Minggu, 23 Oktober 2016

CERPEN KARYAKU SAAT KULIAH (Bila ada kesamaan nama, tempat, dan kisah, itu hanyalah kebetulan semata!)


DUTA PHP SEJAGAD HULONTHALO
Rezki Desmita

Hasil gambar untuk cowok kampus kartun islami
(Sumber gambar: google.com)

Namaku Syahban Setya Gusnar. Banyak yang bilang aku orangnya ganteng. Ya, kalau dilihat-lihat sih, lumayan juga untuk proporsi wajah seorang cowok. Sejak SMA banyak cewek-cewek yang dekatin aku, cari-cari perhatian sambil pura-pura latihan, entahlah latihan apa. Aku ingat suatu ketika di lapangan sekolah, aku lagi main bola sama teman-teman. Tiba-tiba datang seorang cewek, lumayan cantik, katanya sih dia kakak kelas kita yang tomboi abis. Dari sisi mana mereka menilai bahwa cewek ini tomboi? Penampilannya peminim banget, baru kali ini aku lihat cewek tomboi pakai lipstick, dan segala macam pewarna wajah. Aku tidak habis fikir, cewek ini kok nggak ada malunya ya, main bola sama sebelas orang laki-laki, alasannya mau latihan bareng kita, karena sebentar sore dia akan ikut pertandingan bola kaki dangdut di kelurahan. Halaa, pura-pura latihannya basi banget, baru aja sebentar udah jatuh, sok-sok jatuh di dekat aku lagi, biasalah cewek, supaya ditangkap sama aku gitu. Hmm, seandainya aku bisa berpesan sama cewek-cewek, aku akan bilang, “Jadi cewek jangan biasakan bersikap you must be catch me, tapi jadilah cewek yang selalu berprinsip catch me if you can”. Ingat moment itu aku terkadang geli sendiri.
***
Matahari sudah menggantung sadis di puncak langit bumi Hulonthalo, kulitku yang lumayan putih mulai kemerahan diterpa sinarnya, mungkin dia iri melihat orang ganteng sepertiku melintas di bawahnya. Kalau saja bukan karena perutku keroncongan minta diganjal, aku ogah keluar siang-siang gini.
“Setya.” Sapa seorang cewek yang berpapasan denganku di depan kampus,
“Siapa ya?” Tanyaku bingung,
“Sudah lupa ya?”
“Maaf, mungkin kita pernah ketemu tapi aku orangnya emang punya penyakit pelupa.” Kataku nyengir gaje― nggak jelas.
Aku Disa, yang kemarin ketemu saat liburan di pantai Olele.
“Ooo, Disa yang jualan jangung di pantai itu ya? Hmm, bukan ya? Maaf, atau Disa yang kelepasan kentut waktu lagi keliling naik perahu itu ya?” Tebakku asal-asalan, entah karena cuaca lagi panas atau perutku yang lapar, sampai otakku tidak bisa memutar kembali memori-memori yang kemarin.
“Sudah, lupain aja. Mungkin aku salah orang. Maaf ya.” Ucap cewek itu dengan wajah masam, dan sedikit merah menahan amarah.
Dia pergi, aku pun melanjutkan langkahku menuju kantin yang ada di dalam kampus, maklum anak kost, andalannya beli makan di luar, mumpung kampus dekat, lima langkah dari kost, maka aku memilih kantin kampus, harganya sesuai nafas kantong mahasiswa sepertiku.
Akhirnya, dalam hitungan lima menit aku sampai di kantin milik Maci’i, sapaan akrab pemilik kantin langgananku, secara harfiah sebutan Maci’i diperuntukkan untuk seorang bibi atau tante. Aku senang menggunakan istilah-istilah lokal, apalagi penyebutan kata Hulonthalo. Pernah ada yang tanya sama aku, perbedaan Gorontalo dan Hulonthalo apa? Kalau dijelasakan secara lengkap dan rinci itu harus menggali latar belakang historisnya, namun satu hal yang mendasar dari perbedaan dua kata ini adalah saat masa penjajahan masih mengakar di tempat kelahiranku ini, berasal dari ketidak mampuan lidah kolonial Belanda dalam pengucapan Hulonthalo, maka dalam sebuah laporan kuno milik Belanda tertulis kata Gorontalo yang dibaca Horonthalo bagi kolonial Belanda, dari sinilah tercipta nama Gorontalo. Kok, aku bisa tahu? Ya, belajar dong, kebetulan aku adalah seorang mahasiswa Sejarah di kampus Merah Maron.
