jodoh yang baik itu adalah dia yang telah tertulis dalam Lauhmahfudz-Nya, sehingga tak ada lagi pengharapan yang berujung pada kehampaan. Serta berdzikir agar diri senantiasa dekat dengan-Nya, sehingga tidak lagi menyandarkan harapan pada yang lain selain-Nya. Insya Allah berkah dalam ridha-Nya.
♥―BARAQALLAH―♥