Minggu, 08 Januari 2012

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK- Perkembangan Nilai, Moral, Dan Sikap Remaja


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akhir-akhir ini, remaja menjadi fenomenal untuk dikaji dan diteliti oleh banyak kalangan khususnya dalam persoalan moral dan prilakunya, ada perbedaan moral dan sikap yang dimiliki oleh remaja pada masa sekarang dengan remaja pada masa dahulu, inilah yang menjadikan alasan kenapa remaja menjadi obyek yang fenomenal untuk diteliti dan dikaji. Remaja pada masa dahulu lebih mengedepankan moral dan sikapnya dibandingkan dengan ego (nafsu), sehingga muncul dalam pola tindaknya kesopanan dalam bergaul, menghormati orang yang lebih tua, memiliki tutur kata yang lembut dan lain sebagainnya. Tetapi sebaliknya, remaja pada masa sekarang lebih mengedepankan egonya dari pada nilai moral dan sikap, sehingga yang muncul adalah sikap mau menang sendiri, tidak mau disalahkan meskipun dalam keadaan yang bersalah dan tidak mau menghormati orang lain.
Terjadinya perbedaan pola sikap dan pola tindak remaja masa sekarang dengan remaja masa dahulu tidak terlepas dari pengaruh globalisasi. Ronald Robertson, mengatakan dalam Globalization, Social Theory and Global Culture, bahwa globalisasi merupakan karakteristik hubungan antara penduduku bumi ini yang melampau batas-batas konvensional, seperti bangsa dan negara. Dalam proses tersebut negara telah dimamfaatkan dan terjadi intensifikasi kesadaran terhadap dunia sebagai kesatua utuh. Dengan ini tidak ada lagi pembatas yang bisa dijadikan batas oleh suatu negara dengan begitu maka akan terjadi akulturasi (pencampuran kebudayaan) antara budaya Barat dengan budaya Indonesia yang memiliki perbedaan secara fundamintal. Barat lebih kepada paham liberalisme (kebebasan), mereka menjunjung tinggi kebebasan, termasuk kebebasan dalam mengekspresikan hidup, sedangkan Indonesia lebih berpegangteguh kepada nilai-nilai atau norma-norma agama, yang diyakini sebagai pengangan hidup. Fatalnya adalah remaja-remaja kita pada masa sekarang tidak dapat memfilter (menyaring) budaya-budaya Barat yang dapat merusak kehidupannya, semua budaya Barat kita adopsi sebagai suatu nilai atau norma dalam menjalankan kehidupan.
Sealain itu, Globalisasi biasanya ditandai oleh tiga hal, pertama, perkembangan informasi dan telekomunikasi; kedua, perkembangan teknbologi; ketiga, liberalisasi. Perkembangan telekomonikasi dan informasi yang seharusnya mempermudah kita untuk dapat menjangkau dunia lebih dekat dan dengan cepat meperoleh informasi, malah menjadi bumerang bagi remaja kita, mereka lebih mendapatkan informasi-informasi yang negatif yang dapat merusak kehidupannya. Perkembangan teknolog yang katanya dapat mempermudah kita malah menjadi megia imitasi (peniruan) dan edukasi (pendidikan) yang tidak baik.
Menjadi tugas kita semua untuk memperbaiki pola sikap dan pola tindak remaja kita, maka kajian tentang “perkembangan nilai moral dan sikap pada masa remaja” menjadi hal yang sangat penting, sebagai langkah awal untuk menciptakan suatu perubahan pada remaja, dengan cara memberi wawasan tentang perkembangan nilai moral dan sikap pada masa remaja. Dengan begitu yang akan kita kaji adalah, Bagaimana perkembangan nilai moral dan sikap pada masa remaja? Dan bagaimana remaja dapat melaksanakan tahapan-tahapan perkembangan nilai moral dan sikap tersebut?
1.2 Rumusan Permasalahan
Bertolak dari latar belakang pemikiran diatas, maka kami dapat menyimpulkan beberapa hal yang menjadi permasalahan kami dalam makalah ini, yaitu :
a)      Bagaimana perkembangan nilai moral dan sikap pada masa remaja?
b)      Dan bagaimana remaja dapat melaksanakan tahapan-tahapan perkembangan nilai moral dan sikap tersebut?
1.3 Tujuan Penyusunan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan kami dalam hal perkembangan peserta didik, khususnya mengenai perkembangan nilai, moral, dan sikap remaja. Hal ini sangat penting khususnya bagi calon pendidik yang nantinya akan terjun ke dalam dunia pendidikan guna memahami berbagai permasalahan yang berkaitan dengan peserta didik.

BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum membahas tentang perkembangan nilai moral dan sikap pada masa remaja, ada dua istilah yang sangat penting untuk kita ketahui, pertama, “pertumbuhan dan kedua “perkembangan”. Ada beberapa pendapat yang berbeda untuk memberi arti dua istilah tersebut, Maka hal ini perlu kita bahas untuk menghindari penafsiran yang berbeda tentang kedua istilah tersebut.
Prof. Dr. Sunarto, dalam bukunya Perkembangan Peserta Didik, membedakan kedua istilah tersebut, beliau mengatakan bahwa pertumbuhan selalu berkaitan dengan perubahan kuantitatif yang menyangkut peningkatan ukuran dan struktur biologis. Maka beliu menjelaskan bahwa pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak yang sehat, dalam perjalanan waktu tertentu. Sedangkan mengenai perkembangan Prof. Dr. Sunarto mengutip pendapatnya Bijou dan Baer (1961) yang mengemukakan bahwa perkembangan adalah perubahan progresif yang menunjukkan cara organisme bertingkah laku dan berintraksi dengan lingkungan. Interaksi yang dimaksud di sini adalah apakah suatu jawaban tingkah laku akan diperlihatkan atau tidak, tergantung dari perangsang-perangsang yang ada dilingkugannya. Jadi pertumbuhan adalah peningkatan fisik dalam keadaan tertentu, sedangkan perkembangan lebih kepada pola sikap dan pola tindak.
Tetapi dalam makalah ini kami tidak akan membedakan antara pertumbuhan dan pengembangan, tetapi kami akan menggabungkan kedua istilah tersebut baik pertumbuhan ataupun perkembangan pada masa remaja. Pertumbuhan secarafisik dan perkembangan secara sikap dan prilaku pada masa remaja akan kami satukan dalam makalah ini.
2.1 Perkembangan Nilai Moral dan Sikap
Menurut Danel Susanto, pertumbuhan ataupun perkembangan pada masa remaja biasanya ditandai oleh beberapa perubahan-perubahan, seperti dibawah ini:
1. Perubahan fisik
Pada masa remaja terjadi pertumbuhan fisik yang cepat dan proses kematangan seksual. Beberapa kelenjar yang mengatur fungsi seksualitas pada masa ini telah mulai matang dan berfungsi. Disamping itu tanda-tanda seksualitas sekunder juga mulai nampak pada diri remaja.
2. Perubahan intelek
Menurut perkembangan kognitif yang dibuat oleh Jean Piaget, seorang remaja telah beralih dari masa konkrit-operasional ke masa formal-operasional. Pada masa konkrit-operasional, seseorang mampu berpikir sistematis terhadap hal-hal atau obyek-obyek yang bersifat konkrit, sedang pada masa formal operasional ia sudah mampu berpikir se-cara sistematis terhadap hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotetis. Pada masa remaja, seseorang juga sudah dapat berpikir secara kritis.
3. Perubahan emosi
Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi labil. Menurut aliran tradisionil yang dipelopori oleh G. Stanley Hall, perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada kelenjar-kelenjar hor-monal. Namun penelitian-penelitian ilmiah selanjutnya menolak pendapat ini. Sebagai contoh, Elizabeth B. Hurlock menyatakan bahwa pengaruh lingkungan sosial terhadap per-ubahan emosi pada masa remaja lebih besar artinya bila dibandingkan dengan pengaruh hormonal.
4. Perubahan sosial
Pada masa remaja, seseorang memasuki status sosial yang baru. Ia dianggap bukan lagi anak-anak. Karena pada masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat cepat sehingga menyerupai orang dewasa, maka seorang remaja juga sering diharapkan bersikap dan bertingkahlaku seperti orang dewasa. Pada masa remaja, seseorang cenderung untuk meng-gabungkan diri dalam ‘kelompok teman sebaya’. Kelompok so-sial yang baru ini merupakan tempat yang aman bagi remaja. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan mereka juga sangat kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh keluarga. Menu-rut Y. Singgih D. Gunarsa & Singgih D. Gunarsa, kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkahlaku dan melakukan hubungan sosial. Namun kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi “overacting’ dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak.
5. Perubahan moral
Pada masa remaja terjadi perubahan kontrol tingkahlaku moral: dari luar menjadi dari dalam. Pada masa ini terjadi juga perubahan dari konsep moral khusus menjadi prinsip moral umum pada remaja. Karena itu pada masa ini seorang remaja sudah dapat diharapkan untuk mempunyai nilai-nilai moral yang dapat melandasi tingkahlaku moralnya. Walaupun demikian, pada masa remaja, seseorang juga mengalami kegoyahan tingkah laku moral. Hal ini dapat dikatakan wajar, sejauh kegoyahan ini tidak terlalu                                                                                                                            
Khusus mengenai perubahan nilai moral dan sikap pada masa remaja ada tiga tahap, hal ini dari hasil penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh Kohlberg, yang disebut dengan teori perkembangan kognitif, sebagai berikut:
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1.      Orientasi kepatuhan dan hukuman
2.      Orientasi minat pribadi
Tingkat 2 (Konvensional)
1.      Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas ( Sikap anak baik)
2.      Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial ( Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
  1. Orientasi kontrak sosial
  2. Prinsip etika universal ( Principled conscience)
a.      Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
b.      Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; ‘mereka bermaksud baik…’.
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu – sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
c.       Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut – ‘memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak’? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant). Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls). Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.