“Setyaaaa, .” Lengkingan suara mengiang dan menusuk gendang telinga itu tiba-tiba terdengar begitu dekat. Yups, itu Fira teman sekelasku yang sangat cerewet dan cantik se-jagad kampus.
“Ada apa? Kangen ya sama aku.” Kataku yakin. Untung aku sudah selesai makan, kalau belum, pasti makanannya tidak bakalan sanggup turun melewati ususku, karena kaget dengan lengkingan suaranya si Fira.
“Kangen pala lu. . Eh, kamu apain Disa? ha?” Cerocos Fira setibanya di dalam kantin sambil menjitak kepalaku.
“Apaan sih, entar pusing pala Cetya lagi..” Ucapku lebay meniru para alay.
Alayers banget. Kamu tahu, aku di-delcon sama dia. Pasti gara-gara kamu nih.”
“Loh, kenapa aku? Kamu yang di-delcon, malah nyalahin aku. Apa hubungannya coba?”
“Sebelum dia nge-delcon aku, dia sms, katanya kamu sok-sok tidak kenal sama dia. Dia malu banget digituin di depan banyak orang, terus yang paling memalukan lagi katanya kamu ngatain dia kentut di perahu. Sadis tahu nggak.”
Uppss, aku baru ingat, tadi ketemu sama Disa di depan kampus, iya dia Disa, yang dikenalin Fira waktu di pantai Olele sebulan yang lalu. Bisa-bisanya aku lupa. Ditambah lagi mulutku yang lancang, ini gara-gara main tebak asal kena, jadinya gini. Musibah.
“Oow, Masya Allah. Maaf Fir, aku benar-benar lupa. Lagian dia manggil aku saat momentnya nggak tepat, selain itu aku dan dia kan baru sekali ketemu, itupun kurun waktunya udah sebulan yang lalu. Mana aku ingat, emang cuma dia aja cewek-cewek yang kenalan sama aku. Tapi, kok dia ngelibatin kamu dalam hal ini, bukannya kalian teman ya?”
“Iya. Dia udah habis kesabaran mungkin. Pertama, dia ngefans sama kamu, terus aku mencoba untuk ngenalin kamu sama dia biar saling dekat, kamu juga kan nggak punya pacar. Tapi, pas di pantai, kamu malah ngegombalin aku habis-habisan di depan dia. Kedua, pas kita pulang, kamu minta PIN BB dia, saat kamu invite, tidak lama kemudian kamu nge-delcon dia. Maksud kamu apa? Pasti dia udah salah paham nih sama aku.”
“Sempurna. Sekarang aku ingat semua tentang Disa. Jujur ya, aku paling malas sama cewek yang kepo sama urusan orang lain. Baru aja kenalan, udah banyak banget pertanyaan yang menghujan.”
“Ya ampun, namanya juga dia ngefans sama kamu, maklum saja. Dasar cowok nggak pekah. Lagian dia kayak gitu kamu kan yang mulai, nanya-nanyain tentang dia, kamu duluan kan yang minta PIN dia, nggak ada yang tahu ‘kan kamu janjiin apa ke dia. Dasar cowok pengumbar harapan palsu. Stop deh PHP-in cewek.”
“Sudah ngomongnya? Terserah kamu mau labelin aku apa. Pesanku buat kamu, mending nggak usah temanan sama orang yang cuma manfaatin kamu. Sikapnya itu menggambarkan karakternya, buktinya dia marah sama aku, tapi kenapa dia ikutan marah sama kamu, padahal kan kamu nggak tahu apa-apa.”
***
Aku bukan sok-sok PD―percaya diri tingkat dewa. Tapi kenyataanlah yang berbicara demikian. Aku tahu, cewek-cewek yang dekat sama aku, karena melihat kelebihan tampang yang aku punya, dan juga mereka menganggap aku anak orang kaya, padahal yang punya duit orang tuaku, aku punya apa? Punya nyawa juga sudah untung. Sebagai cowok normal, aku juga tidak bisa memungkiri fitrah dan naluri seorang laki-laki, yang selalu membutuhkan belaian dari seorang wanita, yang tidak dapat menahan lisan untuk menngungkapkan apa yang ku rasa, apakah salah ketika aku kenalan sama cewek dan memuji dia cantik atau nanya-nanya tentang dia? Aku malah dibilang raja gombal, suka umbar harapan palsu, dan obral perhatian. Kata teman-teman sekelas, korbanku udah banyak, padahal aku sama sekali tidak mengorbankan siapa-siapa.
Sore ini setelah mengikuti perkuliahan sepanjang hari, aku dan teman-teman sekelas belum langsung pulang, kami bikin janji ketemuan di Taman kota malam ini, sekalian mau ngerjain tugas bareng. Kami sekelas, History angkatan 11 B, memang sangat dikenal solid dan kompak, mungkin banyak yang iri melihat kekompakkan kami, sehingga banyak yang munculin isu dan gossip aneh-aneh tentang kami, tidak perlu disebutin contoh kasusnya, takut nambah daftar dosa gibah. Seperti kata orang bijak, gossip itu diciptakan oleh orang-orang iri, disebarin sama orang-orang bodoh, dan diterima oleh orang-orang idiot. Hanya ada tiga tipe orang inilah yang suka berkecimpung dengan dunia gossip.
“Sebentar malam, boleh nggak bawah teman selain di kelas kita?” Tanya Ike ditengah kehebohan canda kami.
“Boleh. Sejak kapan ada larangan bagi kita untuk memperbanyak teman. Siapa? Cewek ya?” Tanyaku, yang sontak menimbulkan suara riuh teman-teman.
“Iya, cewek. Junior kita, angkatan 12, namanya Ita. Kamu pasti kenal. Katanya kalian pernah dekat ya?”
“Ah, masa sih? Dia bilang gitu?”
“Kayaknya, nambah satu lagi korbannya.” Selah Ipal, sang ketua kelas kami.
“Korban apa? Lagian kenapa sih dia mau ikutan sama kita, dia nggak segan? Ini ‘kan acara senior.”
Aku semakin bingung karakter cewek itu seperti apa. Apakah ini memang fitrah seorang cewek ketika dia menyukai seorang cowok? Bila tak dapat mengungkapakan rasa lewat lisan, maka lewat tulisan,―tulisan status di sosial media, atau lewat tingkah―sebenarnya ini yang paling memalukan bagiku, tapi kebanyakan cewek tidak menyadari itu, atau lewat doa―ini dia yang aku suka, perasaannya cukup dia dan Allah yang tahu, biar Allah yang mengurus semuanya sesuai rencana dan kehendak terindah yang telah tertulis dalam lauhmahfuz-Nya. Loh. . kok jadi dadakan alim gini? Maklum, akhir-akhir ini aku lagi belajar banyak hal soal kebenaran yang membawa ketenangan.
“Ike, mending nggak usah diajak deh. . ”
Ita. Siapa yang tidak kenal sama junior angkatan 12 ini. Dia cantik, bersahaja banget, dan juga alumni pesantren. Aku kagum sama dia, aku sempat dekat sama dia, mungkin sampai sekarang pun kami cukup dekat, tukaran nomor Hp pernah, tukaran PIN BB pasti, saling follow di instagram juga, tapi aku tidak pernah minta dia tukaran hati. Komunikasi kami lancar, aku nanya banyak hal sama dia, hingga aku bisa tahu berapa jumlah mantannya. Entahlah, aku yang kelewatan dalam berkomunikasi atau dia yang over mengartikan kedekatan kami. Bahkan, lucunya aku pernah minta tolong sama dia untuk membuatkan tugasku, padahal kalau difikir-fikir dia junior, tapi cerdas karena dia bisa buatin tugas senior. Ehm, itu dulu. Sekarang tidak lagi. Aku takut, sikapku ini malah menimbulkan kesalahpahaman yang berkepanjangan.
***
Seusai sholat subuh di masjid tadi, aku tidak tidur lagi seperti biasanya, aku langsung membereskan kamarku yang berantakan mengalahkan pecahan puing-puing pesawat Hercules yang jatuh kemarin. Aku jadi ingat seseorang, dia yang selalu memberiku saran untuk selalu belajar hidup rapi dan bersih. Aku senang banget dapat perhatian dari dia, tak bisa aku pungkiri mungkin aku pernah menyukainya, dibawah alam sadarku bayangnya selalu hadir. Dia tidak sekampus denganku, karena dia kuliah di kampus Hijau, Hulonthalo. Dia juga setahun dibawah angkatanku, junior, cantik, dan juga bersahaja. Komen-komenan di sosmed, sms-an di hp, BBM-an, dan juga saling chat di WA. Ya, begitulah kedekatan kami yang sempat terbangun, sebelum akhirnya komunikasi itu berlahan memudar, seraya menghapus rasa yang pernah tumbuh. Aku kasihan sama dia, dia terlalu baik buatku, dan juga sangat alim, santun dan anak khalaqoh―sebuah lingkaran kecil bagi orang-orang yang belajar ilmu agama dan melatih karakter untuk menjadi lebih baik dan produktif dalam hal kebaikan. Aku juga sadar, masa’ aku gangguin dia yang notabenenya sedang bertransformasi menjadi pribadi yang baik. Namanya Tia. Seperti saat ini, aku pun tengah belajar untuk menjadi pribadi yang baik, dengan bergabung dalam Khalaqoh Ikhwan Hulonthalo―lingkaran khusus untuk laki-laki. Aku bergabung bukan karena orang lain, apalagi karena Tia. Sama sekali tidak terlintas dibenakku. Aku memang tipe orang yang suka belajar banyak hal. Aku senang, banyak hal baru dan pelajaran berharga yang aku temukan disini, yang terkadang membuatku malu, sedih, dan menangis mengingat kecerobahanku dimasa lalu.
Tiga tahun bersama dalam pertemanan, membuat kami saling kenal karakter satu sama lain. Akhir-akhir ini teman-teman bertanya-tanya tentang aku yang dulu. Entah apa yang telah berubah dariku, mereka mengatakan bahwa mereka kehilangan Said yang dulu, yang suka nge-gombal, yang PD banget, yang suka nanya-nanya soal cewek, dan masih banyak lagi. Padahal aku tidak merasa kehilangan karakter itu, aku masih suka nge-gombal sama teman-teman di kelas meski levelnya tidak setinggi dulu, aku juga masih PD, dan aku suka nanya-nanya soal teman-teman cewek ketika ketemu sama teman lamaku. Ah, itulah proses perubahan menjadi orang baik, banyak cobaannya kata pak ustadz.
“Setya, eh. . Salah. Pak ustadz gimana kabarnya? Sudah jarang kelihatan.” Tanya Riki, teman sekelasku.
“Apaan sih bro. Alhamdulillah baik. Kemarin lagi ada kegiatan sama anak-anak LDK. Ada tugas baru ya?”
“Ada. Tugas dari pak Darwis, penelitian soal sejarah masing-masing desa. LDK itu apa sih?”
“LDK itu, Lembaga Dakwah Kampus. Gabung yuk. Kegiatannya keren loh, kemarin  kita baru saja ikut out bone di Pulau Saronde, bareng anak-anak LDK yang ada di kampus se-provinsi Hulonthalo.
“Keren sih iya. Tapi aku sudah tahu seluk-beluk anak-anak LDK. Jadi anak LDK berarti harus siap jadi jones alias jomblo ngenes. Dilarang pacaran ‘kan?”
Hmm, siapa bilang anak LDK dilarang pacaran? Emang sih, anak LDK jones― jaringan orang ngantre surga. In shaa Allah. Bukan LDK yang larang kita pacaran, tapi pelajaran yang kita dapatkan di LDK yang membelajarkan kita sesuatu yang bengkok menjadi lurus.”
“PD banget ngantri surga. Emang udah dijamin?”
“Emang nggak dijamin, tapi dijanjiin. Selama kita mau berusaha dan tetap istiqomah dalam kebaikan. Tidak ada hal baik yang sia-sia, semua akan ada ganjarannya. Aku sebenarnya nggak PD, aku malah malu karena mengharapkan hal itu. Namun, aku berfikir bahwa, aku yang udah berusaha jadi orang baik aja masih belum terjamin bisa ngantri surga, bagaimana kalau aku nggak berusaha untuk jadi orang baik, dan tetap angkuh tak ingin belajar?”
Sejenak suasana menjadi hening. Hanya ada aku dan Riki di tempat tongkrongan kami, teman-teman belum ada yang datang, mungkin masih dalam perjalanan, maklum perkuliahan masih satu jam lagi akan dimulai, dosennya juga belum ada. Semoga perkataanku tadi dapat membuka keinginan hati Riki untuk belajar tentang kebenaran yang membawa ketenangan.
***
Sudah beberapa bulan lamanya aku berada dalam lingkaran majelis ilmu ini, tentu saja sudah lumayan banyak teman-teman baruku dari berbagai jurusan dan fakultas yang berbeda-beda, bahkan beda kampus. Aku ditugasin ngantarin undangan kepada salah seorang ustadz untuk kegiatan kami diawal bulan Agustus ini.
“Maaf, dengan ka Setya ya?” Tanya salah seorang cewek dengan santun, mereka berdua, dua-duanya berhijab rapi.
Aku pun bingung tiba-tiba ditanya sama dua orang cewek ini, aku kenal mereka. Mereka adalah pengurus LDK di kampus Merah Maron. Tapi kami tidak akrab, bahkan baru kali ini aku bertegur sapa dengan mereka. Aku berpapasan dengan mereka di dekat taman kampus, belakang fakultas ilmu pendidikan.
“Iya benar. Ada apa ya?”
“Bisa kita bertiga bicara sebentar?”
“Silahkan.”
“Maaf ya sebelumnya, kalau kami lancang dan tidak sopan menanyakan hal ini. Kami dapat laporan dari salah seorang teman. Kebetulan dia juga teman kami, dia cewek dan juga anak LDK, akhir-akhir ini dia enggan mau gabung lagi sama kita di LDK, terlebih ketika ada kegiatan-kegiatan. Katanya, dia malu dan segan sama seorang anak LDK yang bernama Setya. Karena, , hmm maaf, kakak PHP-in dia.”
Astagfirullah. Siapa namanya? Aku tidak tahu tentang hal ini, malahan aku baru tahu sekarang.”
“Namanya Fita. Dia anak baru di LDK, jadi kami sengaja bicarakan ini secara langsung dengan kak Setya. Kami hanya berharap dari pembicaraan ini akan ada penerangan agar bisa menemukan solusi yang baik untuk masalah ini.”
Masya Allah, kenapa sampai serumit ini? Kemarin saat kegiatan memang kami pernah terlibat kerjasama dalam satu agenda, terutama di pulau Saronde kemarin. Kebetulan aku bidang perlengkapan, dan dia dengan teman-teman lainnya bidang konsumsi untuk peserta. Sempat bercanda juga, aku memujinya. Kok bisa disalah artikan jadi PHP ya?”
“Itulah hati seorang cewek kak, mudah terbawa suasana. Apalagi gembok pertahanan imannya belum terlalu kuat dan belum memiliki dasar yang kokoh, pasti mudah rapuh dan terpengaruh. Fita malu dan nggak PD lagi kalau sampai ketemu sama kak Setya.” Ucap salah seorang cewek berjilbab coklat, yang tadinya hanya diam.
“Kami harap, kak Setya tidak mengulang ucapan seperti itu pada teman-teman LDK lain, terutama cewek. Kak Setya tidak perlu mengumbar gombalan murahan yang berujung PHP seperti itu.” Sambung cewek berjilbab hijau yang membuka percakapan awal tadi, dengan raut wajah datar. Ada kekecewaan nampak disana.
“Maaf, bila aku sudah menimbulkan masalah serumit ini. Pesanku buat kalian juga para cewek, apalagi anak LDK, jangan biasakan menyimpulkan sesuatu yang tidak diketahui ujung sama ujung sebuah perkataan. Apalagi sampai mensalah artikan pujian yang biasa-biasa aja, dengan hipotesis ‘waw’ ciptaan kalian yang nggak jelas. Akhirnya malah menjebak perasaan sendiri. Diri kalian terlalu berharga untuk dibeli apalagi dipermainkan oleh gombalan murahan seperti yang kalian bilang tadi. Pertanyaannya sekarang, aku yang PHP atau dia yang GR? Salah besar kalau kalian menganggapku demikian. Permisi. Wassalamualaikum.
Aku beranjak dari tempat itu. Gendang telingaku seakan robek tercabik-cabik mendengar topik yang berujung pada kata PHP―Pemberi harapan palsu. Akhirnya hanya aku yang di sudutkan. Mengapa semua orang hanya menilai dari sisiku saja? Dan mengatakan bahwa aku menimbulkan banyak korban harapan palsu. Bagiku, hanya cewek yang percaya diri tingkat tinggi yang mudah merasa dirinya di PHP-in cowok, jadi cewek jangan biasakan Gede Rasa, malah disinilah akan timbul berbagai prasangkah buruk tentang citra seseorang, karena ke-GR-an cewek-cewek inilah aku mendapat gelar Duta PHP. Sekarang, siapa yang korban???

―Selesai―

Tidak ada komentar:

Posting Komentar