Kamis, 27 November 2014

KKS.... Oh.... KKS



kenangan di 54 hari
REZKI DESMITA
SPECIAL PRESENT TO ALL MY FRIENDS  (KKS TALSEL-2014)

hari pertama selalu ada celoteh “kapan ya akan berakhir?”
jalani hari ke hari, bersama wajah-wajah baru. .
wajah-wajah yang akan dilihat ketika membuka mata di pagi hari,
wajah-wajah yang akan memberi warna baru.
wajah-wajah yang mungkin akan menghadirkan masalah
memenuhi coretan kenangan dalam cerita hidup,
wajah-wajah yang mungkin akan  memberi cinta
menambah daftar orang-orang tercinta dalam putaran  kisah
yang pernah kita lalui.

kian hari terlewati,
jangan salah. .  mulailah ada rasa hadir disini,
rasa cinta, peduli, kompak,
yang memicu tersebarnya virus si “merah jambu”
manusiawi, bila ada yang saling jatuh cinta.
30 hari terlewati sudah.
###

suatu hari, entah kenapa masalah itu turut hadir dalam tawa,
memuramkan suasana yang tercipta indah.
wajah-wajah baru, ingin segera melenggangkan langkah
saling menjauh satu sama lain,
24 hari yang tersisa terasa 24 tahun lagi.
menunggu bukan lagi hal yang ingin dijalani,
ada apa? semuanya berubah, semua ingin pergi, semua ingin berpisah,
dan bahkan tak ingin bertemu lagi.

hingga suatu ketika, masalah telah jenuh mengusik.
tekat dan kekompakan kembali bersemi,
10 hari terakhir, mulailah terasa kekeluargaan ini
akan segera berakhir dengan putaran sang waktu,
terseliplah kesadaran itu, kita akan berpisah.
disibukkan kembali dengan rutinitas harian.

wajah menyebalkan,
wajah menyenangkan,
wajah datar,
tak akan terlihat lagi di tiga waktu dalam sehari,
pagi, siang, malam. kita akan sendiri lagi.

tak ada suara yang menyapa, sudakah kamu makan hari ini?
kita masak yukk,
atau, aku sakit hari ini, tak ingin makan.
m a k s u d n y a . . .

segelintir orang-orang yang saling peduli itu, akan berpisah.
hari terakhir celoteh kembali hadir “kenapa setiap pertemuan selalu diiringi perpisahan?”
begitulah hukum kehidupan ini, awalnya biasa.
 setelah dijalani barulah terasa luar biasa.
akankah rasa kebersamaan diantara kita tetap terjalin??





Selasa, 25 November 2014

IRAMA CINTA DARI SERAMBI MADINAH (genre: Romance-Culture) by_ Rezki Desmita (DON'T BE COPAST/PLAGIARSM)



Bingkai hitam penuh arti, terletak begitu saja diatas tempat tidur empuk di sebuah kamar Hotel Jakarta, bukan gambar yang ada disana, melainkan tulisan yang membuat siapa saja bangga bila memilikinya. Ya, Sebuah piagam penghargaan. Beberapa pakaian tercecer di atas sofa, tirai gorden berwarna putih gading, terbuka lebar menciptakan landscape keramaian ibu kota di bawah sana, cahaya kerlap-kerlip lampu kota menambah keindahannya, yang sedikit memberi bias cahaya berbeda di balik jendela kaca kamar lantai 7 tanpa lampu itu. Entah apalah, yang pasti hanya cahaya Tv yang menerangi kegelapan di dalam sana, berkolaborasi dengan suara samar-samar Tv yang turut memecah kesunyian malam.
Perlahan Rein menatap piala dan piagam penghargaan yang berhasil diraihnya itu dengan lekat penuh haru, namanya terukir indah disana, sebagai Juara 2 tingkat nasional. Membuat Ia  teringat kala pertama melihat info lombah di mading kampus.
Semua berawal dari rasa kejenuhan menanti datangnya Dosen, yang saat itu harus menandatangani sebuah proposal gagasan tertulis mahasiswa, membuat para mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Gorontalo harus menunggu hingga dua jam. Pak Hamim namanya, seorang direktur PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) UNG, yang selalu sibuk dengan jadwal rapat baik di kampus maupun luar kampus. Rein, si mahasiswa “bodoh”, kata teman-temannya. Mulai bosan dengan suasana ini,  Rein pun beralih pada satu objek yang mungkin dapat menghapus kejenuhannya. Dia mendekati sebuah madding, Bibirnya mengembang membentuk senyum, matanya sedikit membesar menyiratkan kebahagiaan. Ada sesuatu yang ia temukan disana.
 “hei,, kalian semua lihat nih ada info lombah karya tulis loh…” seru Rein kepada teman-temannya, yang sedang bercanda ria seakan melupakan kejenuhan mereka menunggu Pak Hamim.
Sebagian menoleh kearahnya, namun tak mendekatinya. Sepertinya mereka tidak tertarik dengan hal-hal seperti itu, kecuali satu orang saja, Fita namanya. Fita bergegas menuju madding, seperti orang yang mendengar pengumuman kelulusan ujian. Rein berdiri tepat di depan madding, dan masih tersenyum. Fita datang tanpa menatap wajah Rein, apalagi membalas senyumnya, dan langsung mendorong Rein yang sedang berdiri di depan mading, yang terkesan seperti mengatakan, “minggir lu, tahu apa lu tentang karya tulis”. Dengan seketika senyuman indah di bibir Rein hilang, cara Fita mendorongnya itu benar-benar menyakitinya, bukan sakit fisik namun sakit secara batin. Tatapan tak percaya namun penuh kesabaran, terus Ia sorotkan ke arah Fita, yang sibuk membaca persyaratan dan ketentuan lombah. Penghinaan yang secara tidak langsung, benar-benar menyakitkan hati Rein, hampir-hampir Ia menitikkan air mata.
“hmm, boleh nggak ya posternya dicopot?” kata Fita pelan, namun terdengar oleh Rein.
Mimik wajah Rein mulai menggambarkan kekhawatiran, ia melihat tangan Fita yang mulai mencoba membuka poster lombah, sepertinya sangat susah mencopotnya. Perlahan Rein mendekatinya dan mencari alamat website yang tertera pada poster, agar supaya meskipun Fita mencopotnya, Ia masih bisa mengaksesnya lewat internet.
“Fit, apaan sih kamu? Kok gitu, jangan dicopot dong, siapa tahu masih ada orang lain yang pengen baca info itu. Jangan diambil sendiri!” kata Revan, yang ternyata juga mendengar ucapan Fita tadi.
“hm, nggak kok. Aku Cuma mau baca doang.” Kata Fita yang terlihat salah tingkah karena perbuatannya tertangkap basah oleh Revan, ketua tingkat mereka.
Rein pun pergi meninggalkan mereka berdua, karena saat itu pak Hamim telah selesai rapat. Beberapa mahasiswa termasuk Rein, mulai membentuk barisan antrian untuk meminta tanda tangan, — bak antrian sederet fans bertemu idolanya.
Setelah mendapatkan tanda tangan, Rein kembali merenungi kejadian tadi, Fita memang berbakat dalam menulis, karena ia selalu menjadi delegasi kampus dalam mengikuti lombah nasional. Rein pun selalu bertekat untuk berusaha menjadi pemenang dalam karya tulis. Apalagi saat semester IV ia pernah mengikuti lombah karya tulis ilmiah mahasiswa se-Fakultas Ilmu Sosial, dan menjadi pemenang, juara II berhasil diraihnya. Kali ini ia ingin melaju ke tingkat Nasional, bersaing dengan mahasiswa dari Universitas ternama di Indonesia.
Rein tidak bermaksud untuk menyaingi siapa-siapa, atau balas dendam. Dia hanya ingin membuktikan kepada teman-temannya bahwa ia juga bisa seperti Fita, dia tidak sebodoh yang dikira oleh teman-temannya, sifat pendiamnya sering diartikan oleh mereka sebagai tanda bahwa Rein tidak tahu apa-apa, alias bodoh. Bahkan tak jarang Fita dan yang lainnya meremehkannya, Rein ingin membuktikan kepada Fita bahwa dia juga bisa, tak hanya sekedar menjadi utusan Nasional, tapi jadi pemenang Nasional. Disetiap sujud dan doanya teriring ucapan permohonan untuk menjadi seorang pemenang.
                                                                        ***
            Udara masih terbilang sejuk pada pukul 09.00 di lingkungan kampus, pepohonan yang rindang diam-diam menggugurkan dedaunan kering karena sapaan angin pagi, membuat halaman kampus yang bersih dari sampah terwarnai oleh hadirnya daun-daun yang gugur.
Rein sedang mengakses info lombah dibawah pohon rindang taman belajar Fakultas, untuk memastikan pengumuman lombah, karena sudah hampir dua minggu ia mengirimkan naskahnya ke panitia Lombah Adicipta Mediatama, namun belum ada kabar. Lagi-lagi sosok itu hadir disekitarya, meski tak duduk disamping namun sudah cukup mengusik ketenangan konsentrasinya. Sosok pria yang dikaguminya, namun bukan berarti ia terobsesi untuk memilikinya. Ia sadar masih ada syariat yang harus iya taati. Jatuh cinta memang fitra yang tidak mungkin Ia hindari, fisik pria bertubuh tinggi dan berperawakkan tampan itu sanggup menghipnotis setiap wanita yang melihatnya. Bukan itu yang menjadi kekaguman Rein, mungkin itu hanya pelengkap saja, namun satu yang membuat Rein mengagumi pria ini, Pria ini adalah mahasiswa paling pintar se-Jurusan Hukum atau mungkin se-Fakultas Ilmu Sosial, tidak ada orang yang tidak mengenalnya, seorang Debaters Nasional dan Debaters Ulung yang selalu membawa kemenangan.
