Awal Pertama _Di SMP NEGERI 5 GORONTALO
Tepatnya senin, 11 Agustus 2014. Seluruh peserta mahasiswa PPL
2 (Program Pengalaman Lapangan) akan melakukan pelepasan secara serentak di
depan gedung BAAKPSI UNG, dan menuju ke lokasi sekolah masing-masing yang sudah
di tetapkan oleh LP3 UNG.
Hari itu, hati dan fikiranku benar-benar berkecamuk.
Sebenarnya aku tidak memiliki keinginan untuk menjadi guru, tapi studi yang
tengah aku tempuh sekarang menuntut aku untuk melakukan tugas sebagai guru,
maklum aku ngambil S1 jurusan Pendidikan Sejarah. Mau nggak mau harus mau,
yahh. . saat itu aku benar-benar ingin memutar waktu agar lebih cepat berganti
bulan dan tugas PPL akan terlewatkan sekejap mata.
Pukul 08.30 wita, aku dan teman-temanku yang se lokasi PPL menginjakkan
kaki di pintu Gerbang sekolah yang sekarang ini tempatku dan teman-teman bertugas,
SMP Negeri 5 Gorontalo, Pimpinan Bapak Drs. H. Rii Adam, dan yang menjadi guru
pamong kami adalah ibu Misna Paloa S,Pd.
Ada beberapa hal yang membuat teman-temanku khawatir, yaitu menghadapi siswa-siswa yang
nakal. Sempat terlintas juga di fikiranku tentang hal itu, tapi aku tidak
terlalu khawatir jika harus berhadapan dengan siswa-siswa nakal seperti mereka.
Yang menjadi buah fikiranku adalah maukah siswa-siswi di sekolah ini menerima
kehadiran kami?? Terlebih aku, masih banyak hal yang kurang dari aku, yang
nggak pantas untuk menjadi sosok yang di gugu dan di tiruh, sebagaimana asal
kata “Guru”. Yupzz.. hanya ada satu
alasan yang menguatkan hatiku untuk tetap melakukan tugas ini, Guru adalah
tugas suci untuk memanusiakan manusia, mengajarkan satu hal yang baik dan
menjadi contoh yang baik pula untuk mereka, hanya itu modalku.
Dalam perkembangan biologis anak, usia SMP merupakan usia
transisi dari anak-anak menuju remaja, yang selalu identik dengan masa-masa
“puberitas”. Siswa akan senang dan semangat bila yang ngajar itu guru Cewek
yang cantik, sedangkan Siswi mereka senang dan semangat jika yang ngajar guru Cowok
yang Ganteng.
Jujur, aku tidak memiliki skill di bidang itu. Tampang pas-pasan, dompet nggak berisi. Itulah mengapa aku khawatir
siswa-siswa tidak mau menerima kehadiranku di sekolah ini, banyak hal negative
yang muncul di otakku, “mungkinkah saat aku ngajar nanti, malah akan berakhir
dengan teriakan ejekan dan hinaan, atau mereka akan berbisik-bisik tentangku,
atau mereka diam-diam membicarakan aku dari belakang?”. Itulah yang menjadi
fikiran-fikiranku, banyak banget atau-nya.
Aku berdiri di depan siswa-siswaku hanya bermodalkan “Otak”
dan “Hati” (Ilmu dan Kasih sayang). No face, No Money. Aku tidak
memiliki tampang menarik dan aku bukan orang berduit, aku hanya memiliki
sedikit ilmu untuk di transfer kepada siswa dan kasih sayang untuk membuat
mereka nyaman.
Tiba saat pembagian jadwal dan kelas, aku ditugaskan untuk
ngajar di kelas VIII D, sebagaimana yang di kenal di sekolah itu, kelas VIII D
merupakan kelas kumpulan siswa-siswa nakal dan nggak bisa di atur. Sekali lagi,
bukan itu yang aku khawatirkan. Pertanyaannya sekarang, maukah mereka menerima
kehadiranku sebagai guru mereka?
Dengan sedikit rasa deg-degan akan penolakan yang selalu
menghiasi fikiranku, aku menguatkan hatiku untuk melangkah masuk kelas VIII D,
tepatnya Rabu, 13 agustus, jam 09.00 wita. SENYUM, hal pertama yang aku berikan
kepada mereka, kemudian kenalan, sekaligus melakukan PDKT sama mereka. Diluar
dugaanku, mereka begitu antusias dengan kehadiranku di kelas itu, itu artinya
mereka menerima kehadiranku. Bahagia luar biasa dahsyat. Mereka yang terkenal
nakalnya, sangat mudah aku hafal nama dan wajahnya.
