DUTA
PHP SEJAGAD HULONTHALO
Rezki
Desmita
Namaku Syahban Setya Gusnar. Banyak yang
bilang aku orangnya ganteng. Ya, kalau dilihat-lihat sih, lumayan juga untuk proporsi wajah seorang cowok. Sejak SMA
banyak cewek-cewek yang dekatin aku, cari-cari perhatian sambil pura-pura
latihan, entahlah latihan apa. Aku ingat suatu ketika di lapangan sekolah, aku
lagi main bola sama teman-teman. Tiba-tiba datang seorang cewek, lumayan
cantik, katanya sih dia kakak kelas kita yang tomboi abis. Dari sisi mana
mereka menilai bahwa cewek ini tomboi? Penampilannya peminim banget, baru kali
ini aku lihat cewek tomboi pakai lipstick,
dan segala macam pewarna wajah. Aku tidak habis fikir, cewek ini kok nggak ada malunya ya, main bola sama sebelas orang
laki-laki, alasannya mau latihan bareng kita, karena sebentar sore dia akan
ikut pertandingan bola kaki dangdut di kelurahan. Halaa, pura-pura latihannya basi banget, baru aja sebentar udah
jatuh, sok-sok jatuh di dekat aku
lagi, biasalah cewek, supaya ditangkap sama aku gitu. Hmm, seandainya aku bisa berpesan sama cewek-cewek, aku akan
bilang, “Jadi cewek jangan biasakan bersikap you must be catch me, tapi jadilah cewek yang selalu berprinsip catch me if you can”. Ingat moment itu aku terkadang geli sendiri.
***
Matahari
sudah menggantung sadis di puncak langit bumi Hulonthalo, kulitku yang lumayan putih mulai kemerahan diterpa
sinarnya, mungkin dia iri melihat orang ganteng sepertiku melintas di bawahnya.
Kalau saja bukan karena perutku keroncongan minta diganjal, aku ogah keluar siang-siang gini.
“Setya.” Sapa seorang
cewek yang berpapasan denganku di depan kampus,
“Siapa ya?” Tanyaku
bingung,
“Sudah lupa ya?”
“Maaf, mungkin kita
pernah ketemu tapi aku orangnya emang punya penyakit pelupa.” Kataku nyengir gaje― nggak jelas.
“Aku
Disa, yang kemarin ketemu saat liburan di pantai Olele.”
“Ooo, Disa yang jualan
jangung di pantai itu ya? Hmm, bukan
ya? Maaf, atau Disa yang kelepasan
kentut waktu lagi keliling naik perahu itu ya?” Tebakku asal-asalan, entah
karena cuaca lagi panas atau perutku yang lapar, sampai otakku tidak bisa
memutar kembali memori-memori yang kemarin.
“Sudah, lupain aja.
Mungkin aku salah orang. Maaf ya.” Ucap cewek itu dengan wajah masam, dan
sedikit merah menahan amarah.
Dia
pergi, aku pun melanjutkan langkahku menuju kantin yang ada di dalam kampus,
maklum anak kost, andalannya beli makan di luar, mumpung kampus dekat, lima
langkah dari kost, maka aku memilih kantin kampus, harganya sesuai nafas
kantong mahasiswa sepertiku.
Akhirnya,
dalam hitungan lima menit aku sampai di kantin milik Maci’i, sapaan akrab pemilik kantin langgananku, secara harfiah sebutan
Maci’i diperuntukkan untuk seorang
bibi atau tante. Aku senang menggunakan istilah-istilah lokal, apalagi
penyebutan kata Hulonthalo. Pernah ada
yang tanya sama aku, perbedaan Gorontalo dan Hulonthalo apa? Kalau dijelasakan secara lengkap dan rinci itu
harus menggali latar belakang historisnya, namun satu hal yang mendasar dari
perbedaan dua kata ini adalah saat masa penjajahan masih mengakar di tempat
kelahiranku ini, berasal dari ketidak mampuan lidah kolonial Belanda dalam
pengucapan Hulonthalo, maka dalam
sebuah laporan kuno milik Belanda tertulis kata Gorontalo yang dibaca Horonthalo
bagi kolonial Belanda, dari sinilah tercipta nama Gorontalo. Kok, aku bisa tahu? Ya, belajar dong,
kebetulan aku adalah seorang mahasiswa Sejarah di kampus Merah Maron.
“Setyaaaa, .”
Lengkingan suara mengiang dan menusuk gendang telinga itu tiba-tiba terdengar
begitu dekat. Yups, itu Fira teman
sekelasku yang sangat cerewet dan cantik se-jagad kampus.
“Ada apa? Kangen ya
sama aku.” Kataku yakin. Untung aku sudah selesai makan, kalau belum, pasti
makanannya tidak bakalan sanggup turun melewati ususku, karena kaget dengan
lengkingan suaranya si Fira.
“Kangen pala lu. . Eh, kamu apain Disa? ha?”
Cerocos Fira setibanya di dalam kantin sambil menjitak kepalaku.
“Apaan sih, entar pusing pala Cetya lagi..” Ucapku lebay meniru para alay.
“Alayers banget. Kamu tahu, aku di-delcon sama dia. Pasti gara-gara kamu nih.”
“Loh, kenapa aku? Kamu
yang di-delcon, malah nyalahin aku.
Apa hubungannya coba?”
“Sebelum dia nge-delcon aku, dia sms, katanya kamu sok-sok tidak kenal sama dia. Dia malu
banget digituin di depan banyak orang, terus yang paling memalukan lagi katanya
kamu ngatain dia kentut di perahu. Sadis tahu nggak.”
Uppss,
aku
baru ingat, tadi ketemu sama Disa di depan kampus, iya dia Disa, yang dikenalin
Fira waktu di pantai Olele sebulan yang lalu. Bisa-bisanya aku lupa. Ditambah
lagi mulutku yang lancang, ini gara-gara main tebak asal kena, jadinya gini.
Musibah.
“Oow, Masya Allah. Maaf Fir, aku benar-benar
lupa. Lagian dia manggil aku saat momentnya nggak tepat, selain itu aku dan dia
kan baru sekali ketemu, itupun kurun waktunya udah sebulan yang lalu. Mana aku
ingat, emang cuma dia aja cewek-cewek yang kenalan sama aku. Tapi, kok dia ngelibatin kamu dalam hal ini, bukannya
kalian teman ya?”
“Iya. Dia udah habis
kesabaran mungkin. Pertama, dia ngefans sama kamu, terus aku mencoba untuk
ngenalin kamu sama dia biar saling dekat, kamu juga kan nggak punya pacar.
Tapi, pas di pantai, kamu malah ngegombalin aku habis-habisan di depan dia. Kedua,
pas kita pulang, kamu minta PIN BB dia, saat kamu invite, tidak lama kemudian kamu nge-delcon dia. Maksud kamu apa? Pasti dia udah salah paham nih sama
aku.”
“Sempurna. Sekarang aku
ingat semua tentang Disa. Jujur ya, aku paling malas sama cewek yang kepo sama urusan orang lain. Baru aja
kenalan, udah banyak banget pertanyaan yang menghujan.”
“Ya ampun, namanya juga
dia ngefans sama kamu, maklum saja. Dasar cowok nggak pekah. Lagian dia kayak
gitu kamu kan yang mulai, nanya-nanyain tentang dia, kamu duluan kan yang minta
PIN dia, nggak ada yang tahu ‘kan kamu janjiin apa ke dia. Dasar cowok
pengumbar harapan palsu. Stop deh PHP-in cewek.”
“Sudah ngomongnya?
Terserah kamu mau labelin aku apa. Pesanku buat kamu, mending nggak usah
temanan sama orang yang cuma manfaatin kamu. Sikapnya itu menggambarkan
karakternya, buktinya dia marah sama aku, tapi kenapa dia ikutan marah sama
kamu, padahal kan kamu nggak tahu apa-apa.”
***
Aku bukan sok-sok PD―percaya diri tingkat dewa.
Tapi kenyataanlah yang berbicara demikian. Aku tahu, cewek-cewek yang dekat
sama aku, karena melihat kelebihan tampang yang aku punya, dan juga mereka
menganggap aku anak orang kaya, padahal yang punya duit orang tuaku, aku punya
apa? Punya nyawa juga sudah untung. Sebagai cowok normal, aku juga tidak bisa
memungkiri fitrah dan naluri seorang laki-laki, yang selalu membutuhkan belaian
dari seorang wanita, yang tidak dapat menahan lisan untuk menngungkapkan apa
yang ku rasa, apakah salah ketika aku kenalan sama cewek dan memuji dia cantik
atau nanya-nanya tentang dia? Aku malah dibilang raja gombal, suka umbar
harapan palsu, dan obral perhatian. Kata teman-teman sekelas, korbanku udah
banyak, padahal aku sama sekali tidak mengorbankan siapa-siapa.