 wooy… ngapain kamu disini? Sendirian, terpaku seperti patung gitu, entar kalau fikiran kamu kosong ponggo-ponggo[1] dipohon ini bakal turun dan memakan jantung kamu.” Kata Vira yang datang langsung mengagetkan Rein.
hiiiss, apaan sih datang-datang nyampe. Fikiran aku jadi buyar. Bukannya datang ngucapin salam, malah bawah-bawah kepercayaan tradisional, dasar nenek-nenek kamu.” Ucap Rein ketus.
ehmm, aku rasa fikiran kamu buyar bukan karena aku deh, , tuh pangeran kamu hadir disana” kata Vira sambil mengangkat keningnya dan melirikkan mata ke arah pangeran yang dimaksud.
Sepertinya Rein tidak menyadari bahwa dari tadi Vira telah melihat sosok yang sebenarnya telah lebih dulu mengacaukan fikirannya.
huss, bisa diam nggak sih? Emang kenapa kalau ka Ricky ada disini, kan tempat ini terbuka untuk semua mahasiswa.” Kata Rein yang terlihat salah tingkah namun tetap mengelak dari tuduhan Vira.
“ok deh. Aku tuh kesini mau ngundang kamu ke rumah aku, biasalah.. ada acara keluarga.” Kata Vira
“kapan acaranya? Dan jam berapa?” tanya Rein, sambil menyimpan browsingan yang diaksesnya sejak tadi.
“besok pagi. Tapi, aku mau minta tolong nih ke kamu? Boleh nggak?”
“tolong apa dulu? Jawaban iya atau nggak itu belakangan.” Kata Rein setelah menutup laptopnya.
“temani aku ke pasar sabtu. Aku disuruh mama buat beli bahan yang mau di pakai saat acara nanti.” Jawab Vira dengan wajah memelas.
“Ok. Hhmm, siapa aja yang kamu undang ke rumah kamu besok?”
“wahh, trimaksih banyak yaa Reinaaa…” ucap Vira sambil memeluk Rein, “untuk tamu pagi hari Cuma kamu aja, tapi tamu malam hari aku ngundang sekelas. Karena acara besok itu dirangkaikan dengan resepsi mome’ati[2] adik aku. Nah, resepsinya malam.”
“gitu yaa.. ya udah, kita pergi sekarang aja. Mumpung matahari belum terlalu panas..”
Kedua sahabat itupun pergi meninggalkan taman belajar. Tapi tiba-tiba ada yang memanggil Rein, yang membuat langkah kaki keduanya terhenti. Perlahan Rein menoleh ke belakang mencari sumber suara yang memanggilnya. Ternyata sumber suara itu dari kumpulan mahasiswa Hukum yang sedang berdiskusi di dekatnya tadi, dan disitu hadir sosok pria yang dikaguminya, Ricky. Meski yang memanggilnya bukan Ricky, tapi teriakan salah satu teman mereka kepada Rein membuat semua mata tertuju pada mereka berdua.
“Rein kesini dong, nggak apa-apa.” Kata Intan, yang melihat Rein dan Vira tetap stay ditempat.
Dengan berat hati, Rein melangkahkan kakinya ke arah mereka sambil menarik Vira agar ikut dengannya.
“ada apa Tan?” tanya Rein
“kamu kan yang kemarin masuk tiga besar lombah karya tulis ilmiah di fakultas. Nah, tahun ini kami dari Senat mahasiswa mengadakan tour ke luar daerah, dan pesertanya itu para pemenang lombah tunggal di fakultas kemarin. Terkecuali lombah team, itu nggak di ikutkan.” Kata Ricky tanpa basa-basi, tak peduli pertanyaan itu ditujukan untuknya atau tidak.
“iya ka. Terus kapan agendanya?” tanya Rein sedikit gugup, akibat debaran jantungnya.
Karena baru kali ini Rein berhadapan langsung dengan Ricky, terlebih bicara langsung dengannya. Namun, beruntung iman itu masih ada, sehingga debaran jantung selalu diselingi dengan Istighfar di dalam hati.
“hari senin nanti kita undang pesertanya untuk rapat, dari Sejarah tiga orang yang akan berangkat, kamu dari Karya tulis, Lucky dari Vokalia, dan Ricko dari Renang. Kemungkinan akan berangkat hari kamis, nah hari senin itu kita akan bicarakan prosedurnya gimana.” Jelas Ricky, “Nanti aku kasih tugas ke kamu, Rein ya nama kamu? ” tanya Ricky lagi,
“iya ka.”
“Ok, nanti kamu aja yang ajak mereka, bilang aja undangan rapat dari senat, senin pukul 09.00 pagi di lantai 2, Aula FIS yaa,,”
Setelah pembicaraan itu selesai, Rein langsung berpamitan kepada mereka semua, Rein dan Vira menuju pintu gerbang dan mencari Bentor[3].
                                                                        ***
            Keadaan kamar yang berantakan, beberapa pasang dress tertata di atas tempat tidur empuk milik Fita. Ia bingung mengenakan baju yang mana untuk menghadiri resepsi, memenuhi undangan Vira besok malam. Capek memilah-milah baju, ia beralih ke handphone untuk menelpon pacar barunya.
“hallo cayang, ntar malam kita jalan yuuk.. bete nich malam mingguan di rumah.” Ucap Fita manja kepada pacarnya.
“hhm, maaf yaa untuk sekarang aku nggak bisa. Aku lagi sibuk banget.”
“Ka Erik kok gitu terus sih alasannya, lagi-lagi sibuk. Kalau nggak bisa ntar malam, besok malam harus temani aku ke acara resepsi pembaiatan temanku. Aku nggak mau tahu, harus mau.”
“ya udah, terserah kamu aja. udah dulu yaa,” tandas Erik, yang langsung menutup sambungan telepon.
Hal ini benar-benar membuat Fita sakit hati. Kok dia tega banget sama aku, baru aja seminggu jadian, udah kayak gini. Bisa-bisa aku mati karena sakit hati. Tadinya aku sangat bangga jadian sama orang terkenal di kampus, yang punya prestasi akdemik, dan jadi idola cewek-cewek kampus. Ternyata semuanya beda, dia nggak pernah punya waktu buat aku. Batin Fita.
Diam-diam Fita mulai bosan dengan Erik. Seperti kebiasaannya, saat ia mulai bosan dengan seseorang, dia kembali menghubungi David, orang yang  selalu mendengarkan curhatannya, orang yang paling mengerti tentang dia, dan yang paling penting David adalah orang yang pernah hadir sebagai kekasihnya dimasa lalu. Namun, perpisahan dengan Fita tidak membuat David memutuskan komunikasi. Ia selalu berusaha menjalin komunikasi dengan baik bersama Fita. Saat-saat seperti inilah David sangat berperan bagi Fita.
Nasehat-nasehat David memang selalu berhasil membuat Fita kembali tersenyum dan melupakan kegalauan yang menderahnya. Namun, disisi lain ia merasa kasian sama David, yang selalu sabar mendengar curhatannya tentang cowok lain. Hanya jadi tempat pelarian saat sedih, dan menjadi pelampiasan saat kecewa, dilupakan ketika bahagia menyapa, dan diabaikan ketika dia membutuhkan.
                                                                                    ***
            Keramaian pasar sabtu sedikit membuat kesulitan untuk menerobos mencari bahan-bahan yang dibutuhkan. Vira sibuk mencari jalan masuk yang tidak sempit untuk dilalui, Rein hanya mengekor kemana Vira pergi. Dia masih belum melupakan kejadian di kampus tadi, degupan jantungnya masih terasa.
“Rein, cari ide dong gimana caranya kita bisa tembus masuk kedalam tanpa berdesak-desakan kaya gitu… ” kata Vira yang mulai bosan dengan keadaan pasar.
“sebenarnya kamu kesini mau beli apa?”
“aku disuruh mama beli humopoto, 7 butir telur ayam kampung, 7 tangkai cengkeh, 7 buah jeruk nipis, 7 buah pala, dan linggoboto” kata Vira sambil membaca brosur daftar belanja yang dicatatnya disebuah kertas kecil.
“kok serba tujuh? Terus apa yang dua jenis kamu sebutkan tadi? ”
“entar juga kamu tahu sendri filosofinya kenapa harus tujuh. Dan dua nama tadi, aku juga nggak tahu, makanya aku catat semuanya, kata mama orang-orang yang disini pasti udah tahu.”
“sebenarnya ini acara apaan sich? Kelihatannya rumit banget.”
“Besok pagi itu ada perayaan adat molonthale[4] untuk kakak aku yang lagi hamil 7 bulanan, dan prosesi adat mome’ati untuk adik aku. ”
“oh, gitu yaa, sekarang aku ngerti kenapa serba tujuh. Ra, kita lewat bagian belakang aja, disana ada tempat jualan bahan-bahan masak, siapa tahu bahan yang kamu cari ada disana. yuuk, lewat sini aja, sedikit becek sich, tapi nggak apa-apa, dari pada kita nunggu sampe nih pasar tutup.” Ajak Rein, dan langsung menarik tangan Vira menuju jalan pintas yang dimaksudnya.
“cerdas kamu, terus di kampung kamu ada nggak adat yang kayak gini?”
“di Sulteng (Sulawesi Tengah) orang-orang tuanya nggak muluk-muluk Ra, jadi aku nggak pernah liat orang tuaku ngadain prosesi adat kayak gini, kecuali acara sukuran kalau ada yang melahirkan atau punya rumah baru.”
“kalau itu mah semua daerah pasti ada.”
“berarti adat-adat yang ada di Gorontalo unik dong, tidak terdapat di daerah lain, apalagi adat apa tadi? Artinya-artinya..”
mome’ati artinya ikrar untuk anak gadis yang sudah baliq, dan molonthale artinya raba-raba puru”
“tuh kan unik banget, hanya Gorontalo yang ada kayak ginian.”
“sebenarnya Molonthale ini mirip tradisi Jawa, yang mengadakan syukuran kepada ibu yang hamil tujuh bulan. Tapi, pelaksanaannya berbeda. Gorontalo cukup rumit dan banyak syaratnya, karena harus menghadirkan keluarga dari kedua bela pihak suami istri, harus menghadirkan hulango[5], seperangkat tempat makanan yang terbuat dari janur kuning, tempurung yang tidak bermata, dan masih banyak lagi, termasuk bahan yang akan kita beli ini.”
waw,, budaya Gorontalo keren banget, mulai dari bayi sampai menikah pun ada prosesi adatnya, bahkan saat haid aja ada tradisi yang harus dipenuhi. Kayak syariat islam aja, mulai masih di kandungan sampai mengandung lagi selalu ada syariat yang mengaturnya.”
“itulah mengapa Gorontalo dikenal sebagai kota adat bersendikan syarah, syarah bersendikan kitabullah. Adat-adat yang ada di Gorontalo selalu dilatarbelakangi Islam. Contohnya, Mome’ati, pelaksanaannya, Gadis yang di bai’at akan mengucapkan ikrar kepada imam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat dan berjanji menjaga kehormatannya berdasarkan syariat islam.”
subhanallah.. aku benar-benar kagum Ra. Aku juga pengen kayak gitu..”
“Nikah aja sama orang Gorontalo, pasti kamu bakal menemui hal-hal unik kayak gitu”
            Mendengar kata-kata Vira, mereka saling bertatapan dan tertawa, entah apa yang lucu. Setelah berjalan sambil bercerita mengenai adat, akhirnya mereka sampai di tempat penjualan bahan-bahan tradisional. Mereka mulai mencari satu persatu.
“Vira, kita cari lebih dulu bahan yang asing namanya itu, aku penasaran.”
Lalu mereka mendekati seorang ibu yang menjual bahan-bahan dapur, seperti pala dan jeruk nipis.
“permisi ibu, disini jualan humopoto dan linggoboto?” tanya Vira sambil membacakan nama-nama itu di secarcik kertas
“ada No’u[6]….dipakai untuk adat mome’ati yaa?” tanya ibu itu sambil menyodorkan bahan yang ditanyakan tadi.
“iya bu, kok tahu?”
“yaa, bahan-bahan ini memang selalu dicari kalau ada acara seperti ini. No’u butuh berapa banyak?”
“biasanya berapa banyak bu, yang dipakai dalam acara seperti ini?”
humopoto biasanya 3 siung dan linggoboto 3 siung. Harganya masing-masing 5000, jadi semuanya 10.000” kata si ibu.
“ya udah aku ambil ya bu” kata Vira sambil memberikan uang 10.000-an.
Rein memperhatikan bahan-bahan yang diberikan oleh ibu tersebut,
“bu, itu bukannya kencur sama lengkuas?” tanya Rein
“iya No’u, dalam bahasa Gorontalo begitu. Kalau dalam bahasa Indonesia  humopoto itu kencur dan linggoboto itu lengkuas”
“ooowww, gitu.” Kata Rein dan Vira hampir bersamaan.
“Ra, masa kamu nggak tahu sih? Kamu kan orang Gorontalo”
“iya, tapi aku itu gede di Jawa, sama nenek aku. Wong asli Gorontalo mamaku, bapakku asli Jawa”
                                                                                    ***
            Tepat pukul 07.00 pagi, di rumah Vira sudah ramai dengan orang-orang yang berdatangan, adik Vira mulai menjalankan prosesi molungudu[7] yang terakhir, dan dilanjutkan dengan prosesi momonto[8] dan momuhuto[9]. Semua prosesi telah berlangsung hingga prosesi terakhir mohatamu[10]. Kemudian dilanjutkan dengan prosesi Molonthale, terlihat kakak Vira dan suaminya berjalan memasuki ruangan prosesi adat, sang hulango telah duduk lebih dulu di ruangan tersebut. Ibu hamil kemudian diberi tanda pada dahi, leher bagian bawah tenggorokan, bahu, lekukan tangan, kaki, dan lutut, sebagai tanda ibu tersebut akan meninggalkan sifat mazmunah (tercelah) dan akan mendidik anaknya dengan baik. Lalu ibu tersebut dibaringkan dengan posisi kepalanya ke timur dan kaki ke barat, dan lututnya dilipat keatas. Rein begitu serius memperhatikan prosesi satu demi satu.