Aku ingin sekali mengurangi kenakalan mereka itu, terutama
siswa bernama Rizki Djalil. Aku melihat sikap mereka itu, dengan penilaian yang
positif, di benakku mereka nggak nakal kok… hanya saja mereka butuh pendekatan
yang lebih mengenah hati mereka, cara menegur bukan dengan kemarahan ataupun
kekerasan.
Pernah suatu hari, mereka emang heboh banget, ribut bukan
main, bermain-main di kelas, kejar-kejaran, bahkan keluar masuk kelas sesuka
hati mereka, padahal aku sudah berdiri di depan kelas mereka. Hari itu aku
benar-benar merasakan kenakalan yang begitu luar biasa. Sembari berfikir
bagaimana caranya membuat mereka tenang dan duduk, aku berdiri dengan gaya
terpaku dan diam, menyoroti mereka yang berlalu-lalang kesana kemari satu per
satu dengan tatapan tajam, yang mengisyaratkan untuk menyuruh mereka diam dan
duduk. Siswa perempuan sudah tenang dan duduk, siswa laki-laki mulai duduk di
tempat mereka, yang bicara perlahan diam, yang kejar-kejaran berhenti dan
duduk.
Melihat semua udah tenang, aku narik nafas, dan sekali lagi
menatap mereka satu per satu terutama yang ribut tadi, mereka menunduk. Aku
mengucapkan salam, dan mempersilahkan ketua kelas untuk memimpin doa sebelum
belajar, sebagai pembuka untuk pembelajaran hari itu. Lalu aku mengatakan pada
mereka “ade-adeku, tadi sewaktu kesekolah orang tua ngasih uang jajan?”
serentak mereka mengatakan “iyaaa” dan ada yang sebagian ngejawab “tidaaak”,
entah benar atau tidak. Lalu aku kembali bertanya “ada nggak pesan dari
orang tua sebelum berangkat ke sekolah?”, “apa pesan orang tua?”,
mereka dengan keroyokan ngejawab macam-macam pesan, satu hal yang aku tanggap
adalah “pesan orang tua hati-hati di jalan dan belajar yang baik” dan “jangan
bermain ketika di sekolah, perhatikan guru menjelaskan agar supaya naik kelas”.
Lalu aku bertanya kembali, “apa yang barusan kalian
lakukan? Begitukah cara belajar yang baik? Begitukah ciri siswa yang akan naik
kelas? Dan apakah sikap itu yang diajarkan oleh orang tua kalian bila di
sekolah?.” “tidaaak,” jawab mereka serentak.
“kalian bangga ya, kelas kalian dapat julukan kumpulan
siswa yang tidak bisa di atur, kumpulan siswa nakal”, “tidaak bu…” jawab
mereka lagi secara bersamaan.
“kalian bohong. Kalau memang kalian tidak mau di juluki
seperti itu, kenapa kalian tidak bisa merubah kebiasaan kalian ribut di kelas
ketika ada guru dan terlebih ketika tidak ada guru?”
Semua diam, suasana hening…
“ade-adeku, meski baru beberapa kali msuk di kelas kalian,
dan keberadaan ibu baru beberapa hari di sekolah ini, tapi jujur ketika pertama
bertemu kalian kasih sayang itu dengan sendirinya hadir, ibu tidak ingin kalian
terus-terusan di juluki seperti itu, ibu benci ketika ada guru yang menjuluki kelas
kalian seperti itu, karena ibu tahu kalian ini pelajar, siswa, masa julukannya
tak lebih seperti orang-orang yang nggak berpendidikan.”
Suasana masih tetap diam, ada yang menunduk, ada yang
menatapku dengan lugu dan polos. Rasa sayang itupun semakin bertambah di
hatiku. Aku semakin sayang pada mereka.
“satu hal yang harus kalian ingat, ubah julukan itu. Dari
cacian jadi pujian. Buktikan kelas VIII D merupakan kelas kumpulan orang-orang
disiplin, cerdas, dan sopan.”
“iyaa bu…” jawab mereka dengan penuh semangat.
Sejak saat itu, perlahan sikap-sikap yang tadinya sangat
berlebihan menjadi berkurang, namanya juga anak-anak, mereka sering tidak sadar
dengan janji dan ucapan-ucapan mereka, sehingga sering melanggarnya.(to be continue)........
Aku (almamater) dan siswa VIII D.
Aktivitas Belajar Kelas VIII D SMPN 5 Gorontalo (Penerapan K-13)
Komentar
Posting Komentar