Sore ini setelah
mengikuti perkuliahan sepanjang hari, aku dan teman-teman sekelas belum
langsung pulang, kami bikin janji ketemuan di Taman kota malam ini, sekalian
mau ngerjain tugas bareng. Kami sekelas, History angkatan 11 B, memang sangat
dikenal solid dan kompak, mungkin banyak yang iri melihat kekompakkan kami,
sehingga banyak yang munculin isu dan gossip aneh-aneh tentang kami, tidak
perlu disebutin contoh kasusnya, takut nambah daftar dosa gibah. Seperti kata
orang bijak, gossip itu diciptakan oleh orang-orang iri, disebarin sama
orang-orang bodoh, dan diterima oleh orang-orang idiot. Hanya ada tiga tipe orang inilah yang suka berkecimpung
dengan dunia gossip.
“Sebentar malam, boleh
nggak bawah teman selain di kelas kita?” Tanya Ike ditengah kehebohan canda
kami.
“Boleh. Sejak kapan ada
larangan bagi kita untuk memperbanyak teman. Siapa? Cewek ya?” Tanyaku, yang
sontak menimbulkan suara riuh teman-teman.
“Iya, cewek. Junior
kita, angkatan 12, namanya Ita. Kamu pasti kenal. Katanya kalian pernah dekat
ya?”
“Ah, masa sih? Dia
bilang gitu?”
“Kayaknya, nambah satu
lagi korbannya.” Selah Ipal, sang ketua kelas kami.
“Korban apa? Lagian
kenapa sih dia mau ikutan sama kita,
dia nggak segan? Ini ‘kan acara senior.”
Aku semakin bingung
karakter cewek itu seperti apa. Apakah ini memang fitrah seorang cewek ketika
dia menyukai seorang cowok? Bila tak dapat mengungkapakan rasa lewat lisan,
maka lewat tulisan,―tulisan status di sosial media, atau lewat
tingkah―sebenarnya ini yang paling memalukan bagiku, tapi kebanyakan cewek tidak
menyadari itu, atau lewat doa―ini dia yang aku suka, perasaannya cukup dia dan
Allah yang tahu, biar Allah yang mengurus semuanya sesuai rencana dan kehendak
terindah yang telah tertulis dalam lauhmahfuz-Nya. Loh. . kok jadi dadakan alim gini? Maklum, akhir-akhir ini aku lagi belajar
banyak hal soal kebenaran yang membawa ketenangan.
“Ike, mending nggak
usah diajak deh. . ”
Ita. Siapa yang tidak
kenal sama junior angkatan 12 ini. Dia cantik, bersahaja banget, dan juga
alumni pesantren. Aku kagum sama dia, aku sempat dekat sama dia, mungkin sampai
sekarang pun kami cukup dekat, tukaran nomor Hp pernah, tukaran PIN BB pasti, saling follow di instagram juga, tapi aku tidak pernah minta dia tukaran
hati. Komunikasi kami lancar, aku nanya banyak hal sama dia, hingga aku bisa
tahu berapa jumlah mantannya. Entahlah, aku yang kelewatan dalam berkomunikasi
atau dia yang over mengartikan
kedekatan kami. Bahkan, lucunya aku pernah minta tolong sama dia untuk
membuatkan tugasku, padahal kalau difikir-fikir dia junior, tapi cerdas karena
dia bisa buatin tugas senior. Ehm, itu
dulu. Sekarang tidak lagi. Aku takut, sikapku ini malah menimbulkan
kesalahpahaman yang berkepanjangan.
***
Seusai sholat subuh di
masjid tadi, aku tidak tidur lagi seperti biasanya, aku langsung membereskan
kamarku yang berantakan mengalahkan pecahan puing-puing pesawat Hercules yang
jatuh kemarin. Aku jadi ingat seseorang, dia yang selalu memberiku saran untuk
selalu belajar hidup rapi dan bersih. Aku senang banget dapat perhatian dari
dia, tak bisa aku pungkiri mungkin aku pernah menyukainya, dibawah alam sadarku
bayangnya selalu hadir. Dia tidak sekampus denganku, karena dia kuliah di
kampus Hijau, Hulonthalo. Dia juga
setahun dibawah angkatanku, junior, cantik, dan juga bersahaja. Komen-komenan
di sosmed, sms-an di hp, BBM-an, dan
juga saling chat di WA. Ya, begitulah kedekatan kami yang
sempat terbangun, sebelum akhirnya komunikasi itu berlahan memudar, seraya
menghapus rasa yang pernah tumbuh. Aku kasihan sama dia, dia terlalu baik
buatku, dan juga sangat alim, santun dan anak khalaqoh―sebuah lingkaran kecil bagi orang-orang yang belajar ilmu
agama dan melatih karakter untuk menjadi lebih baik dan produktif dalam hal
kebaikan. Aku juga sadar, masa’ aku gangguin dia yang notabenenya
sedang bertransformasi menjadi pribadi yang baik. Namanya Tia. Seperti saat
ini, aku pun tengah belajar untuk menjadi pribadi yang baik, dengan bergabung
dalam Khalaqoh Ikhwan Hulonthalo―lingkaran
khusus untuk laki-laki. Aku bergabung
bukan karena orang lain, apalagi karena Tia. Sama sekali tidak terlintas
dibenakku. Aku memang tipe orang yang suka belajar banyak hal. Aku senang,
banyak hal baru dan pelajaran berharga yang aku temukan disini, yang terkadang
membuatku malu, sedih, dan menangis mengingat kecerobahanku dimasa lalu.
Tiga tahun bersama
dalam pertemanan, membuat kami saling kenal karakter satu sama lain.
Akhir-akhir ini teman-teman bertanya-tanya tentang aku yang dulu. Entah apa
yang telah berubah dariku, mereka mengatakan bahwa mereka kehilangan Said yang
dulu, yang suka nge-gombal, yang PD banget, yang suka nanya-nanya soal cewek,
dan masih banyak lagi. Padahal aku tidak merasa kehilangan karakter itu, aku
masih suka nge-gombal sama teman-teman di kelas meski levelnya tidak setinggi
dulu, aku juga masih PD, dan aku suka nanya-nanya soal teman-teman cewek ketika
ketemu sama teman lamaku. Ah, itulah proses perubahan menjadi orang baik,
banyak cobaannya kata pak ustadz.
“Setya, eh. . Salah. Pak ustadz gimana kabarnya?
Sudah jarang kelihatan.” Tanya Riki, teman sekelasku.
“Apaan sih bro. Alhamdulillah baik. Kemarin lagi ada kegiatan sama anak-anak LDK.
Ada tugas baru ya?”
“Ada. Tugas dari pak
Darwis, penelitian soal sejarah masing-masing desa. LDK itu apa sih?”
“LDK itu, Lembaga
Dakwah Kampus. Gabung yuk.
Kegiatannya keren loh, kemarin kita baru saja ikut out bone di Pulau Saronde, bareng anak-anak LDK yang ada di kampus
se-provinsi Hulonthalo.”
“Keren sih iya. Tapi aku sudah tahu seluk-beluk
anak-anak LDK. Jadi anak LDK berarti harus siap jadi jones alias jomblo ngenes.
Dilarang pacaran ‘kan?”
“Hmm, siapa bilang anak LDK dilarang pacaran? Emang sih, anak LDK jones― jaringan orang ngantre surga. In
shaa Allah. Bukan LDK yang larang kita pacaran, tapi pelajaran yang kita
dapatkan di LDK yang membelajarkan kita sesuatu yang bengkok menjadi lurus.”
“PD banget ngantri
surga. Emang udah dijamin?”
“Emang nggak dijamin,
tapi dijanjiin. Selama kita mau berusaha dan tetap istiqomah dalam kebaikan.
Tidak ada hal baik yang sia-sia, semua akan ada ganjarannya. Aku sebenarnya nggak
PD, aku malah malu karena mengharapkan hal itu. Namun, aku berfikir bahwa, aku
yang udah berusaha jadi orang baik aja masih belum terjamin bisa ngantri surga,
bagaimana kalau aku nggak berusaha untuk jadi orang baik, dan tetap angkuh tak
ingin belajar?”
Sejenak
suasana menjadi hening. Hanya ada aku dan Riki di tempat tongkrongan kami,
teman-teman belum ada yang datang, mungkin masih dalam perjalanan, maklum
perkuliahan masih satu jam lagi akan dimulai, dosennya juga belum ada. Semoga
perkataanku tadi dapat membuka keinginan hati Riki untuk belajar tentang
kebenaran yang membawa ketenangan.
***
Sudah beberapa bulan
lamanya aku berada dalam lingkaran majelis ilmu ini, tentu saja sudah lumayan
banyak teman-teman baruku dari berbagai jurusan dan fakultas yang berbeda-beda,
bahkan beda kampus. Aku ditugasin ngantarin undangan kepada salah seorang
ustadz untuk kegiatan kami diawal bulan Agustus ini.