2.2 Melakukan Tahapan-tahapan Dengan Baik
Setelah kita mengetahui dari uraian di atas tentang tahapan-tahapan perkembangan nilai moral dan sikap, maka sangatlah penting pendidikan moral untuk suksesnya remaja melakukan tahapan-tahapan nilai moral tersebut. Pendidikan tersebut dapat dilakukan di rumah tangga, sekolah, dan masyarakat.

1. Pendidikan moral dalam rumah tangga
  1. pertama-tama yang harus diperhatikan adalah penyelamatan hubungan ibu-bapak, sehingga pergaulan dan kehidupan mereka dapat menjadi contoh bagi anak-anaknya.
  2. Pendidikan moral yang paling baik, terdapat dalam agama, karena nilai moral yang dapat dipatuhi dengan sukarela, tanpa ada paksaan dari luar, hanya dari kesadaran sendiri, datangya dari keyakinan sendiri.
  3. Orang tua harus memperhatikan pendidikan moral serta tingkah laku anak-anaknya.
  4. Pendidikan dan perlakuan orang tua terhadap anaknya hendaknya menjamin segala kebutuhannya, baik fisik ataupun psikis ataupun sosial.
2. Pendidikan moral dalam sekolah
  1. Hendaknya dapat diusahakan supaya sekolah menjadi lapangan yang baik bagi penumbuhan dan pengembangan mental dan moral anak didik.
  2. Pendidikan agama, haruslah dilakukan secara intensif
  3. Hendaknya segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran (baik guru, pegawai , buku, peraturan dan alat-alat) dapat membawa anak didik kepada pembinaan mental yang sehat.
3. Pendidikan moral dalam masyarakat
  1. sebelum menghadapai pendidikan anak, maka masyarakat yang telah rusak moralnya diperbaiki terlebih dahulu.
  2. Mengusahakan supayamasyarakat, termasuk pemimpin dan penguasanya menyadari betapa pentingnya masalah pendidikan moral anak.
  3. Supaya segala mas media , terutama siaan radio dan TV., memperhatikan setiap macam uraian, petunjukan, kesenian dan ungkapa tidak boleh bertentangan dengan agama.



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar