Minggu, 24 Mei 2015

GORONTALO DALAM ATLAS SEJARAH INDONESIA MASA ISLAM

Kerajaan Gorontalo
Jazirah Gorontalo terbentuk kurang lebih 400 tahun lalu dan merupakan salah satu kota tua di Sulawesi selain kota Makassar, Pare-pare, dan Manado. Gorontalo pada saat itu menjadi salah satu pusat penyebaran Agama Islam di Indonesia Timur yaitu dari Ternate, Gorontalo,  dan Bone. Seiring dengan penyebaran agama tersebut Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan masyarakat di wilayah sekitar seperti Bolaang Mongondow (Sulut), Buol, Toli-toli, Luwuk, Banggai, Donggala (Sulteng) bahkan sampai ke Sulawesi Tenggara. Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan karena letaknya yang strategis menghadap Teluk Tomini (bagian selatan) dan Laut Sulawesi (bagian utara).
Kedudukan kota kerajaan Gorontalo mulanya berada di kelurahan Hulawa (kecamatan Telaga sekarang), tepatnya di pinggiran sungai Bolango. Menurut penelitian, pada tahun 1024 H, kota kerajaan ini dipindahkan dari kelurahan Hulawa ke Dungingi kelurahan Tuladenggi kecamatan Kota Barat sekarang. Kemudian dimasa Pemerintahan Sultan Botutihe kota kerajaan ini dipindahkan dari Dungngi di pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang terletak antara dua kelurahan yaitu kelurahan Biawu dan kelurahan Limba B.
Dengan letaknya yang strategis yang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan serta penyebaran agama Islam maka pengaruh Gorontalo sangat besar pada wilayah sekitar, bahkan menjadi pusat pemerintahan yang disebut dengan kepala Daerah Sulawesi Utara Afdeling Gorontalo yang meliputi Gorontalo dan wilayah sekitarnya seperti Buol, Toli-toli, Donggala, dan Bolaang Mongondow. Sebelum masa penjajahan keadaan Daerah Gorontalo berbentuk kerajaan-kerajaan yang diatur  menurut hukum adat ketatanegaraan Gorontalo. Kerajaan-kerajaan itu tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut dengan “Pohala’a.” Menurut Haga (1931) daerah Gorontalo ada lima pohalaa : pohalaa Gorontalo, pohalaa Limboto, pohalaa Suwawa, Pohalaa Boalemo, Pohalaa Atinggola. Pohalaa Gorontalo merupakan pohalaa yang paling menonjol diantara kelima pohalaa tersebut. Itulah sebabnya Gotontalo lebih banyak dikenal.
Sekitar abad ke-15, dugaan orang bahwa sebagian besar daratan Gorontalo adalah air laut. Ketika itu, kerajaan Gorontalo dibawah pemerintahan Raja Eyato, atau Matolodulakiki bersama permaisurinya Tilangohula (1505-1585). Mereka memiliki tiga keturunan, yakni Ndoba (Wanita), Tiliaya (wanita), dan Naha (Pria). Waktu usia remaja, Naha melanglang buana ke negeri seberang.
Ndoba dan Tiliaya tampil sebagai dua tokoh wanita pejuang waktu itu langsung mempersiapkan penduduk sekitar untuk menangkis serangan musuh dan kemungkinan perang yang akan terjadi. Pasukan Ndoba dan Tiliaya, diperkuat lagi dengan angkatan laut yang dipimpin oleh para Apitalau atau kapten laut, yakni Apitalau Lakoro, Apitalau Lagona, Apitalau Lakadjo, dan Apitalau Djailani.
Masyarakat Gorontalo meyakini bahwa penyebar agama Islam di Gorontalo adalah Ju Panggola 1400 (Alfian Nangili, 2011). Makam Ju Panggola dikenal dengan “keramat Ju Panggola” yang terletak di kecamatan Kota Barat, di kelurahan Lekobalo, kurang lebih 7 Km dari pusat kota Gorontalo. Makam keramat ini terletak diatas bukit pada ketinggian 50 M dari jalan raya. Dari atas bukit ini kita dapat melihat danau Limboto yang luas, dengan airnya yang makin kritis, dari kedalaman 32 M kini tinggal 5 hingga 7 M. Ju Panggola adalah sebuah gelar atau julukan. Ju berarti ‘ya’ sedangkan Panggola berarti ‘tua’. Jadi, Ju Panggola artinya Ya Pak Tua. Dalam sejarah nama pak tua tersebut adalah Ilato, yang berate kilat. Karena kesaktian dan sifat keramatnya Ilato, mempunyai kemampuan untuk menghilang dan muncul jika negeri dalam keadaan gawat.
Pak tua atau Ju Panggola gelar ini muncul dari masyarakat karena setiap beliau tampil, dengan profil kakek tua yang mengenakan jubah putih. Ia mempunyai jenggot putih yang sangat panjang yang melewati lutut. Ia juga dijuluki sebagai Awuliya karena beliau adalah penyebar agama Islam sejak tahun 1400, sebelum para Wali Songo berada di pulau Jawa. Aliran yang ditinggalkan oleh Ju Panggola adalah ilmu putih, yang diterapkan lewat “langga” atau ilmu bela diri dalam dunia persilatan. Beliau tidak secara langsung melatih para muridnya, melainkan hanya meneteskan air di mata sang murid, dan secara otomatis muridnya memperoleh jurus-jurus persilatan secara spontan, baik melalui mimpi maupun melalui gerakan reflaks. Makam tersebut memiliki banyak keajaiban antara lain, tanah di atas bukit itu berbau harum. Menurut sejarah bahwa tanah  tersebut pernah dihuni beliau sebagai tempat bermunajat ke hadirat        Allah SWT. Keajaiban tersebut masih dapat disaksikan hingga sekarang ini. Di makam itu setiap peziarah datang dan mengambil segenggem tanah di seputar makam, dan anehnya tanah galian tersebut tidak pernah menjadi lubang yang dalam, padahal ribuan manusia mengambil tanah tersebut sebgai azimat.(Author pov: kalau yang satu ini tidak perlu kita contohi, karena perbuatan demikian sangat dilarang untuk umat muslim. Mengambil tanah kuburan apalagi meyakininya sebagai suatu yang dapat menolong dan lain sebagainya sehingga menjadikannya sebagai azimat. Sebagai muslim, satu-satunya yang patut diyakini dan disembah Allah Swt). Makam Ju Panggola setiap hari mendapat kunjungan dari para wisatawan, baik wistawan Nusantara maupun mancanegara. Sebagaian dari mereka melaksanakan shalat di Masjid Ju Panggola, sambil berdoa.
 Masjid Agung Baiturrahim
Masjid Agung Baiturrahim terletak di pusat kota Gorontalo. masjid ini merupakan salah satu masjid tua yang dibangun di daerah Gorontalo. masjid tersebut didirikan bersamaan dengan pembangunan Kota Gorontalo yang baru dipindahkan dari Dungingi ke kota Gorontalo, tepatnya kamis 6 Syahban 1140 H atau 18 maret 1728 Moleh paduka raja Botutihe, yakni kepala pemerintahan Batato Lo Hulondalo atau kerajaan Gorontalo pada waktu itu. Masjid Baiturrahim kota Gorontalo, adalah masjid yang tua di daerah Gorontalo. Masjid ini didirikan bertalian erat dengan perkembangan pemerintahan adat daerah Gorontalo. sesuai dengan data yang ada, masjid tersebut didirikan di pusat pemerintahan kerajaan (Botato), diantaranya Yiladiya (Rumah Raja), Bantayo Poboide (balai ruang/balai musyawarah), Loji (rumah kediaman Apitalawu atau pejabat keamanan kerajaan), dan Bele Biya/ Bele Tolotuhu, yakni rumah-rumah pejabat kerajaan. Selanjutnya sesuai dengan perkembangan pemerintahan, masyarakat umat islam, masjid yang sebelumnya menggunakan bahan dari kayu-kayuan, direnovasi dan dibangun kembali. Antara lain tiang-tiangnya diganti dengan bangunan yang berfondasi dan berdinding batu pada tahun 1175 H atau 1761 M oleh raja Unonongo. Tebal dindingnya 0,80 M.
Pada tahun 1938 masjid tersebut hancur akibat gempa bumi yang dahsyat dan sejak saat itu pelaksanaan ibadah shalat dan ibadah lainnya dilaksanakan pada bangunan darurat dekat masjid tersebut sampai dengan tahun 1946. Pada tahun 1946 dan 2947 diadakan pembangunan kembali masjid tersebut dipimpin oelh Abdullah Usman sebagai pemimpin B.O.W. 
Masjid Baiturrahim Gorontalo diperluas pada tahun 1964 dengan penambahan serambi sebelah utara dan barat oleh panitia yang diketuai oleh T. Niode dan wakil ketuanya H. Yusuf Polapa sebagai pelaksana harian. Tahun 1969 dibentuk lagi satu panitia baru yang diketuai K.O Naki, B.A dan A. Nause sebagai pelaksana  harian dan Kadi Abas Rauf sebagai pimpinan ibadah.
Masih di dalam kota Gorontalo, selain masjid Baiturrahim terdapat masjid yang cukup tua pula yaitu masjid Huntu. Masjid yang terletak di pusat kota Gorontalo ini, tepatnya di kelurahan Siendeng merupakan salah satu rumah ibadah tertua di Gorontalo. umurnya sekitar 300 tahun. Di masjid ini terdapat sebuah sumur dan beduk yang usianya sama dengan umur masjid tersebut.
Huntu Sultan Amai ini adalah Masjid ini yang didirikan pada tahun 899 H bertepatan 1495 M. Dibalik tiang-tiangnya yang kokoh Masjid ini memiliki kisah sejarah yang unik dan menarik untuk diketahui. Menurut H. Syamsuri Kaluku, mengungkapkan bebarapa sejarah Masjid Sultan Amai yang menjadi tempat pusat awal perkembangan agama Islam. (Susanti, Tribun Manado)
Islam masuk di Gorontalo semenjak 1300-an M. Sebelum Masjid tersebut berdiri, wilayah yang kini telah menjadi krelurahan Biawu, kecamatan kota Selatan, kota Gorontalo oleh raja Amai seorang pemimpin muda, dan masih lajang. Raja dan pengikutnya saat itu menganut kepercayaan animisme. Sang Raja kemudian jatuh cinta pada putri Raja, Putri Boki Antungo yang merupakan putri Raja Palasa, gadis cantik asal Moutong Sulawesi Tengah. Berniat hendak meminang sang putri, Raja Amai kemudian mendatangi langsung sang Raja Palasa ayahanda sang putri. Ungkapan ingin meminang pun disampaikan langsung dan Raja Palasa menerima baik niat Raja Amai.
Raja Palasa yang ketika itu merupakan pengikut agama Islam yang sangat taat, kemudian mengajukan satu syarat kepada Raja Amai. Jika disepakati maka Raja Palasa merestui anaknya dinikahi Raja Amai. Satu syarat yang diajukan yaitu Raja Amai harus masuk Islam dengan bukti Raja Amai harus mendirikan Masjid.
Permintaan Raja Palasa kemudian disetujui oleh Raja Amai. Pembangunan Masjid pun dilakukan di Gorontalo. Masjid tersebut kemudian diberi nama Huntu Sultan Amai. Huntu singkatan dari Ilohuntungo berarti basis atau pusat perkumpulan agama Islam ketika itu.
Sebelum menikah Raja Amai mengumpulkan seluruh rakyatnya. Raja Amai dengan terang-terangan mendeklarasikan diri telah memeluk agama Islam secara sah dan kemudian memintah seluruh pengikutnya untuk melakukan pesta meriah. Pada pesta tersebut Raja Amai meminta kepada rakyatnya untuk menyembeli babi disertai dengan pelaksanaan sumpah adat. Di halaman masjid digelar pesta dan sumpah adat dengan hidangan babi, darah babi kemudian dijadikan symbol sumpah adat yang diteteskan dibagian kepala (jidat) dengan isi sumpah “hari tersebut merupakan hari terakhir rakyatnya memakan babi.”
Usai proses sumpah adat, Raja Amai kemudian meminta rakyatnya untuk masuk Islam dengan membaca dua kalimat Syahadat. Pernikahan Raja Amai dan putri Boki Antungo pun dilakukan di Moutong dan Masjid Huntu Sultan Amai menjadi hadiah pernikahan Raja Amai kepada istrinya.
Syekh Syarif Abdul Aziz ahli agama Islam dari Arab Saudi didatangkan langsung oleh Raja Amai untuk menyebarluaskan agama Islam di Gorontalo. Dan sampai saat ini masih terbukti sebagian besar masyarakat Gorontalo menganut kepercayaan agama Islam atas upaya dari Raja Amai.
Saat ini bentuk dan ukuran masjid Huntu Sultan Amai telah dipugar dan diperbesar tanpa menghilangkan keasliannya. Diantaranya mimbar yang biasa digunakan untuk berkhotbah dan tiang-tiang masjid yang masih kokoh berdiri serta ornament-ornamen beraksen kaligrafi Arab.
Adapula bedug yang terbuat dari kulit kambing yang sudah mulai menipis dengan kondisi telah dihiasi lubang-lubang kecil tetapi masih digunakan hingga saat ini. Posisnya terletak dibagian dalam, tepatnya di sudut kanan depan masjid. Semuanya asli dan telah berumur lebih dari 600 tahun.
Peninggalan asli lainnya adalah sumur tua hingga kini masih digunakan oleh jemaah dan masyarakat sekitar. Posisinya terletak di samping kiri masjid, berdekatan dengan tempat wudhu. Sumur tua tersebut terbuat dari kapur dan putih telur Maleo dengan diameter ± 1 M dan ketinggian 7 M. Kondisi cuaca Gorontalo yang sering dilanda musim panas berkepanjangan tidak mempengaruhi kondisi airnya yang terus melimpah dan jernih. Masyarakat setempat pun meyakini air sumur tua Masjid Huntu Sultan Amai keramat dan sering digunakan untuk mengobati berbagai panyakit.
Luas keaslian masjid 144 M² tapi sekarang sudah lebih besar. Ukuran aslinya itu merupakan wilayah pusatnya dan masih tetap asli sampai sekarang. Dilakukan perbaikan dikarenakan sudah rusak dan di percantik kembali tanpa menghinlangkan keasliannya. Area masjid yang telah diperbesar diantaranya di bagian depan dan sebelah kanan Masjid yang dijadikan ruang shalat wanita. Serta ada penambahan bangunan yang hingga kini dalam proses pembangunan di lantai dua. Tepat di Mihrab berbatasan dengan tempat posisi imam berdiri merupakan makam Sultan Amai.

Sumber: Bambang Budi Utomo, 2011. Atlas Sejarah Indonesia Masa Islam. Jakarta:                                         Direktorat Geografi Sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar