Rabu, 17 September 2014

Awal Pertama _Di SMP NEGERI 5 GORONTALO




Tepatnya senin, 11 Agustus 2014. Seluruh peserta mahasiswa PPL 2 (Program Pengalaman Lapangan) akan melakukan pelepasan secara serentak di depan gedung BAAKPSI UNG, dan menuju ke lokasi sekolah masing-masing yang sudah di tetapkan oleh LP3 UNG. 
Hari itu, hati dan fikiranku benar-benar berkecamuk. Sebenarnya aku tidak memiliki keinginan untuk menjadi guru, tapi studi yang tengah aku tempuh sekarang menuntut aku untuk melakukan tugas sebagai guru, maklum aku ngambil S1 jurusan Pendidikan Sejarah. Mau nggak mau harus mau, yahh. . saat itu aku benar-benar ingin memutar waktu agar lebih cepat berganti bulan dan tugas PPL akan terlewatkan sekejap mata.

Pukul 08.30 wita, aku dan teman-temanku yang se lokasi PPL menginjakkan kaki di pintu Gerbang sekolah yang sekarang ini tempatku dan teman-teman bertugas, SMP Negeri 5 Gorontalo, Pimpinan Bapak Drs. H. Rii Adam, dan yang menjadi guru pamong kami adalah ibu Misna Paloa S,Pd.

Ada beberapa hal yang membuat teman-temanku  khawatir, yaitu menghadapi siswa-siswa yang nakal. Sempat terlintas juga di fikiranku tentang hal itu, tapi aku tidak terlalu khawatir jika harus berhadapan dengan siswa-siswa nakal seperti mereka. Yang menjadi buah fikiranku adalah maukah siswa-siswi di sekolah ini menerima kehadiran kami?? Terlebih aku, masih banyak hal yang kurang dari aku, yang nggak pantas untuk menjadi sosok yang di gugu dan di tiruh, sebagaimana asal kata “Guru”.  Yupzz.. hanya ada satu alasan yang menguatkan hatiku untuk tetap melakukan tugas ini, Guru adalah tugas suci untuk memanusiakan manusia, mengajarkan satu hal yang baik dan menjadi contoh yang baik pula untuk mereka, hanya itu modalku.

Dalam perkembangan biologis anak, usia SMP merupakan usia transisi dari anak-anak menuju remaja, yang selalu identik dengan masa-masa “puberitas”. Siswa akan senang dan semangat bila yang ngajar itu guru Cewek yang cantik, sedangkan Siswi mereka senang dan semangat jika yang ngajar guru Cowok yang Ganteng.

Jujur, aku tidak memiliki skill di bidang itu. Tampang pas-pasan, dompet nggak berisi. Itulah mengapa aku khawatir siswa-siswa tidak mau menerima kehadiranku di sekolah ini, banyak hal negative yang muncul di otakku, “mungkinkah saat aku ngajar nanti, malah akan berakhir dengan teriakan ejekan dan hinaan, atau mereka akan berbisik-bisik tentangku, atau mereka diam-diam membicarakan aku dari belakang?”. Itulah yang menjadi fikiran-fikiranku, banyak banget atau-nya. 

Aku berdiri di depan siswa-siswaku hanya bermodalkan “Otak” dan “Hati” (Ilmu dan Kasih sayang). No face, No Money. Aku tidak memiliki tampang menarik dan aku bukan orang berduit, aku hanya memiliki sedikit ilmu untuk di transfer kepada siswa dan kasih sayang untuk membuat mereka nyaman.

Tiba saat pembagian jadwal dan kelas, aku ditugaskan untuk ngajar di kelas VIII D, sebagaimana yang di kenal di sekolah itu, kelas VIII D merupakan kelas kumpulan siswa-siswa nakal dan nggak bisa di atur. Sekali lagi, bukan itu yang aku khawatirkan. Pertanyaannya sekarang, maukah mereka menerima kehadiranku sebagai guru mereka?
Dengan sedikit rasa deg-degan akan penolakan yang selalu menghiasi fikiranku, aku menguatkan hatiku untuk melangkah masuk kelas VIII D, tepatnya Rabu, 13 agustus, jam 09.00 wita. SENYUM, hal pertama yang aku berikan kepada mereka, kemudian kenalan, sekaligus melakukan PDKT sama mereka. Diluar dugaanku, mereka begitu antusias dengan kehadiranku di kelas itu, itu artinya mereka menerima kehadiranku. Bahagia luar biasa dahsyat. Mereka yang terkenal nakalnya, sangat mudah aku hafal nama dan wajahnya.

Aku ingin sekali mengurangi kenakalan mereka itu, terutama siswa bernama Rizki Djalil. Aku melihat sikap mereka itu, dengan penilaian yang positif, di benakku mereka nggak nakal kok… hanya saja mereka butuh pendekatan yang lebih mengenah hati mereka, cara menegur bukan dengan kemarahan ataupun kekerasan.

Pernah suatu hari, mereka emang heboh banget, ribut bukan main, bermain-main di kelas, kejar-kejaran, bahkan keluar masuk kelas sesuka hati mereka, padahal aku sudah berdiri di depan kelas mereka. Hari itu aku benar-benar merasakan kenakalan yang begitu luar biasa. Sembari berfikir bagaimana caranya membuat mereka tenang dan duduk, aku berdiri dengan gaya terpaku dan diam, menyoroti mereka yang berlalu-lalang kesana kemari satu per satu dengan tatapan tajam, yang mengisyaratkan untuk menyuruh mereka diam dan duduk. Siswa perempuan sudah tenang dan duduk, siswa laki-laki mulai duduk di tempat mereka, yang bicara perlahan diam, yang kejar-kejaran berhenti dan duduk.

Melihat semua udah tenang, aku narik nafas, dan sekali lagi menatap mereka satu per satu terutama yang ribut tadi, mereka menunduk. Aku mengucapkan salam, dan mempersilahkan ketua kelas untuk memimpin doa sebelum belajar, sebagai pembuka untuk pembelajaran hari itu. Lalu aku mengatakan pada mereka “ade-adeku, tadi sewaktu kesekolah orang tua ngasih uang jajan?” serentak mereka mengatakan “iyaaa” dan ada yang sebagian ngejawab “tidaaak”, entah benar atau tidak. Lalu aku kembali bertanya “ada nggak pesan dari orang tua sebelum berangkat ke sekolah?”, “apa pesan orang tua?”, mereka dengan keroyokan ngejawab macam-macam pesan, satu hal yang aku tanggap adalah “pesan orang tua hati-hati di jalan dan belajar yang baik” dan “jangan bermain ketika di sekolah, perhatikan guru menjelaskan agar supaya naik kelas”.

Lalu aku bertanya kembali, “apa yang barusan kalian lakukan? Begitukah cara belajar yang baik? Begitukah ciri siswa yang akan naik kelas? Dan apakah sikap itu yang diajarkan oleh orang tua kalian bila di sekolah?.” “tidaaak,” jawab mereka serentak.
kalian bangga ya, kelas kalian dapat julukan kumpulan siswa yang tidak bisa di atur, kumpulan siswa nakal”, “tidaak bu…” jawab mereka lagi secara bersamaan.
“kalian bohong. Kalau memang kalian tidak mau di juluki seperti itu, kenapa kalian tidak bisa merubah kebiasaan kalian ribut di kelas ketika ada guru dan terlebih ketika tidak ada guru?”

Semua diam, suasana hening…

ade-adeku, meski baru beberapa kali msuk di kelas kalian, dan keberadaan ibu baru beberapa hari di sekolah ini, tapi jujur ketika pertama bertemu kalian kasih sayang itu dengan sendirinya hadir, ibu tidak ingin kalian terus-terusan di juluki seperti itu, ibu benci ketika ada guru yang menjuluki kelas kalian seperti itu, karena ibu tahu kalian ini pelajar, siswa, masa julukannya tak lebih seperti orang-orang yang nggak berpendidikan.”

Suasana masih tetap diam, ada yang menunduk, ada yang menatapku dengan lugu dan polos. Rasa sayang itupun semakin bertambah di hatiku. Aku semakin sayang pada mereka.

“satu hal yang harus kalian ingat, ubah julukan itu. Dari cacian jadi pujian. Buktikan kelas VIII D merupakan kelas kumpulan orang-orang disiplin, cerdas, dan sopan.”

“iyaa bu…” jawab mereka dengan penuh semangat.

Sejak saat itu, perlahan sikap-sikap yang tadinya sangat berlebihan menjadi berkurang, namanya juga anak-anak, mereka sering tidak sadar dengan janji dan ucapan-ucapan mereka, sehingga sering melanggarnya.(to be continue)........


Aku (almamater) dan siswa VIII D.

 


Aktivitas Belajar Kelas VIII D SMPN 5 Gorontalo (Penerapan K-13)


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar