Senin, 21 Desember 2015

My Day is Mother Day (Don’t Plagiarism!!)

(sumber: google.com / just ilustration)
(Foto kecil-ku)

Tertanggal 21 Desember 1992 aku lahir menghirup udara bumi, satu tanda bahwa aku telah siap menjalankan atas segala amanah yang Allah berikan, untuk menjadi insan penebar manfaat di muka bumi (Rahmatan lil alamin) dan saling mengingatkan (kebaikan) bagi sesama hamba Tuhan. Peristiwa 23 tahun yang lalu, dimana mama memperjuangkan hidupku dan siap menyambut mati demi aku. Si putri sulung yang diberi nama Rezki Desmita, yang berarti rezeki atau karunia dibulan Desember. Kelahiranku disambut bahagia oleh keluarga besar dari pihak mama dan papa, bahkan tetangga. Mereka sangat antusias melihat dua bayi kembar yang amat lucu, terlebih papa. Beliau semakin semangat mencari nafkah meski hanya berprofesi sebagai Petani. Yupz, aku lahir bersama kembaranku yang diberi nama Dendi Setyawan (alm), namun rupanya aku yang lebih kuat dari dia dalam menjalani aral terjal di bumi yang fana ini, meski dia laki-laki. Dia mendahuluiku menemui sang pencipta diusianya yang ke-5 bulan. Aku yakin, dia telah bahagia dalam dekapan ridho-Nya dan sedang tersenyum di jannah-Nya. Aku cemburu padanya. Lahir dan pergi tanpa sempat menitikkan tinta hitam dilembar amalnya. Masih putih dan suci, semoga dapat menjadi syafaat bagi mama dan papa di akherat nanti. . Aamiin. 



(sumber: google.com)
 Hari ini 21 Desember 2015, artinya 23 tahun sudah aku berhasil melewati aral terjal episode kehidupan, tentunya dengan berbagai warna yang telah aku tebarkan disetiap langka, hanya ada dua dasar warna, hitam dan putih. Yang paling aku takutkan, ketika hitam mendominasi menyebabkan putih terbatasi. Sungguh merugilah aku sebagai insan Rahmatan lil alamin (Na’udzubillah). Bermuhasabah serta tawadhu menjadi dua rumus dalam menjalani kehidupan ini. Itulah yang aku lakukan. 

(koleksi pribadi)
Seperti biasa, ketika hari kelahiran tiba pasti orang-orang terdekat, keluarga, sahabat, dan teman-teman ramai membari ucapan serta doa untukku. Ada satu hal yang mengganjal dan selalu saja terulang, bahkan mungkin telah mendarah-daging disetiap generasi, yakni ucapan “panjang umur”, padahal hakikatnya sebuah hari lahir itu pertanda usia kita semakin matang, namun umur kita semakin berkurang, bahkan tanpa menunggu hari kelahiran tersebut tiba, disetiap detik, hembusan nafas, denyutan nadi, detak jantung, merupakan satu kesatuan hitungan mundur atas umur kita.

Waktu kita akan habis, seiring putaran bumi dan dentingan jarum jam. Harapan dan doa terbaik untukku adalah keberkahan usia yang telah aku lalu, agar tak sekedar deretan angka-angka yang menunjukkan seberapa banyak jumlah angka yang sudahberhasil kita lewati. Kalau aku, mulai dari angka 0-23, saat ini. Sudah lumayan banyak, namun sudah berapa banyak hal berguna aku lakukan dibalik angka-angka tersebut? Sudah berapa kali aku mengukir senyum bangga di wajah tua mama dan papa? Seberapa seringnya aku membuat senyum mereka musnah atas sifat egois dan durhakaku? Baik aku sadari atau tidak. Pernahkah aku mengorbankan waktu tidur malamku untuk menjaga mereka ketika sakit, sebagaimana mereka menjagaku sewaktu sakit? Mama yang tak sedikitpun kepalanya menyentuh bantal ketika mendengar tangisan sakitku hingga pagi menjelang. Papa yang tak tenang, mondar-mandir kamar-ruang tamu-dapur karena khawatir anaknya yang sedang sakit. Belum juga matahari menyingsing, papa pergi ke kebun di pagi yang buta untuk sekedar mencari hasil kebun yang bisa di petik, lalu dijual untuk membeli obatku. Mama yang tidak tidur semalam suntuk, tetap semangat menyiapkan sarapan untuk keluarga di hari itu. Doa mereka selalu terucap, hingga mampu menembus kehendak-Nya dalam ijabah doa. Aku sembuh, satu kebahagiaan yang tak terkira bagi keduanya adalah kesehatan anak-anaknya.

Satu hal yang selalu terlupa olehku, ucapan terima kasih atas itu semua. Mama dan papa tak pernah minta apalagi menuntut agar aku mengucapkan satu kata ajaib itu. Kasih sayang mereka tetap mengalir.
Di usia yang telah menginjak angka 23 tahun ini, aku telah berhasil menamatkan pendidikan jenjang S1. Jadi, miladku tahun ini sudah sebagai sarjana. Semua tidak lepas dari peran mama papa, meski aku melalui itu semua gratis karena beasiswa S1 yang aku peroleh berkat prestasi yang berhasil ku ukir selama di bangku SMA. Aku telah menyandang gelar akademik dan gelar seorang ‘Guru’ atas karir yang aku jalani saat ini. Sehingga, banyak siswa-siswaku ikut memberi doa dan harapan-harapan terbaik. Doa-doa dari para sahabat pun mengalir lewat lisan yang terukir dalam kiriman sms, kronologi akun facebook, serta inbox. 
Satu doa yang sebenarnya aku harapkan dapat mereka ucapkan, dan tak satu pun diantara sahabat, teman-teman, atau siswa-siswa mengucapkannya. Hanya mama dan keluarga saja yang mengucapkan itu, “Semoga cepat dapat jodoh”, ku berharap doa indah itu di amin-kan oleh Malaikat, seraya aku tersenyum dan mengaminkannya dalam hati. Aku tahu, dua hal yang membanggakan bagi orang tua adalah ketika mereka berdiri mendampingi anaknya untuk menerima penghargaan atau prestasi akademik dan ketika mereka berdiri mendampingi anaknya dihari pernikahan. Aku pun sangat paham sekarang, bahwa yang membuat seorang wanita menjadi sempurna adalah ketika dia meraih dua gelar, “istri dan ibu”. Namun, aku sadar bahwa aku wanita. Memiliki fitrah yang berbeda dengan laki-laki, karena hakekat seorang wanita adalah “menunggu untuk dipilih”. Dan aku sekarang masuk dalam tahap itu, menunggu. Adakah yang akan memilihku? Siapakah dia? Kapan waktu itu tiba? Semua itu rahasia, aku yakin, sebagaimana malam yang memiliki bintang, begitu pula aku, yang memiliki dia. Saat ini langit malamku berkabut sehingga bintang itu tak terlihat. Rahasia Lauhmahfudz. Wallah hu alam. 


Sebagai seorang kakak dari dua bersaudara, pastilah ingin memberikan teladan yang baik untuk adik semata wayangnya. Aku ingin hal itu. Sangat bersyukur, Allah memberikan kemudahan bagi aku untuk berjilbab dan berhijab tanpa mengada-ngada alasan demi menolak syariat yang di firmankan Allah dalam kitab suci Al-Quran atas kewajiban sebagai seorang muslimah. Yang paling aku syukuri adikku dan mama pun sekarang berhijab rapi. Alhamdulillah. . Semoga istiqomah dan berkumpul dalam dekapan ridha-Nya. Aamiin ya rabbal alamin.

Sehingga, aku ingin fokus pada itu semua, terlebih adikku yang kini masih berjuang di bangku perguruan tinggi menyelesaikan studi, tak sedikit biaya yang dibutuhkan, mengharap orang tua, rasanya aku sudah tak tahu malu lagi bila demikian. Aku sudah bekerja, meski penghasilan minim, namun inilah saatnya aku berperan untuk membantu meringankan beban kedua orang tuaku, dengan cara membantu mereka membiayai kuliah adikku, serta sedikitnya memenuhi kebutuhan sendiri tanpa meminta-minta pada ortu. Selalu terkenang, betapa mama dan papa selalu bersemangat untuk membangun rumah nyaman, lagi-lagi tertunda karena biaya pendidikan kami selalu menjadi prioritas utama. Pada akhirnya, harus kuat atas bisik-bisik tetangga tentang rumah kami yang reot. Kata mama, asal masih bisa ditempati ketika hujan turun, terlindung dari panas, dan dapat tidur ketika malam tiba. Kata papa, asal kita masih bisa makan tanpa mengemis, tidak mencuri ketika kekurangan, dan tetap sekolah walau pas-pasan.

Papa dan mama sangat yakin, bahwa dengan sekolah dan mamiliki ilmu pasti cahaya perubahan itu akan segera terlihat menyilaukan mata. Tidak untuk membanggakan diri apalagi ajang pamer dikalangan masyarakat, namun papa dan mama hanya ingin aku dan adikku bisa lebih baik dari mereka, lebih tahu, dan juga kelak bisa berguna di tengah masyarakat. Bukan menjadi seonggok yang terbuang dan terinjak layaknya sampah masyarakat karena kebodohan dan kelumpuhan kreatifitas. Aku mulai memahami betapa keras konsekuensi atas pilihan yang telah ku pilih. Ya, seperti kata orang bijak, hidup itu pilihan. Sehingga, harus siap atas segala konsekuennya. 12 tahun mengarungi bangku pendidikan sekolah, nasehat yang selalu terdengar dari lisan sang guru adalah bila ingin mendaki sebuah puncak, harus siap tergelincir, harus mampu meski harus merayap bahkan merangkak sekalipun, percayalah pasti puncak itu akan kita pijakki. 


Itulah kesimpulan dari segala cerita, nasehat, serta pesan guru-guruku semasa sekolah. Hanya siswa yang paham dan mau berubah yang bisa melakukannya. Aku telah membuktikan itu semua. Aku pun selalu ingat nasehat mama dan papa, baik-baik dalam bergaul agar kehormatan tetap terjaga, belajar dan jangan merasa pintar sehingga kesuksesan akan terpancar, selalu berdoa karena doa adalah pintu, tiang, serta nafas disegala sisi kehidupan.

Untuk kedua orang tuaku serta guru-guruku, kalian adalah pahlawan dalam metamorphosis hidupku. Untuk Mama, perjuanganmu terlalu special dalam melahirkanku sehingga ketika hari lahirku (tanggal 21 Desember), layaklah bagimu bila keesokannya (22 Desember) dinyatakan sebagai hari Ibu, dan diikuti oleh seluruh Indonesia dalam mengenangnya. Itulah sejarah hari ibu versi-ku. Sebagai satu-satunya sosok pahlawan yang mampu meneruskan peradaban dunia dengan kerunia Allah Swt (Rahim/ kasih sayang).
Selamat Hari Ibu untuk Mama Tercinta. . Mmmuaachh. . :*
(Moutong, 22- Desember- 2015. Pkl: 02.26 Wita)