Bingkai hitam penuh arti, terletak
begitu saja diatas tempat tidur empuk di sebuah kamar Hotel Jakarta, bukan
gambar yang ada disana, melainkan tulisan yang membuat siapa saja bangga bila
memilikinya. Ya, Sebuah piagam penghargaan. Beberapa pakaian tercecer di
atas sofa, tirai gorden berwarna putih gading, terbuka lebar menciptakan landscape
keramaian ibu kota di bawah sana, cahaya kerlap-kerlip lampu kota menambah
keindahannya, yang sedikit memberi bias cahaya berbeda di balik jendela kaca
kamar lantai 7 tanpa lampu itu. Entah apalah, yang pasti hanya cahaya Tv yang
menerangi kegelapan di dalam sana, berkolaborasi dengan suara samar-samar Tv
yang turut memecah kesunyian malam.
Perlahan Rein menatap piala dan
piagam penghargaan yang berhasil diraihnya itu dengan lekat penuh haru, namanya
terukir indah disana, sebagai Juara 2 tingkat nasional. Membuat Ia teringat kala pertama melihat info lombah di
mading kampus.
Semua berawal dari rasa kejenuhan
menanti datangnya Dosen, yang saat itu harus menandatangani sebuah proposal
gagasan tertulis mahasiswa, membuat para mahasiswa Sejarah Universitas Negeri
Gorontalo harus menunggu hingga dua jam. Pak Hamim namanya, seorang direktur
PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) UNG, yang selalu sibuk dengan jadwal rapat
baik di kampus maupun luar kampus. Rein, si mahasiswa “bodoh”, kata
teman-temannya. Mulai bosan dengan suasana ini,
Rein pun beralih pada satu objek yang mungkin dapat menghapus
kejenuhannya. Dia mendekati sebuah madding, Bibirnya mengembang membentuk
senyum, matanya sedikit membesar menyiratkan kebahagiaan. Ada sesuatu yang ia
temukan disana.
“hei,, kalian semua lihat
nih ada info lombah karya tulis loh…” seru Rein kepada teman-temannya, yang
sedang bercanda ria seakan melupakan kejenuhan mereka menunggu Pak Hamim.
Sebagian menoleh kearahnya, namun
tak mendekatinya. Sepertinya mereka tidak tertarik dengan hal-hal seperti itu,
kecuali satu orang saja, Fita namanya. Fita bergegas menuju madding, seperti
orang yang mendengar pengumuman kelulusan ujian. Rein berdiri tepat di depan
madding, dan masih tersenyum. Fita datang tanpa menatap wajah Rein, apalagi
membalas senyumnya, dan langsung mendorong Rein yang sedang berdiri di depan mading,
yang terkesan seperti mengatakan, “minggir lu, tahu apa lu tentang karya
tulis”. Dengan seketika senyuman indah di bibir Rein hilang, cara Fita
mendorongnya itu benar-benar menyakitinya, bukan sakit fisik namun sakit secara
batin. Tatapan tak percaya namun penuh kesabaran, terus Ia sorotkan ke arah
Fita, yang sibuk membaca persyaratan dan ketentuan lombah. Penghinaan yang
secara tidak langsung, benar-benar menyakitkan hati Rein, hampir-hampir Ia
menitikkan air mata.
“hmm, boleh nggak ya posternya dicopot?” kata Fita pelan, namun
terdengar oleh Rein.
Mimik wajah Rein mulai menggambarkan
kekhawatiran, ia melihat tangan Fita yang mulai mencoba membuka poster lombah,
sepertinya sangat susah mencopotnya. Perlahan Rein mendekatinya dan mencari
alamat website yang tertera pada poster, agar supaya meskipun Fita mencopotnya,
Ia masih bisa mengaksesnya lewat internet.
“Fit, apaan sih kamu? Kok gitu, jangan dicopot dong, siapa tahu
masih ada orang lain yang pengen baca info itu. Jangan diambil sendiri!” kata
Revan, yang ternyata juga mendengar ucapan Fita tadi.
“hm, nggak kok. Aku Cuma mau baca doang.” Kata Fita yang terlihat
salah tingkah karena perbuatannya tertangkap basah oleh Revan, ketua tingkat
mereka.
Rein pun pergi meninggalkan mereka
berdua, karena saat itu pak Hamim telah selesai rapat. Beberapa mahasiswa
termasuk Rein, mulai membentuk barisan antrian untuk meminta tanda tangan, — bak
antrian sederet fans bertemu idolanya.
Setelah mendapatkan tanda tangan,
Rein kembali merenungi kejadian tadi, Fita memang berbakat dalam menulis,
karena ia selalu menjadi delegasi kampus dalam mengikuti lombah nasional. Rein
pun selalu bertekat untuk berusaha menjadi pemenang dalam karya tulis. Apalagi
saat semester IV ia pernah mengikuti lombah karya tulis ilmiah mahasiswa
se-Fakultas Ilmu Sosial, dan menjadi pemenang, juara II berhasil diraihnya.
Kali ini ia ingin melaju ke tingkat Nasional, bersaing dengan mahasiswa dari
Universitas ternama di Indonesia.
Rein tidak bermaksud untuk menyaingi
siapa-siapa, atau balas dendam. Dia hanya ingin membuktikan kepada
teman-temannya bahwa ia juga bisa seperti Fita, dia tidak sebodoh yang dikira
oleh teman-temannya, sifat pendiamnya sering diartikan oleh mereka sebagai
tanda bahwa Rein tidak tahu apa-apa, alias bodoh. Bahkan tak jarang Fita dan
yang lainnya meremehkannya, Rein ingin membuktikan kepada Fita bahwa dia juga
bisa, tak hanya sekedar menjadi utusan Nasional, tapi jadi pemenang Nasional.
Disetiap sujud dan doanya teriring ucapan permohonan untuk menjadi seorang
pemenang.
***
Udara masih terbilang
sejuk pada pukul 09.00 di lingkungan kampus, pepohonan yang rindang diam-diam
menggugurkan dedaunan kering karena sapaan angin pagi, membuat halaman kampus
yang bersih dari sampah terwarnai oleh hadirnya daun-daun yang gugur.
Rein sedang mengakses info lombah
dibawah pohon rindang taman belajar Fakultas, untuk memastikan pengumuman
lombah, karena sudah hampir dua minggu ia mengirimkan naskahnya ke panitia
Lombah Adicipta Mediatama, namun belum ada kabar. Lagi-lagi sosok itu hadir
disekitarya, meski tak duduk disamping namun sudah cukup mengusik ketenangan
konsentrasinya. Sosok pria yang dikaguminya, namun bukan berarti ia terobsesi
untuk memilikinya. Ia sadar masih ada syariat yang harus iya taati. Jatuh cinta
memang fitra yang tidak mungkin Ia hindari, fisik pria bertubuh tinggi dan berperawakkan
tampan itu sanggup menghipnotis setiap wanita yang melihatnya. Bukan itu yang
menjadi kekaguman Rein, mungkin itu hanya pelengkap saja, namun satu yang
membuat Rein mengagumi pria ini, Pria ini adalah mahasiswa paling pintar se-Jurusan
Hukum atau mungkin se-Fakultas Ilmu Sosial, tidak ada orang yang tidak
mengenalnya, seorang Debaters Nasional dan Debaters Ulung yang selalu membawa
kemenangan.
“wooy… ngapain kamu
disini? Sendirian, terpaku seperti patung gitu, entar kalau fikiran kamu kosong
ponggo-ponggo
dipohon ini bakal turun dan memakan jantung kamu.” Kata Vira yang datang
langsung mengagetkan Rein.
“hiiiss, apaan sih datang-datang nyampe. Fikiran aku jadi
buyar. Bukannya datang ngucapin salam, malah bawah-bawah kepercayaan
tradisional, dasar nenek-nenek kamu.” Ucap Rein ketus.
“ehmm, aku rasa fikiran kamu buyar bukan karena aku deh, , tuh
pangeran kamu hadir disana” kata Vira sambil mengangkat keningnya dan
melirikkan mata ke arah pangeran yang dimaksud.
Sepertinya Rein tidak menyadari bahwa dari tadi Vira telah melihat
sosok yang sebenarnya telah lebih dulu mengacaukan fikirannya.
“huss, bisa diam nggak sih? Emang kenapa kalau ka Ricky ada
disini, kan tempat ini terbuka untuk semua mahasiswa.” Kata Rein yang terlihat
salah tingkah namun tetap mengelak dari tuduhan Vira.
“ok deh. Aku tuh kesini mau ngundang kamu ke rumah aku, biasalah..
ada acara keluarga.” Kata Vira
“kapan acaranya? Dan jam berapa?” tanya Rein, sambil menyimpan
browsingan yang diaksesnya sejak tadi.
“besok pagi. Tapi, aku mau minta tolong nih ke kamu? Boleh nggak?”
“tolong apa dulu? Jawaban iya atau nggak itu belakangan.” Kata Rein
setelah menutup laptopnya.
“temani aku ke pasar sabtu. Aku disuruh mama buat beli bahan yang
mau di pakai saat acara nanti.” Jawab Vira dengan wajah memelas.
“Ok. Hhmm, siapa aja yang kamu undang ke rumah kamu besok?”
“wahh, trimaksih banyak yaa Reinaaa…” ucap Vira sambil memeluk
Rein, “untuk tamu pagi hari Cuma kamu aja, tapi tamu malam hari aku ngundang
sekelas. Karena acara besok itu dirangkaikan dengan resepsi mome’ati adik
aku. Nah, resepsinya malam.”
“gitu yaa.. ya udah, kita pergi sekarang aja. Mumpung matahari
belum terlalu panas..”
Kedua sahabat itupun pergi
meninggalkan taman belajar. Tapi tiba-tiba ada yang memanggil Rein, yang
membuat langkah kaki keduanya terhenti. Perlahan Rein menoleh ke belakang
mencari sumber suara yang memanggilnya. Ternyata sumber suara itu dari kumpulan
mahasiswa Hukum yang sedang berdiskusi di dekatnya tadi, dan disitu hadir sosok
pria yang dikaguminya, Ricky. Meski yang memanggilnya bukan Ricky, tapi
teriakan salah satu teman mereka kepada Rein membuat semua mata tertuju pada
mereka berdua.
“Rein kesini dong, nggak apa-apa.” Kata Intan, yang melihat Rein
dan Vira tetap stay ditempat.
Dengan berat hati, Rein melangkahkan kakinya ke arah mereka sambil
menarik Vira agar ikut dengannya.
“ada apa Tan?” tanya Rein
“kamu kan yang kemarin masuk tiga besar lombah karya tulis ilmiah
di fakultas. Nah, tahun ini kami dari Senat mahasiswa mengadakan tour ke
luar daerah, dan pesertanya itu para pemenang lombah tunggal di fakultas
kemarin. Terkecuali lombah team, itu nggak di ikutkan.” Kata Ricky tanpa
basa-basi, tak peduli pertanyaan itu ditujukan untuknya atau tidak.
“iya ka. Terus kapan agendanya?” tanya Rein sedikit gugup, akibat
debaran jantungnya.
Karena baru kali ini Rein berhadapan
langsung dengan Ricky, terlebih bicara langsung dengannya. Namun, beruntung
iman itu masih ada, sehingga debaran jantung selalu diselingi dengan Istighfar
di dalam hati.
“hari senin nanti kita undang pesertanya untuk rapat, dari Sejarah
tiga orang yang akan berangkat, kamu dari Karya tulis, Lucky dari Vokalia, dan
Ricko dari Renang. Kemungkinan akan berangkat hari kamis, nah hari senin itu
kita akan bicarakan prosedurnya gimana.” Jelas Ricky, “Nanti aku kasih tugas ke
kamu, Rein ya nama kamu? ” tanya Ricky lagi,
“iya ka.”
“Ok, nanti kamu aja yang ajak mereka, bilang aja undangan rapat
dari senat, senin pukul 09.00 pagi di lantai 2, Aula FIS yaa,,”
Setelah pembicaraan itu selesai,
Rein langsung berpamitan kepada mereka semua, Rein dan Vira menuju pintu
gerbang dan mencari Bentor.
***
Keadaan kamar yang berantakan,
beberapa pasang dress tertata di atas tempat tidur empuk milik Fita. Ia bingung
mengenakan baju yang mana untuk menghadiri resepsi, memenuhi undangan Vira
besok malam. Capek memilah-milah baju, ia beralih ke handphone untuk menelpon
pacar barunya.
“hallo cayang, ntar malam kita jalan yuuk.. bete nich malam
mingguan di rumah.” Ucap Fita manja kepada pacarnya.
“hhm, maaf yaa untuk sekarang aku nggak bisa. Aku lagi sibuk
banget.”
“Ka Erik kok gitu terus sih alasannya, lagi-lagi sibuk. Kalau nggak
bisa ntar malam, besok malam harus temani aku ke acara resepsi pembaiatan temanku.
Aku nggak mau tahu, harus mau.”
“ya udah, terserah kamu aja. udah dulu yaa,” tandas Erik, yang
langsung menutup sambungan telepon.
Hal ini benar-benar membuat Fita sakit
hati. Kok dia tega banget sama aku, baru aja seminggu jadian, udah kayak
gini. Bisa-bisa aku mati karena sakit hati. Tadinya aku sangat bangga jadian
sama orang terkenal di kampus, yang punya prestasi akdemik, dan jadi idola cewek-cewek
kampus. Ternyata semuanya beda, dia nggak pernah punya waktu buat aku.
Batin Fita.
Diam-diam Fita mulai bosan dengan
Erik. Seperti kebiasaannya, saat ia mulai bosan dengan seseorang, dia kembali
menghubungi David, orang yang selalu
mendengarkan curhatannya, orang yang paling mengerti tentang dia, dan yang
paling penting David adalah orang yang pernah hadir sebagai kekasihnya dimasa
lalu. Namun, perpisahan dengan Fita tidak membuat David memutuskan komunikasi.
Ia selalu berusaha menjalin komunikasi dengan baik bersama Fita. Saat-saat
seperti inilah David sangat berperan bagi Fita.
Nasehat-nasehat David memang selalu
berhasil membuat Fita kembali tersenyum dan melupakan kegalauan yang
menderahnya. Namun, disisi lain ia merasa kasian sama David, yang selalu sabar
mendengar curhatannya tentang cowok lain. Hanya jadi tempat pelarian saat
sedih, dan menjadi pelampiasan saat kecewa, dilupakan ketika bahagia menyapa,
dan diabaikan ketika dia membutuhkan.
***
Keramaian pasar sabtu
sedikit membuat kesulitan untuk menerobos mencari bahan-bahan yang dibutuhkan. Vira
sibuk mencari jalan masuk yang tidak sempit untuk dilalui, Rein hanya mengekor
kemana Vira pergi. Dia masih belum melupakan kejadian di kampus tadi, degupan
jantungnya masih terasa.
“Rein, cari ide dong gimana caranya kita bisa tembus masuk kedalam
tanpa berdesak-desakan kaya gitu… ” kata Vira yang mulai bosan dengan keadaan
pasar.
“sebenarnya kamu kesini mau beli apa?”
“aku disuruh mama beli humopoto, 7 butir telur ayam kampung,
7 tangkai cengkeh, 7 buah jeruk nipis, 7 buah pala, dan linggoboto” kata
Vira sambil membaca brosur daftar belanja yang dicatatnya disebuah kertas
kecil.
“kok serba tujuh? Terus apa yang dua jenis kamu sebutkan tadi? ”
“entar juga kamu tahu sendri filosofinya kenapa harus tujuh. Dan
dua nama tadi, aku juga nggak tahu, makanya aku catat semuanya, kata mama
orang-orang yang disini pasti udah tahu.”
“sebenarnya ini acara apaan sich? Kelihatannya rumit banget.”
“Besok pagi itu ada perayaan adat molonthale untuk
kakak aku yang lagi hamil 7 bulanan, dan prosesi adat mome’ati untuk
adik aku. ”
“oh, gitu yaa, sekarang aku ngerti kenapa serba tujuh. Ra, kita
lewat bagian belakang aja, disana ada tempat jualan bahan-bahan masak, siapa
tahu bahan yang kamu cari ada disana. yuuk, lewat sini aja, sedikit becek sich,
tapi nggak apa-apa, dari pada kita nunggu sampe nih pasar tutup.” Ajak Rein,
dan langsung menarik tangan Vira menuju jalan pintas yang dimaksudnya.
“cerdas kamu, terus di kampung kamu ada nggak adat yang kayak
gini?”
“di Sulteng (Sulawesi Tengah) orang-orang tuanya nggak muluk-muluk
Ra, jadi aku nggak pernah liat orang tuaku ngadain prosesi adat kayak gini,
kecuali acara sukuran kalau ada yang melahirkan atau punya rumah baru.”
“kalau itu mah semua daerah pasti ada.”
“berarti adat-adat yang ada di Gorontalo unik dong, tidak terdapat
di daerah lain, apalagi adat apa tadi? Artinya-artinya..”
“mome’ati artinya ikrar untuk anak gadis yang sudah baliq,
dan molonthale artinya raba-raba puru”
“tuh kan unik banget, hanya Gorontalo yang ada kayak ginian.”
“sebenarnya Molonthale ini mirip tradisi Jawa, yang
mengadakan syukuran kepada ibu yang hamil tujuh bulan. Tapi, pelaksanaannya
berbeda. Gorontalo cukup rumit dan banyak syaratnya, karena harus menghadirkan
keluarga dari kedua bela pihak suami istri, harus menghadirkan hulango, seperangkat
tempat makanan yang terbuat dari janur kuning, tempurung yang tidak bermata,
dan masih banyak lagi, termasuk bahan yang akan kita beli ini.”
“waw,, budaya Gorontalo keren banget, mulai dari bayi sampai
menikah pun ada prosesi adatnya, bahkan saat haid aja ada tradisi yang harus
dipenuhi. Kayak syariat islam aja, mulai masih di kandungan sampai mengandung
lagi selalu ada syariat yang mengaturnya.”
“itulah mengapa Gorontalo dikenal sebagai kota adat bersendikan
syarah, syarah bersendikan kitabullah. Adat-adat yang ada di Gorontalo
selalu dilatarbelakangi Islam. Contohnya, Mome’ati, pelaksanaannya, Gadis
yang di bai’at akan mengucapkan ikrar kepada imam dengan mengucapkan dua
kalimat syahadat dan berjanji menjaga kehormatannya berdasarkan syariat islam.”
“subhanallah.. aku benar-benar kagum Ra. Aku juga pengen
kayak gitu..”
“Nikah aja sama orang Gorontalo, pasti kamu bakal menemui hal-hal
unik kayak gitu”
Mendengar
kata-kata Vira, mereka saling bertatapan dan tertawa, entah apa yang lucu.
Setelah berjalan sambil bercerita mengenai adat, akhirnya mereka sampai di
tempat penjualan bahan-bahan tradisional. Mereka mulai mencari satu persatu.
“Vira, kita cari lebih dulu bahan yang asing namanya itu, aku
penasaran.”
Lalu mereka mendekati seorang ibu
yang menjual bahan-bahan dapur, seperti pala dan jeruk nipis.
“permisi ibu, disini jualan humopoto dan linggoboto?”
tanya Vira sambil membacakan nama-nama itu di secarcik kertas
“ada No’u….dipakai
untuk adat mome’ati yaa?” tanya ibu itu sambil menyodorkan bahan
yang ditanyakan tadi.
“iya bu, kok tahu?”
“yaa, bahan-bahan ini memang selalu dicari kalau ada acara seperti
ini. No’u butuh berapa banyak?”
“biasanya berapa banyak bu, yang dipakai dalam acara seperti ini?”
“humopoto biasanya 3 siung dan linggoboto 3 siung.
Harganya masing-masing 5000, jadi semuanya 10.000” kata si ibu.
“ya udah aku ambil ya bu” kata Vira sambil memberikan uang
10.000-an.
Rein memperhatikan bahan-bahan yang diberikan oleh ibu tersebut,
“bu, itu bukannya kencur sama lengkuas?” tanya Rein
“iya No’u, dalam bahasa Gorontalo begitu. Kalau dalam bahasa
Indonesia humopoto itu kencur dan
linggoboto itu lengkuas”
“ooowww, gitu.” Kata Rein dan Vira hampir bersamaan.
“Ra, masa kamu nggak tahu sih? Kamu kan orang Gorontalo”
“iya, tapi aku itu gede di Jawa, sama nenek aku. Wong asli
Gorontalo mamaku, bapakku asli Jawa”
***
Tepat pukul 07.00 pagi, di
rumah Vira sudah ramai dengan orang-orang yang berdatangan, adik Vira mulai
menjalankan prosesi molungudu yang
terakhir, dan dilanjutkan dengan prosesi momonto dan
momuhuto.
Semua prosesi telah berlangsung hingga prosesi terakhir mohatamu.
Kemudian dilanjutkan dengan prosesi Molonthale, terlihat kakak Vira
dan suaminya berjalan memasuki ruangan prosesi adat, sang hulango telah
duduk lebih dulu di ruangan tersebut. Ibu hamil kemudian diberi tanda pada
dahi, leher bagian bawah tenggorokan, bahu, lekukan tangan, kaki, dan lutut,
sebagai tanda ibu tersebut akan meninggalkan sifat mazmunah (tercelah) dan
akan mendidik anaknya dengan baik. Lalu ibu tersebut dibaringkan dengan posisi
kepalanya ke timur dan kaki ke barat, dan lututnya dilipat keatas. Rein begitu
serius memperhatikan prosesi satu demi satu.
Tak terasa acara yang
ditunggu-tunggu para muda-mudi telah tiba, resepsi pembai’atan. Pukul 20.00
wita, para tamu undangan mulai berdatangan, termasuk teman-teman sekelas Rein
dan Vira. Rein membantu Vira menyambut tamu, saat yang sama Rein harus masuk
kedalam rumah untuk mengambil sesuatu. Saat itulah Fita datang bersama
pacarnya, Erik. Awalnya Vira terkejut dengan kedatangan mereka, Fita yang malam
itu tampil cantik menggandeng mesra lengan Erik, benar-benar sulit dipercaya.
Vira memasang wajah manis dan ramah menyambut kedatangan mereka. —Matoduwolo
“kak Ricky…” ucap Rein dengan refleks, hati Rein benar-benar sesak
menyaksikan adegan didepan matanya. Rasa tak percaya, bahwa kali ini Ia kalah
lagi dengan Fita.
Suara Rein terdengar oleh mereka,
sehingga Vira dan Fita serta Erik yang sekaligus bernama Ricky, menoleh ke
arahnya. Vira tak ingin sahabatnya ketahuan mengagumi Ricky, Vira cepat-cepat
mengalihkan perhatian mereka.
“owh, jadi ini pacar baru kamu Fita, kak Ricky ini aku yang kemarin
ketemu dengan ka Ricky di kampus bersama Rein, sana dia.” Kata Vira menunjuk
Rein, bermaksud untuk menepiskan keadaan yang sebenarnya.
“ow iya. Aku ingat, kebetulan ada hal penting yang mau aku
bicarakan sama dia.” Kata Erik sambil melepaskan gandengan Fita dari lengannya.
Melihat hal itu, api cemburu membara di hati Fita. Vira
mengantarkan Erik menemui Rein yang dari tadi berdiri di dekat pintu rumah
Vira. Setelah sampai dihadapan Rein, Vira langsung meninggalkan mereka berdua,
sekilas Vira melihat wajah Rein, matanya sedikit berkaca.
“Rein, kebetulan kita bertemu disini. Aku mau bicara soal yang
kemarin, sebelumnya aku minta maaf, tadi aku dapat konfirmasi dari Dekan,
katanya peserta karya tulis yang berangkat tour hanya yang meraih juara
satu, dan mahasiswa yang pernah mengikuti karya tulis tingkat nasional, dan
dekan udah milih Fita yang akan berangkat bersama kami. Maaf ya, aku udah
memberi kamu harapan” kata Ricky, dengan wajah bersalah
Diam— begitulah ekspresi Rein. Rasa
sakit hati belum juga usai, Rein sudah mendengarkan kabar buruk lagi yang
begitu mengecewakan. Dan yang menjadi pertanyaan besar adalah, mangapa harus
Fita? Delegasi nasional emang, tapi adakah kemenangan yang diraihnya saat
menjadi delegasi kampus? Tiba-tiba Hp Rein berbunyi, diapun mengangkatnya.
Ternyata telepon dari panitia Adicipta Mediatama. Kurang lebih 2 menit
pembicaraan telepon itu berlangsung. Dan setelah sambungan telepon terputus,
Rein berusaha melapangkan dada merespon pernyataan Ricky sekaligus Erik.
“ya udah ka nggak masalah, kebetulan juga aku dapat telepon dari
Jakarta, besok aku akan berangkat untuk mengikuti persentasi karya tulis.” Kata
Rein dengan semangat, sepertinya ia sudah melupakan kekecewaannya yang gagal
berangkat tour, namun sejujurnya ia masih sakit hati.
“oya, wah hebat… selamat yaa” ucap Ricky dengan senyum khasnya yang
menawan, namun malam ini tidak lagi menawan dimata Rein.
“Terimakasih ka..” jawab Rein.
“apa? Nggak salah dengar? Kok bisa karya tulis kamu yang masuk
nominasi? Padahal kan aku juga ngirim? Pasti panitianya salah nelfon deh, Rein
kamu jangan percaya kata mereka. Bisa jadi, bukan kamu yang mereka maksud, aku
takut kamu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri.” Kata Fita yang ternyata
dari tadi menguping pembicaraan mereka.
Tersirat di wajah Fita rasa kecewa
sekaligus rasa iri. Fita benar-benar tak ingin disaingi, dan tak ingin kalah,
apalagi yang mengalahkannya adalah Rein. Dengan percaya diri ia mengeluarkan
kata-kata itu di depan Rein, yang tentunya menyayat hati. Sedang Erik, sangat
malu dengan sikap Fita yang kekanak-kanakan dan suka meremehkan orang lain.
***
Hawa dingin menusuk tajam
menembus tulang, setelan Ac yang entah berapa celcius itu bagaikan iklim
dimusim salju. Cahaya lampu menerangi seluruh penjuruh ruang Aula Dewan Pers
Jakarta, dekorasi tumbuhan hijau dan berbagai jenis bunga mengelilingi panggung
podium, menambah kesan alami sebuah panorama taman. Dentingan musik pengiring lagu
Indonesia Raya menggemah menggetarkan semangat nasionalis yang lama terlupa,
merdu bersemangat. Sehingga, segala yang didalamnya turut bergetar, membuat
mikrofon perlahan berputar mengarah pada sound system yang menciptakan
kebisingan tajam menusuk pendengaran, suasana semangat yang terganggu, namun
tetap berlanjut.
Seorang gadis cantik, berhijab
dengan setelan dress panjang membalut tubuhnya yang tinggi semampai, turut
hadir disana. Deretan bangku kedua, dia berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya
bersama para Wartawan Indonesia, pejabat, serta pengusaha di negeri Garuda ini.
Wajah yang tenang, tatapan penuh haru, dan gemuru hati yang menggebuh penuh
syukur tersirat indah pada ekspresinya.
Ya Allah, aku bersyukur atas semua ini. Aku yang tak pernah percaya
diri tampil di depan banyak orang, aku yang selalu dianggap bodoh oleh
teman-teman, namun hanya aku yang Kau beri kesempatan untuk hadir disini, untuk
ada di tengah orang-orang penting di Negeri ini.
Pembukaan acara berlangsung, hingga
tiba pada acara paling dituggu-tunggu, pengumuman Lombah Adicipta Mediatama
beserta penyerahan pengharagaan bagi mereka yang menang. Harapan 3 sampai 1
sudah di sebutkan, namun namanya tak kunjung terdengar, juara 3 pun sudah.
Kekhawatiran itu dia tepiskan, dia sadar bahwa hadir disini saja dia sudah
bersyukur, biarlah bila tidak membawa kemenangan.
“juara 2, atas nama Reina Brillin Deswita, delegasi dari
Universitas Negeri Gorontalo, dengan judul karya Strategi Pemasaran Produk
Dalam Negeri Menuju Kancah Internasional dan Global”
Rein tersentak mendengar namanya
disebutkan sebagai pemenang ke dua, sekali lagi dia tidak pernah terfikir akan
berhasil seperti ini. Senyuman mengembang di bibirnya, matanya sedikit
berkaca-kaca, dan tentu saja hatinya penuh kesyukuran dan kebanggaan. Masuk 2
besar dari 18 peserta yang masuk nominasi dalam skala Nasional, mengalahkan
sebagian Universitas-Universitas ternama di Indonesia tentu saja tidak mudah.—Terucap
doa, teriring usaha, tergenggamlah kemengangan.
Setelah menerima penghargaan, atas
perminataan panitia pelaksana Rein mempersembahkan kesenian alat musik polo-palo,
dihadapan para hadirin, sebagai pengenalan tentang alat musik tradisional
Gorontalo. Diambilnya sebuah alat musik terbuat dari bambu Kuning lengkap
dengan pemukulnya yang terbuat dari kayu, dan diletakakan pada bagian lutut
yang sebelumnya telah dilapisi kain tebal. Semua orang menantikan permainannya,
penasaran bagaimana bunyi dari alat musik bambu yang bernama polo-palo
itu. Rein mengangkat pemukulnya mendendangkan bunyi nyaring dari polo-palo.
Dentingan irama mulai berbunyi
nyaring memenuhi ruangan, kemudian menyusul pukulan senada namun dengan ritme
yang cepat, membuat hadirin di ruangan itu berdecak kagum dan memberi tapuk
tangan, irama yang menyamai bunyi piano, dan berkompilasi menciptakan irama
penyemangat bagi yang mendengarkan.
Rein berdiri dan membungkuk mengucapkan
terimaksih kepada hadirin yang menikmati permainan musiknya. Sejenak Rein
menangkap sosok seorang pria tampan yang berdiri di bagian belakang tempat
duduk para hadirin, tersenyum menatapnya penuh kekaguman, dan memberi tepuk
tangan serta jempol yang di ancungkan kepada Rein. Pria itu sudah tak asing
lagi bagi Rein, karena dia adalah salah seorang panitia dari Adicipta
Mediatama, sekaligus orang kepercayaan dari perusahaan Semen Indonesia, yang
menjadi sponsor lombah tersebut. Dialah orang yang menjemput Rein dari bandara
Soekarno-Hatta, dan mencarikan hotel untuk Rein. Mas Agung, begitulah
cara Rein memanggilnya. Seusai acara, Agung langsung mengantarkan Rein ke Hotel.
Sesampai di Hotel, Agung mengajak Rein duduk di loby, sepertinya ada hal
penting yang akan disampaikan oleh Agung. Rein menurut saja.
“kamu benar-benar hebat Rein, selamat yaa atas kemenangannya.” Kata
Agung memulai obrolan.
“terimakasih mas. Aku nggak sehebat yang mas kira, banyak hal yang
nggak bisa aku menangin. Sebenarnya, aku adalah orang yang selalu kalah mas.”
Keluh Rein.
“Iya emang, terkadang Tuhan itu tak selalu memberi yang kita
inginkan. Tapi ingat, Ia akan memberi yang kita butuhkan. Hari ini kamu jadi
pemenang Rein, meski di mata orang lain kamu kalah dalam memenangkan yang kamu
inginkan. Tapi, di mataku kau adalah pemenang sejati dan akan selalu menjadi
pemenang.”
“maksud mas?”
“Tiga hari bersama kamu, sudah cukup untuk mengkategorikan kamu
sebagai pemenang. Aku berharap, Tuhan mengirimkan aku sebagai orang yang kamu
butuhkan, meski bukan yang kamu inginkan. Hari ini kamu tak hanya jadi pemenang
Adicipta Mediatama, tapi juga pemenang Hati aku.” Kata Agung penuh kejujuran
dengan menatap mata Rein, tanpa memegang tangan Rein,
Karena sejak awal ketemu, Rein dan
Agung berjabatan tangan tanpa terjadi persentuhan antara keduanya. Diam-diam kesan
pertama saat pertemuan itu telah tertancap indah di hati Agung. Rein merupakan
gadis yang berbeda yang pernah ditemuinya. Rein tak sanggup berkata-kata,
gemuru jantung mulai berdebar kencang, adrenalin darahnya seperti terhenti,
hingga membuat jemari tangannya dingin dan kaku. Dia tak sanggup menatap Agung.
Bukan karena ia merasakan hal yang sama,
tapi dia sangat tidak nyaman dengan kondisi
seperti ini. Jujur dari hati, Rein
tak sanggup menolak perasaan Agung yang disuguhkan padanya, karena tidak
ingin menyakiti atau menyinggung Agung, apalagi
Agung adalah orang paling berjasah kepada Rein, selama Rein di Jakarta.
Rein terpaku mendengarnya. Kata-kata
yang sulit dipercaya, namun begitu nyata terjadi di depan mata. Rein bingung,
apa yang harus di jawabnya, kebingungan tersirat jelas di wajahnya yang
menunduk sejak tadi. Setelah diam beberapa saat, akhirnya Rein dapat
mengumpulkan kekuatannya kembali untuk menjawab kata-kata Agung.
“terimakasih atas kejujuran mas Agung kepada saya. Terimakasih juga
atas kebaikkan mas Agung selama saya disini. Saya benar-benar tidak mengirah
kejujuran mas Agung akan sejauh ini. Saya
pun berdoa untuk mas Agung, semoga suatu hari nanti Allah akan mengirimkan sosok pendamping yang benar-benar
dibutuhkan oleh mas Agung, bukan sekedar yang mas Agung inginkan. Saya bukannya
menolak dan menyatakan bahwa mas Agung bukanlah yang saya butuhkan, tapi karena
memang saya tidak ingin mas Agung sakit hati gara-gara hanya satu pihak saja
yang merasakan perasaan itu.”
Jawaban yang jelas-jelas bermakna menolak namun disampaikan dengan bijaksana oleh Rein
“Alunan musikmu masih berdenting indah ditelingaku. Tersimpan irama
cinta, yang mengisyaratkan sebuah rasa. Warisan dari Serambi Madinah untuk
orang-orang Serambi Madinah. Aku ingin jadi satu diantara mereka, apa daya aku
tidak dapat mewarisi iramanya dan pemilik bidadarinya.” Ucap Agung, berusaha menepiskan
kekecewaan mendalam yang baru saja tertancap indah mengenai tapat di denyut hatinya.
Sakit.
Apa daya, semuanya sudah di seting oleh sang pengatur scenario terbaik.
SEKIAN