Ketika Lauhmahfudz Yang Bicara
Rezki Desmita
Senja
mulai nampak kuning keemasan memancar nan menyilaukan, pertanda sore kembali
menyapa. Tak terasa Magrib segera tiba menyambut malam. Usai berwudhu, aku
dikagetkan oleh nada dering ponselku. Sebuah pesan baru dari sahabatku, yang
sedikit membuatku girang dalam hati.
Malam nanti, aku telfon kamu ya.
Ada hal serius yang ingin aku bicarakan.
Usai
sholat Magrib ku balas smsnya. Aku penasaran, namun mencoba memberikan
terkaan-terkaan yang tidak menyenangkan. Dua hari yang lalu dia menelfonku,
memberitahu informasi penerimaan tenaga pengajar di yayasan binaan pamannya.
Aku mencoba menebak, apakah menerimaannya sudah tutup atau bagaimana. Aku
langsung mengirimkan pesan singkat itu padanya.
Bukan. Ini hal yang lain. Tapi aku
harap kamu bisa menjaganya, karena aku percaya kamu.
Hampir
pukul 22.00, namun belum juga terdengar bunyi panggilan dari ponselku. Aku
menyerah menunggu, pandanganku mulai sayu, aku memberitahukan agar lain kali
saja menghubungiku karena malam mulai larut.
***
Mentari
pagi bergelayut mengusir embun, selayaknya aku yang bangkit mengusir kehampaan.
Aku menata rapi hijabku, bersiap berangkat menebar manfaat untuk anak didikku.
Anak-anak yang masih begitu labil dan polos, selalu membuatku tersenyum, walau
terkadang membuat hati dongkol dan kesal. Inilah spirit harianku, mengajari
ilmu yang bermanfaat untuk orang lain, terlebih untuk mereka sang generasi muda
pembawa estafet peradaban bangsa. Aku mencintai siswa-siswaku, karena aku tahu
kewajibanku sebagai seorang guru, tak hanya sekedar mengajar namun juga
mendidik, selayaknya kerja aku tak hanya mencari bayaran namun ingin penuhi
kewajiban. Ingat Al-Ashr, saling berpesan dalam kebaikan dan saling berpesan
dalam kesabaran. Hanya lewat belajar mengajar aku bisa melakukan itu, karena
memang aku seorang guru. Lewat guru pula seluruh penjuru dunia dapat mengisi
dan memajukan setiap lini kehidupan. Guru pekerjaan mulia yang semula tak ku
minati, kini sangat ku cintai. Mahasuci Allah yang dapat membolak-balikkan hati
setiap hamba-Nya.
Sejak
lulus dari Universitas Peradaban, aku memutuskan pulang kampung untuk mengabdi
guna membantu guru-guruku dalam mengajar adik-adik disini. Sejak saat itu pula
aku tak lagi bertemu dengan sahabatku, Sali. Sahabat yang sedikit banyak sudah
membantuku bertransformasi, untuk menemukan jati diriku yang sesungguhnya.
Selama
menimbah ilmu di bangku perguruan tinggi, disinilah aku menemukan makna cinta.
Cinta pada lingkungan, cinta pada sesama, serta cinta pada diri sendiri. Sali
salah satu orang yang paling berarti dalam perjalanan studiku. Aku mengenalnya
dalam kegiatan memperingati 17 Agustus, saat itu para mahasiswa Fakultas Ilmu
Pemerintahan melaksanakan pembentangan bendera sepanjang 60 meter melewati
pusat kota pahlawan Nani Wartabone. Aku sederet dengannya. Orangnya sangat
antusias, heboh, dan penuh semangat, juga humoris. Saat itu aku belum mengenal
namanya.
Ketika
di kampus aku kembali bertemu dengannya, dia tidak menyapaku mungkin sudah
lupa. Aku masuk kelas dengan sikap masa bodoh saat melewatinya. Aku memilih
tempat duduk pojok kanan paling depan, ternyata dia juga memasuki kelas yang
sama dan memilih tempat duduk pojok kiri paling belakang. Tanpa menoleh pun aku
bisa melihatnya dengan ekor mataku. Ketika dosen mengabsen, disitulah
kesempatanku mengenali namanya. Tak hanya itu, saat pembagian kelompok, aku dan
dia masuk dalam kelompok yang sama.
Hari
ke hari aku semakin mengenalnya, kita semakin dekat hingga menjadi sahabat.
Dari semua teman-teman hanya aku memanggilnya dengan nama Sali. Ketika orang
lain mendengarnya, mungkin mereka berfikir bahwa dia adalah sosok wanita
cantik. Dugaan mereka salah, Sali adalah sahabatku paling rupawan, cerdas, dan
soleh. Nama lengkapnya Salqi Islami, teman-teman memanggilnya Alqi,tapi aku
lebih suka memanggilnya Sali, namun ketika ada di tempat umum aku panggil ‘Sal
biar masih terkesan laki-laki.
Hampir
setiap pekan kami jalan bersama, untuk mengerjakan tugas. Di kampus pun selalu
bersama tapi hanya saat ke perpustakaan, karena aku jarang ke kantin sehingga
kalau urusan kantin Sali jalan sendiri atau pergi bersama teman-teman kelas.
Meski kami terlihat dekat, tapi ada batasan-batasan yang menjaga antara aku dan
Sali. Sebagai seorang anggota Forum Tatsqif Kampus (FTK), dia benar-benar paham soal pergaulan dengan lawan jenis. Hingga
suatu ketika, dia mengikuti pelantikan resmi FTK, dan membawanya pada perubahan
yang semakin merenggangkan kedekatan kami.
Tak
lagi seperti dulu. aku selalu ingat kata-katanya saat hari pertama ia mulai
berubah “Membatasi diri karena syariaat, menjaga diri karena taat, menjauh
karena takut maksiat”. Aku mencoba memahami komitmennya untuk istiqomah dalam
memperbaiki diri. Aku menghargai dia, dan memanggilnya dengan nama yang
sebenarnya, Salqi. Dia selalu mengambil kesempatan agar bisa bicara denganku
ketika kami tergabung dalam kelompok diskusi. Topik pembicaraan pasti tentang
hakekat wanita Islami. Aku sampai jenuh, mungkin karena aku tidak ingin
ikut-ikutan dengannya dalam Forum itu.
***
Demi
menyenangkan hati Salqi, aku pergi menghadiri kegiatan terbuka yang
dilaksanakan oleh anak-anak FTK, sebuah Training Motivasi Kepemudaan. Aku
datang bersama sahabatku, Rara. Salqi sudah menunggu kedatangan kami di depan
pintu masuk, tanpa meminta tiket masuk yang kami bawa dia langsung
mempersilahkan kami duduk. Sontak saja semua panitia yang di pintu masuk saat
itu kaget dan heran, sepintas ku lihat ekspresi mereka, penuh tanya dan saling
bertatapan tak percaya. Entah apa di benak mereka. Sepanjang Training berlangsung,
Salqi selalu tertangkap sedang menatapku, berkali-kali terjadi kontak mata. Hal
ini membuatku tidak nyaman dan menjadi canggung. Usai acara aku langsung pulang
tanpa pamit pada Salqi.
Banyak
pengetahuan baru yang aku dapatkan dari Training ini. Termasuk mencari jodoh
secara islami. Meski belum niat, namun hal ini bisa jadi bekal masa depanku. Salqi
selalu mengirimiku taujih melalui sms, menyapaku dengan kalimat-kalimat hikmah
tiap kali bertemu di kampus.
“Assalamu’alaikum
ya Saleha. Pantas hari ini terasa sejuk dan cerah, ternyata matahari terlalu
malu bersinar karena kibaran hijabmu yang semakin indah.” Pujinya suatu pagi.
Memang
sudah beberapa hari belakangan aku mulai mengubah penampilanku. Tak hanya
berjilbab tapi juga berhijab. Waktu semakin membawa langkahku mendekati Forum
itu, bukan semata karena ada Salqi disana, namun pancaran cahaya iman nampaknya
mulai bersinar. Aku tak menyia-nyiakannya, ku temui seorang senior cewek di
dalam Masjid Kampus. Namanya ka Alya, bagiku sosok ka Alya pantas menyandang
predikat wanita surga. Bicaranya yang syahdu penuh kalimat hikmah, candanya
tersirat pesan pencerah hati, dan tak hanya cantik, tentu juga soleha dan
cerdas. Dialah yang menjadi mentorku selama masa perkuliahan. Memberi
pencerahan rohani, membuka mata hati, hingga ku temui hidayah sejati. Aku
semakin memantapkan diri.
Hari
ini aku akan menghadiri sebuah kajian di Kampus tetangga. Maklum, FTK bukan
hanya ada di kampusku, tapi sudah banyak cabang yang terdapat di kampus-kampus
lain, bahkan tingkat sekolah SMA sederajat. Setibanya disana, aku bertemu
dengan teman-teman baru. Disini aku berkenalan dengan Intan. Sosok wanita
muslimah dambaan qalbu.
“Anti dari FTK mana?”
“Ana FTK UP, Universitas Peradaban.”
“Subhanallah. Berarti anti kenal sama Salqi?”
Meski
masih bingung atas pertanyaannya, aku tersenyum mencoba menjawab. Mengapa dari
sekian banyaknya anggota FTK UP hanya Salqi yang ia tanyakan? Disaat yang sama,
wajah-wajah berbalut hijab indah itu menoleh ke arah aku dan Intan. Tersirat
dimata mereka rasa penasaran dan ingin bertanya banyak hal, tentu saja tentang
Salqi.
“Ana sekelas dengan Salqi. Kami teman
baik kok.”
“Boleh
minta nomor hp-nya ukhti?”
Baru
aku tahu, ternyata Salqi adalah sosok ikhwan yang cukup terkenal dikalangan
akhwat FTK seluruh kampus. Mungkin karena dia banyak terlibat dalam
agenda-agenda besar FTK. Tak dapat dipungkiri, penampilan Salqi memang tak akan
luput dari perhatian para wanita.
***
Saat
sama-sama disibukkan dengan berbagai agenda, aku dan Salqi lebih banyak berkomunikasi
lewat sms. Dia selalu mengabariku tentang hal-hal baru yang ditemuinya, tentang
buku yang baru dibacanya, dan juga tentang tugas yang bingung dipahaminya. Dua
hari setelah kegiatan kajian. Intan menghubungiku. Banyak hal yang ia ceritakan
padaku, meski ujung-ujungnya berakhir pada nama Salqi. Aku sangat peka dengan
hal-hal demikian. Ternyata benar, Intan pengangum rahasia Salqi.
“Jangan
beritahu Salqi ya ukhti. Biar ana, anti, dan Allah yang tahu. Ana cerita ke anti karena ana percaya.”
Hening.
“Ana pun bingung atas perasaan ini. Entah
hanya sekedar kagum, atau ana benar-benar suka padanya. Ana tidak sanggup lagi menahan deburan hati, terlebih ketika
bertemu dengannya.”
“Allah
sedang menguji hatimu ukhti. Jadi,
berhati-hatilah jangan sampai anti
terkalahkan oleh nafsu atas dasar rasa suka, padahal semuanya semu.”
Walau
berat, akhirnya aku dapat menciptakan uraian nasehat dalam lisanku. Entah siapa
mengingatkan siapa. Aku pun mulai terbawa. Ada rasa perih membercak di hatiku
ketika mendengar curahan hati Intan. Sedalam apa aku menyimpan lara di hati,
pada akhirnya pun tetap terasa sakit. Ya, aku baru menyadarinya. Sudah cukup
lama ku pendam, dengan keras hatiku memungkiri kenyataan bahwa aku telah jatuh
hati pada sosok sahabat superku, Salqi. Intan telah menyadarkan aku, karena
ketika tahu ada orang lain yang menyukainya, hatiku menolak dan tak terima.
Demi
menghalau rasa gelisah yang menjajah perasaanku akhir-akhir ini, aku
menyibukkan diri di perpus. Entah sejak kapan Salqi mengikutiku, saat aku
membaca buku dia muncul dengan canda khasnya yang selalu ku rindukan.
“Hei,
saleha. Baca buku apa? Tega sekali pergi sendiri tanpa mengajakku.”
“Antum kan super sibuk, mana ada waktu
pergi ke perpus.”
“Wess,
ciee udah belajar panggil antum.
Biasanya juga panggilnya kamu. Kemana perginya Rahmi yang dulu ya?”
Aku
menutup buku bacaanku, sekilas ku tatap matanya, aku tak mampu membaca sorot
mata itu, masihkah tersimpan kerinduan disana? Segera ku alihkan sebelum ia
menyadarinya.
“Kamu
yang kemana saja? Tugas Review bukumu sudah?”
Mengapa
kehadirannya saat ini mampu mengusir kegelisahan hatiku. Apakah keresahan yang
aku alami satu bentuk rasa takutku kehilangan Salqi?
“kamu
ini, tugas melulu yang diurusin. Sekali-sekali urus sahabatmu ini dong.”
“Aku
kan bukan ibumu.”
“Emang.
Tapi kamu kan sahabat aku. Tadi aku ngomong apa? Aku cuma bilang urus dulu
sahabatmu ini, bukan urus dulu anakmu ini.”
Sekali
lagi dia berhasil membuatku tertawa, dan melupakan hal-hal rumit yang bersarang
di benakku.
“Ehm,
maaf ya kalau akhir-akhir ini aku sudah jarang menghubungi kamu lagi. Aku diam-diam mengikuti kamu kesini karena
ada yang ingin aku katakan.”
Jantungku
berdegub, ada apa ini? Apa yang ingin dia katakan, sampai wajahnya begitu
serius menatapku.
“Apa?
Serius amat ngomongnya.”
Tak
ada lagi keberanian untuk menatapnya, buku di tanganku menjadi pelarian sorot
pandangku, walau sebenarnya aku bingung sudah sampai paragrap mana yang ku
baca.
“Tapi,
kamu janji ya jangan marah. Hmm, sebenarnya aku malu, apalagi sampai mengakuinya
langsung di depanmu.”
Sebisa
mungkin ku tampakkan ekspresi bingung tanpa gugub, meski sebenarnya detak
jantungku hampir-hampir mematahkan tulang rusukku.
“Sebenarnya
aku dari dulu ingin ngomong ini. ”
Aku
masih bungkam, menghayati huruf-huruf yang seolah menari-nari di atas kertas
putih.
“Mi,
sebenarnya. . . Aku suka . . . “
Sepertinya
Salqi sengaja menggantung pembicaraannya. Aku sedikit terperanjat, namun tetap
terkendali berkat buku yang ku jadikan dalih menutupi kegugupanku. Tumben dia
panggil nama belakangku, tidak selengkap biasanya.
“Hmm,
aku suka banget makan mie ayam di kantin ma’cik. Kata teman-teman, mie ayam
akan terasa lezat ketika ada yang traktir. Aku mau itu kamu.”
Rasanya
ada bongkahan besar lepas dari hatiku, sehingga debaran jantungku menurun dan
terasa ringan. Aku fikir Salqi mau bilang apa. Hampir jungkir balik setengah
mati menahan degab-degub jantungku. Inilah kebiasaan yang ia lakukan, awalnya
membosankan lama-lama jadi hal yang aku rindukan.
Meski matamu terbuka, kau tak akan bisa
melihatku, telingamu tak akan mampu mendengar bisik rasaku, hatimu tak mampu
membaca alur laraku, apalagi fikirmu memang tak pernah tertuju padaku.
***
Akhir
pekan jalan yuk.
aku yang traktir deh. .
tenang aja, nggak berdua kok.
perginya se-kelas, tapi Cuma transport kamu aja yang aku tanggung
yang lain masing-masing dong. XD
Setelah
menyelesaikan ujian semester, kami sekelas sepakat pergi berwisata. Wisata air
terjun menjadi sasaran weekand kami
secara dadakan. Medan menuju lokasi air terjun sangat menantang, melihat
perjalanan jelajah kami yang penuh rintangan mengingatkanku pada kisah film 5
CM. Bersama sahabat taklukan rintangan untuk temukan cinta. Salqi adalah orang
paling repot selama perjalanan, rela melepas sandal gunungnya demi aku, karena
aku yang notabenenya tidak tahu arah dan tujuan wisata sehingga aku menggunakan
sepatu teplek, padahal sepanjang perjalanan menuju air terjun adalah
pegunungan, berbatu, penuh semak, bahkan tak jarang berduri. Jalanan penuh
tanjakkan membuat nafasku tersengal hampir asma, namun aku tidak manja.
Setinggi apapun tanjakkannya, tak ku biarkan teman-teman cowok meraih tanganku
untuk membantu, ada banyak cara ku dapat ketika melewati jalan licin dan
berbatu. Saat itu aku mengenakkan ransel, walau isinya cukup ringan, namun
jalanan yang tidak bersahabat membuat bahuku terasa sakit seakan membawa beban
berat. Lagi-lagi Salqi, ia membawakan tas dan sepatuku, dan menuntun jalanku
dari depan.
“Awas
hati-hati, kayunya jangan diinjak, sudah lapuk nanti kamu jatuh”
Aku
hanya diam, mengikuti arahannya.
“Tanahnya
licin dan agak menurun, kamu jongkok aja, trus turun pelan-pelan”
Masih
diam, dengan gemuru dada karena lelah. Satu hal yang aku fikirkan saat ini,
kapan sampai. Sudah hampir satu jam, kami masih bergelayutan di dahan-dahan
pohon kecil, berusaha keras agar tidak licin dan jatuh, aku sangat lelah.
“Kok
dari tadi cuma jalan terus, kapan nyampenya? Kita nggak nyasar masuk hutan
belantara kan?”
“Tenang
saja, aku sudah pernah kesini kok, waktu tafakur alam bersama teman-teman FTK.”
Lebih
baik aku fokus pada perjalanan saja, dari pada bicara dan bertanya banyak hal
yang hanya menguras tenaga. Lebih baik diam, ikuti intruksi Salqi yang hari ini
kelewat perhatian. Ternyata tak hanya aku yang bingung dan bertanya-tanya
lokasi tujan kami hari ini, aku dan empat orang teman cewek lainnya tidak tahu
apa-apa soal rencana ini. Kami hanya mendapat sms dari teman-teman cowok, dan
aku dapat sms dari Salqi. Rencana ini sebenarnya sudah lama disusun oleh Salqi
dan teman-teman cowok lainnya. Kami yang cewek, terima beres ikuti perintah.
“Rahmi,
rok kamu robek tuh.” Tegur Ivan dari belakangku.
Sontak
aku menoleh memastikan yang ia katakan. Benar saja, hampir sejengkal robeknya,
beruntung aku pakai celana panjang, sehingga kulit betisku tak terlihat.
“Kenapa
sih kamu pakai rok, kita kan mau wisata Ami, bukan mau kuliah. Kaus kakinya
nggak dilepas lagi.” Ujar Andra sewot melihat penampilanku.
Aku
tetap mempertahankan hijabku meski dalam keadaan apapun. Toh pada akhirnya aku
satu-satunya cewek yang tidak perlu di pegang tangannya saat naik gunung, yang
tidak banyak ocehan ketika melewati banyak rintangan, dan tidak lecet atau
jatuh selama perjalanan. Keadaannya terbalik dengan teman-temanku yang lain,
Lian terpeleset saat melewati batu licin, padahal tangannya sudah di tuntun
oleh Erik, Cika terinjak benda tajam padahal selalu mengekor di belakang Rangga
dan memegang bahu Rangga ketika ada tanjakkan, dan masih banyak lagi tindakkan
yang seharusnya tidak membuat mereka terluka.
Ketika
asyik main dan foto-foto di dekat air terjun, Salqi mengajak teman-teman
sejenak untuk istrahat dan berwudhu. Kami melaksanakan sholat Dzuhur di atas
batu besar, dibawah rindang pohon, yang di imami oleh Salqi. Usai berjelajah
menyusuri lokasi air terjun dan puas bermain air disana, kami kembali ke taman
wisata permandian. Ada banyak permainan disini, termasuk sepeda air itik. Aku
penasaran dengan permainan satu ini. Hanya aku dan Revan yang tidak ikut-ikutan
mandi di kolam air hangat, yang lainnya asik berenang bahkan sempat mengerjai
Idan teman kami yang pendek dan tidak tahu berenang. Aku bete hanya jadi
penonton, aku ngajakkin Revan main sepeda air.
“Guys,
aku dan Rahmi mau main sepeda air dulu ya.” Teriak Revan pada yang lainnya.
“Aku
ikut. Malas aku sama mereka, sudah tau aku nggak bisa berenang malah mereka
dorong ke kolam.” Ujar Idan, dan langsung mengikuti kami.
Teman-teman
yang lain hanya tertawa melihat wajah kesal Idan, termasuk Salqi. Agak kesal
juga melihat teman-teman memperlakukan Idan seperti itu, apalagi Salqi malah
dia yang jadi trouble maker-nya.
Setibanya di pinggir danau tempat mainan sepeda air, aku dan Revan mulai
memilih sepeda air, tapi kami bertiga, sedang sepeda airnya hanya untuk dua
orang.
“Bertiga
nggak muat. Revan naik bareng Idan aja, kamu sama aku.” Selah Salqi dari arah
belakang kami, entah sejak kapan dia mengekor di belakang.
Dengan enteng dia menarik salah satu sepeda
itik berwarna kuning.
“Kamu
naik duluan, nanti aku yang mutar.”
Meski
agak ragu, tapi aku ikut saja. Saat sedang asik berputar di tengah danau
melihat ikan mas yang berenang mengikuti pakan yang aku taburkan, tiba-tiba
sepedanya berhenti tepat di tengah danau.
“Loh,
kenapa berhenti?”
“Kamu
nggak lihat, aku sudah ngos-ngosan gini. Gantian dong.”
“Idih,
siapa juga yang ajak kamu main sepeda air, kamu sendiri kan yang nawarin. Aku
juga tadi janjiannya sama Revan.”
“Ya
sudah kamu naik di sepeda Revan aja, tapi berenang sendiri sana.”
Aku
tidak bisa berkata-kata lagi, sepertinya kalimatku nyangkut di tenggorokkan,
bahkan bernafas pun terasa berat karena menahan kesal. Segera aku memalingkan
wajahku ke tempat lain. Tega sekali dia menyuruhku berenang di danau yang penuh
lumpur ini. Kalau saja aku sekuat Popaye, jangankan mutar sepeda itiknya,
bahkan aku akan mengangkat sepedanya dengan sebelah tangan sambil berjalan
diatas air, tentu saja dengan keadaan Salqi yang naik. Setelah itu akan ku
lempar jauh-jauh biar dia jatuh tersungkur tertancap di lumpur.
“Lamunin
apa kamu? Jangan bilang kamu berkhayal jadi Popaye dan aku jadi Oliv. Terus
kamu angkat sepeda itiknya, kamu lempar sekaligus dengan aku. Lalu aku penuh
lumpur dan jadi tontonan orang banyak di taman ini.”
Aku
terbahak dalam hati mendengar tebakannya yang 100% benar. Entah dari mana dia
bisa membaca fikiranku. Mungkin karena dulu aku sering bilang padanya bahwa aku
selalu berandai-andai sekuat Popaye. Ucapannya tak hanya membuyarkan lamunanku,
tapi juga mampu menciptakan tawa yang kembali mencairkan suasana. Inilah cara
sederhana Salqi membuatku marah dalam seketika menciptakan tawa. Hal-hal yang
selalu membuatku lupa seberapa banyak dia sudah membuatku kesal. Tak dapat ku
pungkiri kedekatan kami malah membuat perasaanku semakin tumbuh, walau
bagaimana pun sebagai wanita normal ketika mendapat perhatian dari lawan jenis,
terlebih sudah saling kenal seperti ini, rasa nyaman itu tetap ada.
***
Masa-masa
kuliah berakhir dengan sejuta kenangan. Kini aku memutuskan pulang kampung dan
menjadi abdi negara sebagai guru pengajar di salah satu Sekolah Menengah
Kejuruan. Terkecuali Salqi, Idan, juga Andra yang masih menunggu proses
penyelesaian skiripsi yang semakin hari semakin membuat mereka merasa gila.
Salqi menunda proses wisuda karena memang masih memprioritaskan kegiatan FTK.
Komunikasi
kami berjalan melalui perantara satelit. Banyak hal yang ia beritahu aku,
termasuk perkembangan FTK UP, kegiatan-kegiatan seru FTK, bahkan kader-kader
baru FTK yang sangat loyal terhadap organisasi dalam kampus itu. aku sangat
senang mendengarnya, maski zaman semakin modern namun tidak menyurutkan langkah
para pemuda untuk belajar dan mengajak orang-orang agar tidak melupakan ajaran
agama, memenuhi hak diri sebagai hamba, melaksanakan kewajiban terhadap orang
lain, bahkan selalu peduli terhadap nasib umat muslim yang berada di belahan
bumi lain, dimana keseharian mereka selalu dihiasi suara bom, dihantui terror
mematikan, hanya karena sebagai kaum minoritas di negeri tersebut. Para
“pembom” itu seperti kacang lupa kulitnya, tidakkah mereka membaca sejarah tentang
nenek moyang mereka yang tidak
didiskriminasi, dimana zaman Rasulullah Saw betapa kaum non muslim yang berada
di tanah muslim diberikan haknya, dilindungi keberadaannya, sekalipun hanya
sebagai kaum minoritas di negeri tersebut. Ah, aku jadi kesal sendiri bila
mengingat betapa bengisnya para zionis itu.
Aku
beranjak dari tempat tidur mengambil ponselku yang tengah berdering di atas
meja riasku. Salqi memanggil―seiring getaran ponsel ditanganku, demikian pula getaran
hatiku melihat nama itu. Sepertinya malam ini dia akan menceritakan hal serius
yang ia maksud. Setelah ku jawab salamnya di seberang sana, terdengar begitu
jelas bahwa ia menarik nafas panjang sebelum bercerita. Dengan ceria aku
memberanikan diri untuk bertanya lebih dulu. Meski terdengar ia tidak begitu
yakin untuk menceritakan hal itu padaku. Sebagai sahabat kurang lebih empat
tahun dan sudah saling percaya, cerita serius itu mengalir adanya tanpa
sedikitpun ia sembunyikan.
“Mi,
sebentar lagi aku akan menikah.”
Aku
menyambut berita itu dengan sangat ceria bersemangat.
“Wah,
kapan? Sama siapa?”
“Akhir
tahun ini. Orangnya belum dikenalin sama aku, nanti pada saat proses ta’arufan bersama keluarga.”
“Syukurlah
kalau begitu, berarti impian kamu selama ini akan segera terwujud.”
Sepanjang
aku mengenalnya, baru kali ini berita yang ia kabarkan sungguh
menyakitiku.Tertawa lepas, berucap syukur, saat tau dia akan termiliki. itu
bagian dari akting hati yang sampai kapan pun tak dapat ia mengerti.
“Kamu
harus datang ya, awas kalau nggak datang.”
“Nggak
janji ya. Sekarang aku nggak bisa pergi jauh-jauh, ada amanah baru yang harus
aku jalankan.”
“Kan
Cuma ngajar, nanti izin sama kepsek ajalah. . ya. . ya.”
Aku
hanya tertawa kecil menyamarkan suasana yang mulai beku.
***
Sejak
Salqi memberitahukan pernikahannya, aku belajar keras melupakan rasa yang
selalu menjajah hatiku, dan menghapus segala harapan yang pernah aku ukir saat
bersamanya. Jarak yang memisahkan inilah satu pendukung yang kuat untuk itu
semua. Tak ada lagi pertemuan, tak ada lagi kesal-kesalan, aku tidak akan
melihat wajah teduhnya lagi seperti dulu, dan tak akan terlihat lagi senyum jailnya
ketika mengerjaiku.
Tak
jarang teleponnya aku abaikan, smsnya hanya sebatas ku baca tanpa ku balas,
dengan dalih tidak punya pulsa. Namun, aku tidak ingin dia curiga dengan
tingkahku yang tidak seperti biasanya. Tapi, bukankah dari sekarang dia juga harus
belajar tanpa aku, sahabat yang selama ini menjadi tempat ia bertanya,
mengeluh, meminta, berbagi cerita, bahkan bermain.
“Kenapa
sih nggak pernah lagi balas smsku? Kalau nggak punya pulsa, kenapa aku nelfon
kamu nggak angkat?”
“Saat
kamu nelfon pada waktu yang tidak tepat, pagi sampai siang aku di sekolah.
Siang menjelang sore aku istrahat, kadang ngasih les privat sama anak-anak.
Malam aku udah capek, lepas Isya aku udah tidur.”
“Tapi,
pernah kok aku nelfon kamu bakdah Magrib.”
“Aku
lagi tilawah. Kenapa sih kamu nelfon terus? Ada hal apa lagi?”
“Karena
kamu nggak pernah angkat makanya aku nelfon terus. Aku cuma mau nelfon
sahabatku, emang nggak bisa?”
“Kita
sekarang sudah berbeda Salqi. Kamu itu calon suami orang, tepatnya calon suami
saudaraku. Seharusnya waktumu kamu habiskan untuk mempersiapkan diri menjadi
calon imam yang baik, belajar menjadi pemimpin yang bijaksana.”
“Kok
ngomongnya jadi ke arah sana? Jujur deh, ada apa dengan kamu? Kamu cemburu ya?”
Todongnya, disusul suara tawa khas yang sering terdengar ketika dia sedang
menjailiku.
“Maksudmu?
Kenapa aku harus cemburu, sebagai sahabat aku hanya mengingatkanmu. Ingatlah,
calon pasangan hidup kita itu cerminan dari diri kita. Saat ini kamu belum
mengenal calon istrimu, tidak ada yang bisa menjamin kalau sekarang dia sedang
memantaskan diri untuk calon suaminya atau sedang telfon-telfonan dengan
sahabat laki-lakinya. Sama halnya seperti kamu saat ini.”
“Kalau
begitu pendapatmu, tidak ada yang bisa menjamin ‘kan kalau seandainya wanita
itu kamu?”
“Berhenti
deh membuat lelucon. Bukan saatnya lagi bercanda Salqi. Hargai aku sebagai
seorang wanita muslimah, kita saling membatasi diri. Aku rasa kamu lebih paham
masalah ini.”
Berhentilah berandai-andai, aku
tidak ingin harapan yang setengah mati aku hapuskan, malah kembali kau ukir,
dan akhirnya tercipta sebuah coretan-coretan pengharapan yang tak berarti.―batinku
mulai berkecamuk.
“Maafkan
aku, bila kehadiranku selama ini malah mengganggumu. Aku juga minta maaf,
karena hanya bisa berbagi ceritaku sendiri, tanpa pernah bertanya adakah cerita
yang ingin kau bagikan. Sebagai sahabat, aku memang egois.”
Suasana
hening. Aku hanya bisa bungkam saat mendengar kata maaf yang seharusnya tidak
dia ucapkan. Aku sudah cukup bahagia karena ada sosok sahabat sebaik Salqi ada
bersamaku, meski aku hanya sebagai pendengar setia atas cerita-ceritanya tanpa
bisa berbagi ceritaku sendiri, namun sedikit banyak dia sudah menjadi faktor
penting dalam merubah paradigmaku. Aku seperti ini, karena belajar darinya.
Selalu berbagi dengan apa yang dia punya, peduli kepada sesama, tetap sederhana
dan tawadhu meski segala kemewahan
menghiasi hidupnya, selalu ceria, dan menginspirasi.
“Aku
tidak pernah merasa kamu egois kok. Aku hanya berusaha menempatkan diriku
sebagai wanita yang memiliki fitrah tak ingin berbagi, terlebih masalah hati.”
Kau memang tak tau apa-apa, hingga
tak pantas untuk disalahkan. Hanya saja, aku terlalu bodoh menanamkan harapan
hampa, untuk menyatukan malam dan siang
dalam satu genggaman waktu. Cinta untukmu memang tak pernah salah, tapi hatiku
yang selalu tertuju padamu yang tak dapat ku maafkan.
“Maaf
karena aku terlambat untuk menyadarinya. Maaf juga bila aku tak bisa jadi yang
kau harapkan. Allah punya cara terindah dalam mengatur semuanya, walau kadang
raga merontah penuh tangis, namun hati seiya-sekata menerima garis-Nya. Aku
hanya ingin bilang itu sama kamu.”
Aku
tertegun mendengar ucapannya. Apa maksud Salqi? Apakah dia tahu bahwa selama
ini diam-diam aku menyukainya, bahkan berharap untuk memilikinya. Siapa yang
memberitahunya, sedangkan aku pun tidak pernah menceritakan masalah perasaanku
pada siapapun, selain mencurahkan semuanya tatkala aku sedang duduk di atas
sejadah, menengadah mengharapkan rahmat dalam dekapan ridha-Nya.
***
Tibalah
di penghujung waktu. Desember yang sangat di rindukan oleh Salqi. Hari ini
adalah hari penobatannya sebagai raja sehari, waktu dimana ia berikrar dengan
iman untuk menjadi seorang imam rumah tangga bagi seorang wanita yang jauh
sebelumnya telah tercatat dalam Lauhmahfudz-Nya, untuk setia bersama mengarungi
cinta berfondasikan iman, meraih surga yang hakikih atas ridha-Nya. Insya Allah
abadi hingga Jannah-Nya. Aamiin
Tepat
hari ini pula aku harus berangkat ke negeri Gingseng untuk melajutkan studi
disana. Allah memang selalu mempersiapkan kejutan-kejutan bagi orang-orang yang
bersabar, dan menjadi satu muhasabah diri, agar menjadi insan yang tak
henti-hentinya bersyukur. Baik saat senang maupun dalam keadaan sedih. Aku
tidak pernah menyangkah bahwa tulisanku dalam sebuah artikel blog pribadiku
mampuh menerbangkan sayapku yang mulai lesuh termakan penantian, kembali kuat
mengepakkan sayapnya ke negeri singa Asia Timur. Ada seorang jurnalis Indonesia
yang tinggal disana, berhasil menerjemahkan tulisanku ke dalam bahasa Korea,
kemudian dia menerbitkannya sebagai muatan rubrik inspirasi pada sebuah majalah
remaja disan,a tentunya dengan mencantumkan namaku sebagai penulisnya. Banyak
pembaca yang antusias, terutama para remaja yang seringkali mencintai dalam
diam, menumbuhkan harapan dalam kehampaan, hingga kedutaan Indonesia memberiku
kesempatan untuk melanjutkan studi dalam bidang Writing selama dua tahun disana.