Tak terasa acara yang ditunggu-tunggu para muda-mudi telah tiba, resepsi pembai’atan. Pukul 20.00 wita, para tamu undangan mulai berdatangan, termasuk teman-teman sekelas Rein dan Vira. Rein membantu Vira menyambut tamu, saat yang sama Rein harus masuk kedalam rumah untuk mengambil sesuatu. Saat itulah Fita datang bersama pacarnya, Erik. Awalnya Vira terkejut dengan kedatangan mereka, Fita yang malam itu tampil cantik menggandeng mesra lengan Erik, benar-benar sulit dipercaya. Vira memasang wajah manis dan ramah menyambut kedatangan mereka. —Matoduwolo[11]
“kak Ricky…” ucap Rein dengan refleks, hati Rein benar-benar sesak menyaksikan adegan didepan matanya. Rasa tak percaya, bahwa kali ini Ia kalah lagi dengan Fita.
Suara Rein terdengar oleh mereka, sehingga Vira dan Fita serta Erik yang sekaligus bernama Ricky, menoleh ke arahnya. Vira tak ingin sahabatnya ketahuan mengagumi Ricky, Vira cepat-cepat mengalihkan perhatian mereka.
“owh, jadi ini pacar baru kamu Fita, kak Ricky ini aku yang kemarin ketemu dengan ka Ricky di kampus bersama Rein, sana dia.” Kata Vira menunjuk Rein, bermaksud untuk menepiskan keadaan yang sebenarnya.
“ow iya. Aku ingat, kebetulan ada hal penting yang mau aku bicarakan sama dia.” Kata Erik sambil melepaskan gandengan Fita dari lengannya.
Melihat hal itu, api cemburu membara di hati Fita. Vira mengantarkan Erik menemui Rein yang dari tadi berdiri di dekat pintu rumah Vira. Setelah sampai dihadapan Rein, Vira langsung meninggalkan mereka berdua, sekilas Vira melihat wajah Rein, matanya sedikit berkaca.
“Rein, kebetulan kita bertemu disini. Aku mau bicara soal yang kemarin, sebelumnya aku minta maaf, tadi aku dapat konfirmasi dari Dekan, katanya peserta karya tulis yang berangkat tour hanya yang meraih juara satu, dan mahasiswa yang pernah mengikuti karya tulis tingkat nasional, dan dekan udah milih Fita yang akan berangkat bersama kami. Maaf ya, aku udah memberi kamu harapan” kata Ricky, dengan wajah bersalah
Diam— begitulah ekspresi Rein. Rasa sakit hati belum juga usai, Rein sudah mendengarkan kabar buruk lagi yang begitu mengecewakan. Dan yang menjadi pertanyaan besar adalah, mangapa harus Fita? Delegasi nasional emang, tapi adakah kemenangan yang diraihnya saat menjadi delegasi kampus? Tiba-tiba Hp Rein berbunyi, diapun mengangkatnya. Ternyata telepon dari panitia Adicipta Mediatama. Kurang lebih 2 menit pembicaraan telepon itu berlangsung. Dan setelah sambungan telepon terputus, Rein berusaha melapangkan dada merespon pernyataan Ricky sekaligus Erik.
“ya udah ka nggak masalah, kebetulan juga aku dapat telepon dari Jakarta, besok aku akan berangkat untuk mengikuti persentasi karya tulis.” Kata Rein dengan semangat, sepertinya ia sudah melupakan kekecewaannya yang gagal berangkat tour, namun sejujurnya ia masih sakit hati.
“oya, wah hebat… selamat yaa” ucap Ricky dengan senyum khasnya yang menawan, namun malam ini tidak lagi menawan dimata Rein.
“Terimakasih ka..” jawab Rein.
“apa? Nggak salah dengar? Kok bisa karya tulis kamu yang masuk nominasi? Padahal kan aku juga ngirim? Pasti panitianya salah nelfon deh, Rein kamu jangan percaya kata mereka. Bisa jadi, bukan kamu yang mereka maksud, aku takut kamu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri.” Kata Fita yang ternyata dari tadi menguping pembicaraan mereka.
Tersirat di wajah Fita rasa kecewa sekaligus rasa iri. Fita benar-benar tak ingin disaingi, dan tak ingin kalah, apalagi yang mengalahkannya adalah Rein. Dengan percaya diri ia mengeluarkan kata-kata itu di depan Rein, yang tentunya menyayat hati. Sedang Erik, sangat malu dengan sikap Fita yang kekanak-kanakan dan suka meremehkan orang lain.
                        ***
            Hawa dingin menusuk tajam menembus tulang, setelan Ac yang entah berapa celcius itu bagaikan iklim dimusim salju. Cahaya lampu menerangi seluruh penjuruh ruang Aula Dewan Pers Jakarta, dekorasi tumbuhan hijau dan berbagai jenis bunga mengelilingi panggung podium, menambah kesan alami sebuah panorama taman. Dentingan musik pengiring lagu Indonesia Raya menggemah menggetarkan semangat nasionalis yang lama terlupa, merdu bersemangat. Sehingga, segala yang didalamnya turut bergetar, membuat mikrofon perlahan berputar mengarah pada sound system yang menciptakan kebisingan tajam menusuk pendengaran, suasana semangat yang terganggu, namun tetap berlanjut.
Seorang gadis cantik, berhijab dengan setelan dress panjang membalut tubuhnya yang tinggi semampai, turut hadir disana. Deretan bangku kedua, dia berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama para Wartawan Indonesia, pejabat, serta pengusaha di negeri Garuda ini. Wajah yang tenang, tatapan penuh haru, dan gemuru hati yang menggebuh penuh syukur tersirat indah pada ekspresinya.
Ya Allah, aku bersyukur atas semua ini. Aku yang tak pernah percaya diri tampil di depan banyak orang, aku yang selalu dianggap bodoh oleh teman-teman, namun hanya aku yang Kau beri kesempatan untuk hadir disini, untuk ada di tengah orang-orang penting di Negeri ini.
Pembukaan acara berlangsung, hingga tiba pada acara paling dituggu-tunggu, pengumuman Lombah Adicipta Mediatama beserta penyerahan pengharagaan bagi mereka yang menang. Harapan 3 sampai 1 sudah di sebutkan, namun namanya tak kunjung terdengar, juara 3 pun sudah. Kekhawatiran itu dia tepiskan, dia sadar bahwa hadir disini saja dia sudah bersyukur, biarlah bila tidak membawa kemenangan.
“juara 2, atas nama Reina Brillin Deswita, delegasi dari Universitas Negeri Gorontalo, dengan judul karya Strategi Pemasaran Produk Dalam Negeri Menuju Kancah Internasional dan Global”
Rein tersentak mendengar namanya disebutkan sebagai pemenang ke dua, sekali lagi dia tidak pernah terfikir akan berhasil seperti ini. Senyuman mengembang di bibirnya, matanya sedikit berkaca-kaca, dan tentu saja hatinya penuh kesyukuran dan kebanggaan. Masuk 2 besar dari 18 peserta yang masuk nominasi dalam skala Nasional, mengalahkan sebagian Universitas-Universitas ternama di Indonesia tentu saja tidak mudah.—Terucap doa, teriring usaha, tergenggamlah kemengangan.
Setelah menerima penghargaan, atas perminataan panitia pelaksana Rein mempersembahkan kesenian alat musik polo-palo, dihadapan para hadirin, sebagai pengenalan tentang alat musik tradisional Gorontalo. Diambilnya sebuah alat musik terbuat dari bambu Kuning lengkap dengan pemukulnya yang terbuat dari kayu, dan diletakakan pada bagian lutut yang sebelumnya telah dilapisi kain tebal. Semua orang menantikan permainannya, penasaran bagaimana bunyi dari alat musik bambu yang bernama polo-palo itu. Rein mengangkat pemukulnya mendendangkan bunyi nyaring dari polo-palo.
Dentingan irama mulai berbunyi nyaring memenuhi ruangan, kemudian menyusul pukulan senada namun dengan ritme yang cepat, membuat hadirin di ruangan itu berdecak kagum dan memberi tapuk tangan, irama yang menyamai bunyi piano, dan berkompilasi menciptakan irama penyemangat bagi yang mendengarkan.
Rein berdiri dan membungkuk mengucapkan terimaksih kepada hadirin yang menikmati permainan musiknya. Sejenak Rein menangkap sosok seorang pria tampan yang berdiri di bagian belakang tempat duduk para hadirin, tersenyum menatapnya penuh kekaguman, dan memberi tepuk tangan serta jempol yang di ancungkan kepada Rein. Pria itu sudah tak asing lagi bagi Rein, karena dia adalah salah seorang panitia dari Adicipta Mediatama, sekaligus orang kepercayaan dari perusahaan Semen Indonesia, yang menjadi sponsor lombah tersebut. Dialah orang yang menjemput Rein dari bandara Soekarno-Hatta, dan mencarikan hotel untuk Rein. Mas Agung, begitulah cara Rein memanggilnya. Seusai acara, Agung langsung mengantarkan Rein ke Hotel. Sesampai di Hotel, Agung mengajak Rein duduk di loby, sepertinya ada hal penting yang akan disampaikan oleh Agung. Rein menurut saja.
“kamu benar-benar hebat Rein, selamat yaa atas kemenangannya.” Kata Agung memulai obrolan.
“terimakasih mas. Aku nggak sehebat yang mas kira, banyak hal yang nggak bisa aku menangin. Sebenarnya, aku adalah orang yang selalu kalah mas.” Keluh Rein.
“Iya emang, terkadang Tuhan itu tak selalu memberi yang kita inginkan. Tapi ingat, Ia akan memberi yang kita butuhkan. Hari ini kamu jadi pemenang Rein, meski di mata orang lain kamu kalah dalam memenangkan yang kamu inginkan. Tapi, di mataku kau adalah pemenang sejati dan akan selalu menjadi pemenang.”
“maksud mas?”
“Tiga hari bersama kamu, sudah cukup untuk mengkategorikan kamu sebagai pemenang. Aku berharap, Tuhan mengirimkan aku sebagai orang yang kamu butuhkan, meski bukan yang kamu inginkan. Hari ini kamu tak hanya jadi pemenang Adicipta Mediatama, tapi juga pemenang Hati aku.” Kata Agung penuh kejujuran dengan menatap mata Rein, tanpa memegang tangan Rein,
Karena sejak awal ketemu, Rein dan Agung berjabatan tangan tanpa terjadi persentuhan antara keduanya. Diam-diam kesan pertama saat pertemuan itu telah tertancap indah di hati Agung. Rein merupakan gadis yang berbeda yang pernah ditemuinya. Rein tak sanggup berkata-kata, gemuru jantung mulai berdebar kencang, adrenalin darahnya seperti terhenti, hingga membuat jemari tangannya dingin dan kaku. Dia tak sanggup menatap Agung. Bukan karena ia merasakan hal  yang sama, tapi dia sangat tidak nyaman dengan kondisi  seperti ini. Jujur dari hati, Rein  tak sanggup menolak perasaan Agung yang disuguhkan padanya, karena tidak ingin menyakiti atau menyinggung Agung, apalagi  Agung adalah orang paling berjasah kepada Rein, selama Rein di Jakarta.
Rein terpaku mendengarnya. Kata-kata yang sulit dipercaya, namun begitu nyata terjadi di depan mata. Rein bingung, apa yang harus di jawabnya, kebingungan tersirat jelas di wajahnya yang menunduk sejak tadi. Setelah diam beberapa saat, akhirnya Rein dapat mengumpulkan kekuatannya kembali untuk menjawab kata-kata Agung.
“terimakasih atas kejujuran mas Agung kepada saya. Terimakasih juga atas kebaikkan mas Agung selama saya disini. Saya benar-benar tidak mengirah kejujuran mas Agung akan sejauh ini.  Saya pun berdoa untuk  mas Agung,  semoga suatu hari nanti Allah akan  mengirimkan sosok pendamping yang benar-benar dibutuhkan oleh mas Agung, bukan sekedar yang mas Agung inginkan. Saya bukannya menolak dan menyatakan bahwa mas Agung bukanlah yang saya butuhkan, tapi karena memang saya tidak ingin  mas Agung  sakit hati gara-gara hanya satu pihak saja yang merasakan perasaan itu.”
Jawaban yang jelas-jelas bermakna menolak namun disampaikan dengan  bijaksana oleh Rein
“Alunan musikmu masih berdenting indah ditelingaku. Tersimpan irama cinta, yang mengisyaratkan sebuah rasa. Warisan dari Serambi Madinah untuk orang-orang Serambi Madinah. Aku ingin jadi satu diantara mereka, apa daya aku tidak dapat mewarisi iramanya dan pemilik bidadarinya.” Ucap Agung, berusaha menepiskan kekecewaan mendalam yang baru saja tertancap indah mengenai tapat di denyut hatinya. Sakit.
Apa daya, semuanya sudah di seting oleh sang pengatur scenario terbaik.
SEKIAN


[1] Sejenis Siluman manusia jadi-jadian yang dipercaya oleh masyarakat Gorontalo, yang suka memakan jantung manusia.
[2] Kewajiban bagi seluruh suku Gorontalo muslim untuk melakukan upacara adat terhadap setiap anak gadis yang sudah baliq (haid).
[3] Kendaraan khas Gorontalo, motor gandeng becak.
[4]  Adat untuk ibu hamil anak pertama diusia kandungan 7 bulan, dikenal dengan raba-raba puru bagi masyarakat Gorontalo.
[5] Bidan kampung.
[6] Panggilan pada anak perempuan di Gorontalo, sejenis dengan Non atau Ndo’ (jawa)
[7] Mandi uap dengan ramuan tradisional Gorontalo  yang dilaksanakan 30 hari sebelum acara puncak, mome’ati.
[8] Pemberian tanda suci, yang berarti agar gadis dan keluarga jauh dari bala bencana serta beroleh lindungan Allah SWT
[9] Siraman kembang untuk mensucikan diri, dengan tanda berhentinya haid si gadis
[10] Khatam AL-Quran didepan imam yang membai’at (ikrar).
[11] Selamat Datang