“Maaf, dengan ka Setya
ya?” Tanya salah seorang cewek dengan santun, mereka berdua, dua-duanya
berhijab rapi.
Aku pun bingung
tiba-tiba ditanya sama dua orang cewek ini, aku kenal mereka. Mereka adalah
pengurus LDK di kampus Merah Maron. Tapi kami tidak akrab, bahkan baru kali ini
aku bertegur sapa dengan mereka. Aku berpapasan dengan mereka di dekat taman
kampus, belakang fakultas ilmu pendidikan.
“Iya benar. Ada apa ya?”
“Bisa kita bertiga
bicara sebentar?”
“Silahkan.”
“Maaf ya sebelumnya, kalau
kami lancang dan tidak sopan menanyakan hal ini. Kami dapat laporan dari salah
seorang teman. Kebetulan dia juga teman kami, dia cewek dan juga anak LDK,
akhir-akhir ini dia enggan mau gabung lagi sama kita di LDK, terlebih ketika
ada kegiatan-kegiatan. Katanya, dia malu dan segan sama seorang anak LDK yang
bernama Setya. Karena, , hmm maaf,
kakak PHP-in dia.”
“Astagfirullah. Siapa namanya? Aku tidak tahu tentang hal ini,
malahan aku baru tahu sekarang.”
“Namanya Fita. Dia anak
baru di LDK, jadi kami sengaja bicarakan ini secara langsung dengan kak Setya.
Kami hanya berharap dari pembicaraan ini akan ada penerangan agar bisa
menemukan solusi yang baik untuk masalah ini.”
“Masya Allah, kenapa sampai serumit ini? Kemarin saat kegiatan
memang kami pernah terlibat kerjasama dalam satu agenda, terutama di pulau
Saronde kemarin. Kebetulan aku bidang perlengkapan, dan dia dengan teman-teman
lainnya bidang konsumsi untuk peserta. Sempat bercanda juga, aku memujinya. Kok bisa disalah artikan jadi PHP ya?”
“Itulah hati seorang
cewek kak, mudah terbawa suasana. Apalagi gembok pertahanan imannya belum
terlalu kuat dan belum memiliki dasar yang kokoh, pasti mudah rapuh dan terpengaruh.
Fita malu dan nggak PD lagi kalau sampai ketemu sama kak Setya.” Ucap salah
seorang cewek berjilbab coklat, yang tadinya hanya diam.
“Kami harap, kak Setya
tidak mengulang ucapan seperti itu pada teman-teman LDK lain, terutama cewek.
Kak Setya tidak perlu mengumbar gombalan murahan yang berujung PHP seperti itu.”
Sambung cewek berjilbab hijau yang membuka percakapan awal tadi, dengan raut
wajah datar. Ada kekecewaan nampak disana.
“Maaf, bila aku sudah
menimbulkan masalah serumit ini. Pesanku buat kalian juga para cewek, apalagi
anak LDK, jangan biasakan menyimpulkan sesuatu yang tidak diketahui ujung sama
ujung sebuah perkataan. Apalagi sampai mensalah artikan pujian yang biasa-biasa
aja, dengan hipotesis ‘waw’ ciptaan
kalian yang nggak jelas. Akhirnya malah menjebak perasaan sendiri. Diri kalian terlalu
berharga untuk dibeli apalagi dipermainkan oleh gombalan murahan seperti yang
kalian bilang tadi. Pertanyaannya sekarang, aku yang PHP atau dia yang GR?
Salah besar kalau kalian menganggapku demikian. Permisi. Wassalamualaikum.”
Aku beranjak dari tempat
itu. Gendang telingaku seakan robek tercabik-cabik mendengar topik yang
berujung pada kata PHP―Pemberi harapan palsu. Akhirnya hanya aku yang di
sudutkan. Mengapa semua orang hanya menilai dari sisiku saja? Dan mengatakan
bahwa aku menimbulkan banyak korban harapan palsu. Bagiku, hanya cewek yang
percaya diri tingkat tinggi yang mudah merasa dirinya di PHP-in cowok, jadi
cewek jangan biasakan Gede Rasa, malah disinilah akan timbul berbagai
prasangkah buruk tentang citra seseorang,
karena ke-GR-an cewek-cewek inilah aku mendapat gelar Duta PHP. Sekarang, siapa yang korban???
♫―Selesai―♫
Tidak ada komentar:
Posting Komentar