Selain itu aku menjadi salah satu penulis
contributor dalam majalah
pekanan tersebut. Mereka percaya, inspirasi masalah hati yang lahir dari karya
penaku mampu menurunkan angka bunuh diri pada remaja karena patah hati, serta
mengurangi jumlah remaja pengkonsumsi alcohol karena masalah cinta.
Aku
bersiap untuk penerbanganku. Tiba-tiba ada yang memanggilku dari luar ruang
tunggu. Ada apa dia kesini? Masih ada waktu 15 menit sebelum berangkat. Aku
keluar untuk menemuinya. Intan berdiri masih dengan dandanannya yang baru saja
menghadiri penikahan, tentu saja pernikahan Salqi. Aku berdiri di hadapannya
dan belum sempat bertanya, dia langsung mendekapku erat dan menangis. Entah apa
maksudnya, jantungku berdebar, adakah sesuatu yang telah terjadi pada Salqi
dihari pernikannya?
“Maafkan
ana ukhti. Ana sangat keterlaluan.
Ana sudah menceritakan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah anti ceritakan. Ana
sudah memfitnah anti di hadapan Salqi. Ana sudah mencoreng nama baik anti
sebagai seorang akhwat yang
istiqomah.”
Meski
masih bingung maksud omongan Intan, aku berusaha menenagkannya. Seiring deraian
air matanya, mengalirlah cerita yang dimaksud. Ternyata Intan yang menceritakan
semuanya pada Salqi, Intan memutarkan cerita seolah aku yang telah curhat
padanya bahwa aku menyukai Salqi. Salqi terkejut mendengarnya, namun tetap
tenang menyikapinya. Intan melakukannya demi mencari tahu apakah Salqi
menyukaiku atau tidak, karena Intan penasaran atas kedekatanku dengan Salqi.
Pernikahan Salqi hari ini membuktikan bahwa aku dan Salqi hanya sebatas
sahabat. Walau sebenarnya cerita yang di ada-adakan oleh Intan itu sebuah
kebenaran hatiku yang pernah berharap, namun aku sedikit terganggu atas
kelancangannya menjual namaku demi melihat reaksi Salqi.
Rasa
bersalah terus menghantuinya, hingga akhirnya dia berkata jujur pada Salqi
sehari sebelum pernikahannya, bahwa dia telah memfitnahku. Salqi menyuruh Intan
untuk menemuiku di bandara ini dan meminta maaf langsung padaku. Aku kembali
mendekap Intan, aku sangat miris melihatnya. Menanamkan harapan yang telah
berlebihan sehingga membawanya melakukan hal bodoh, yang pada akhirnya
menjerumuskannya ke dalam dosa fitnah.
“Yang
anti katakan pada Salqi tidak salah, namun cara anti yang salah. Demi Allah,
aku sudah memaafkanmu ukhti. Biarlah segala hal yang telah terlanjur anti
lakukan menjadi bentuk pelajaran berharga untuk dijadikan batu loncatan agar
lebih baik lagi dalam menjaga hati, fikiran, serta lisan.”
***
Salqi
tahu bahwa aku tidak akan datang ke pernikannya karena jadwal keberangkatanku
ini, aku pun sudah mengirimi bingkisan pada mereka sebagai ucapan selamat atas
kebahagiaan menempuh kisah baru dalam episode perjuangan. Pasangan surga, Salqi
dan Alya. Iya, ketika tahu bahwa ka Alya adalah wanita itu, aku menangis haru
karena aku menyadari bahwa Allah mempertemukan Salqi dengan wanita yang tepat.
ka Alya sang murobbiah sejatiku hari
ini resmi menjadi istri dari Salqi sahabat superku. Meski perbedaan usia,
selisih dua tahun tidaklah seberapa. Bukankah Rasulullah Saw bersama Siti
Khadijah telah memberikan kejelasan, untuk dijadikan teladan serta rujukan
dalam membangun rumah tangga yang di ridhai-Nya.
Banyak
hal penuh teka-teki yang akhirnya membuat banyak orang bergumam kagum penuh
takjub. Maha besar Allah sang pemilik rahasia. Sudah cukup jelas, bahwa aku dan
dia tidak dalam satu catatan di Lauhmahfudz-Nya.
Inilah cara Allah menunjukkan sebuah kepastian tadir. Pada akhirnya aku harus
tersenyum untuk kebahagiaan orang yang aku sayangi. Biarkan rasaku abadi dalam kisah
fiksi yang telah ku cipta demi menjadi inspirasi bagi yang lain, agar selalu
berfikir dan berdzikir. Berfikir bahwa jodoh yang baik itu adalah dia yang
telah tertulis dalam Lauhmahfudz-Nya,
sehingga tak ada lagi pengharapan yang berujung pada kehampaan. Serta berdzikir
agar diri senantiasa dekat dengan-Nya, sehingga tidak lagi menyandarkan harapan
pada yang lain selain-Nya. Insya Allah berkah dalam ridha-Nya.
♥―BARAQALLAH―♥